Jadi founder startup itu tidak mudah. Setiap hari rasanya seperti berjalan di atas tali. Salah sedikit, bisa jatuh. Banyak yang terjebak oleh mitos dan ilusi yang beredar di dunia startup, yang bisa bikin mereka mengambil keputusan keliru.
Kali ini, kita akan membongkar 13 kebohongan besar (atau kesalahpahaman) yang sering dipercaya para founder startup pemula. Mereka seperti membohongi diri sendiri.
Kalau kamu ingin sukses membangun startup yang berkelanjutan, pastikan jangan terjebak oleh mitos-mitos ini!
Kebohongan yang Sering Dipercaya Para Pendiri Startup
Saya telah melihat banyak startup datang dan pergi, mengamati beberapa kebohongan atau lebih tepatnya, kesalahpahaman yang sering menjebak para pendiri startup. Mari kita lihat satu per satu:
1. Kami punya ribuan pengguna, perusahaan saya baik-baik saja.
Sebuah aplikasi edit foto mendapatkan ribuan download setelah viral di TikTok. Namun, sebagian besar pengguna hanya mencobanya sekali karena UI/UX yang membingungkan dan fitur yang kurang menarik. Akibatnya, retention rate sangat rendah dan aplikasi tersebut gagal.
Memiliki banyak pengguna yang hanya mencoba produk sekali dan tidak pernah kembali (one-time wonders), adalah metrik yang menipu. Itu seperti restoran ramai di hari pembukaan karena diskon besar-besaran, tapi setelah itu kosong melompong.
Yang penting adalah retention dan engagement jangka panjang.
Ribuan pengguna yang tidak aktif hanyalah angka kosong. Fokuslah pada retention dan active users. Cari tahu mengapa pengguna tidak kembali dan perbaiki produk atau user experience kamu.
Baca: Apa Itu North Star Metric ?
Bayangkan kamu punya kolam ikan dengan ribuan ikan. Tapi, kolam itu bocor sehingga ikan-ikannya keluar terus. Meskipun awalnya kamu punya banyak ikan, lama-lama kolam itu akan kosong. Kamu harus menambal kebocoran itu (mencari tahu kenapa pengguna tidak kembali) agar kolam tetap terisi (pengguna tetap aktif).
2. Saya mendapatkan pendanaan besar, perusahaan kami pasti sukses.
Quibi, Startup streaming video ini didirikan oleh Jeffrey Katzenberg (mantan eksekutif Disney) dan Meg Whitman (mantan CEO HP) dengan modal fantastis $1,75 miliar! Konsepnya unik: konten video pendek berkualitas tinggi yang dirancang untuk ditonton di ponsel. Tapi sayangnya, Quibi gagal menarik minat penonton dan akhirnya tutup hanya dalam 6 bulan.
Baca: Overkill: Kepercayaan Diri Yang Menghancurkan Startup
Pendanaan hanyalah bahan bakar, bukan jaminan kesuksesan. Banyak startup yang mendapatkan pendanaan besar tapi tetap gagal. Eksekusi, strategi yang tepat, dan product-market fit jauh lebih krusial. Jangan terlena dengan uang, fokuslah pada membangun bisnis yang sustainable.
Mendapatkan pendanaan itu seperti diberikan bibit unggul. Bibit itu berpotensi menghasilkan panen yang melimpah, tapi tetap butuh tanah yang subur, perawatan yang tepat, dan faktor lainnya agar bisa tumbuh dengan baik.
3. Perusahaan saya diliput media besar, startup kami terkenal.
Sebuah startup fintech mendapatkan liputan di media besar setelah meluncurkan fitur baru. Namun, karena tidak diimbangi dengan strategi pemasaran yang matang, lonjakan pengguna baru tidak bertahan lama dan pertumbuhan kembali stagnan.
Publikasi di media seperti techinasia, dailysocial, atau bahkan techcrunch memang bagus untuk awareness dan kredibilitas, tapi jangan terlalu mengandalkannya. Press coverage tidak sama dengan customer acquisition. Fokuslah pada channel pemasaran yang terukur dan sustainable seperti SEO, content marketing, atau paid advertising yang tertarget.
Liputan media itu seperti kembang api, indah sesaat tapi cepat hilang. Kamu butuh api unggun yang bisa memberikan kehangatan jangka panjang (strategi pemasaran yang solid).
Baca: Apakah Anda Sudah Membuat Strategi Seperti Ini?
4. Saya merekrut dengan agresif karena perusahaan kami tumbuh pesat.
Sebuah startup e-commerce merekrut banyak karyawan di bidang marketing dan sales sebelum menyelesaikan masalah supply chain dan operasional. Akibatnya, mereka kewalahan menangani lonjakan pesanan dan mendapatkan banyak komplain dari pelanggan.
Merekrut terlalu cepat tanpa fondasi yang kuat (product-market fit, proses yang efisien) bisa berakibat fatal. Startup di tahap awal harus lean dan efisien. Setiap orang yang direkrut harus memberikan kontribusi yang signifikan.
Baca: Kesalahan Fatal Pemula Ketika Membangun Startup
Rekrutmen yang agresif bisa menjadi bumerang jika tidak diimbangi dengan pertumbuhan revenue yang sehat. Overhiring menciptakan overhead yang besar dan bisa menghambat cash flow.
Rekrutlah secara strategis dan sesuai kebutuhan, prioritaskan peran-peran yang critical untuk pertumbuhan.
Bayangkan kamu sedang membangun perahu. Kalau kamu menambah terlalu banyak awak kapal sebelum perahu selesai dibangun, perahu itu bisa tenggelam karena kelebihan beban.
5. Saya punya kantor keren, kami perlu fokus membangun perusahaan.
Sebuah startup yang masih dalam tahap development menyewa kantor coworking space dengan fasilitas lengkap dan harga selangit. Akibatnya, mereka kekurangan dana untuk eksperimen pasar dan pengembangan produk.
Di tahap awal, hemat setiap rupiah. Gunakan uang untuk hal yang benar-benar penting, bukan buat gaya-gayaan. Kantor keren tidak akan bikin produk kamu jadi keren.
Baca: Hal Penting Pada Tahap Awal Startup
Minimalisir pengeluaran yang tidak perlu. Kantor mewah bukanlah prioritas. Gunakan resource seefisien mungkin dan fokuslah pada pengembangan produk dan customer acquisition.
Buat apa menyewa toko mewah di mal kalau kamu masih mencoba menjual kue buatan rumah? Lebih baik fokus pada kualitas kue dan mencari cara menjualnya secara efisien.
6. Saya yakin fitur ini akan jadi game changer.
Sebuah aplikasi social media menambahkan fitur live streaming yang rumit dan mahal karena pendiri “yakin” fitur itu akan populer. Ternyata, pengguna tidak tertarik dan lebih memilih fitur lain yang lebih sederhana.
Validasi setiap asumsi dengan data. Jangan membangun fitur berdasarkan feeling atau instinct semata. Lakukan riset pasar, customer development, dan testing untuk memastikan fitur yang Anda kembangkan benar-benar dibutuhkan dan diinginkan pasar.
Baca: Mengapa Anda Harus Membangun MVP?
Membangun fitur tanpa riset itu seperti memanah dalam gelap. Kamu tidak tahu apakah anak panah kamu akan mengenai sasaran atau tidak.
7. Saya akan menemukan CTO di acara meetup machine learning.
Ada seorang CEO startup AI yang desperately mencari CTO di meetup. Dia mendekati setiap orang yang terlihat “teknis”, tapi gagal menemukan yang cocok. Ternyata, dia tidak punya visi yang jelas untuk startup-nya dan equity yang ditawarkan juga kurang menarik. Akhirnya, dia menemukan CTO yang tepat melalui rekomendasi dari mentornya.
Mendapatkan CTO yang tepat itu seperti mencari pasangan hidup, butuh kecocokan visi, nilai, dan chemistry. Meetup itu cuma salah satu cara. Kamu perlu aktif membangun jaringan, mencari referensi, dan menawarkan value proposition yang menarik bagi calon CTO. Jangan lupa, CTO yang baik tidak hanya jago coding, tapi juga punya kemampuan leadership dan business sense.
Baca: Cara Mencari Co-Founder
Mencari CTO, atau co-founder itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Kamu perlu magnet yang kuat (visi yang jelas dan equity yang menarik) untuk menemukannya. Dan perlu diingat, jarum yang kamu cari bukan sembarang jarum, tapi jarum yang tajam, kuat, dan bisa menjahit dengan baik (punya skill dan pengalaman yang relevan).
8. Anda harus menandatangani NDA sebelum saya menceritakan ide saya
Seorang pendiri startup memiliki ide brilian untuk aplikasi mobile. Dia meminta semua orang yang dia temui untuk menandatangani NDA sebelum mendiskusikan idenya. Akibatnya, dia sulit mendapatkan feedback yang jujur dan kehilangan kesempatan untuk berkolaborasi dengan orang lain. Di sisi lain, ada startup lain dengan ide yang mirip tapi lebih terbuka dalam mendiskusikan ide mereka dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Startup kedua inilah yang akhirnya sukses karena mereka fokus pada eksekusi dan iterasi berdasarkan feedback dari pasar.
Ide itu sendiri tidak berharga tanpa eksekusi yang baik. Terlalu fokus pada kerahasiaan ide malah bisa menghambat kamu dalam mendapatkan feedback, kolaborasi, atau mentorship. Yang membedakan startup yang sukses dan gagal bukanlah idenya, tapi kemampuannya dalam mengeksekusi ide tersebut. Fokuslah pada building dan iterating produk Anda.
Baca: Apakah Ide Bisnis Harus Dicari ?
NDA itu seperti mengunci resep rahasia di brankas tapi tidak pernah membuat kuenya. Resep itu tidak ada gunanya kalau kamu tidak bisa memanggang kue yang enak. Malah, dengan membagikan resep (dengan hati-hati tentunya), kamu bisa mendapatkan masukan dan tips dari chef lain untuk meningkatkan kualitas kue kamu.
9. Saya punya tim rockstar, dari Google, Facebook, dan Amazon.
Sebuah startup merekrut beberapa engineer senior dari Google dengan gaji yang fantastis. Namun, mereka kesulitan beradaptasi dengan lingkungan startup yang cepat berubah dan menuntut fleksibilitas tinggi. Mereka juga terbiasa dengan sumber daya yang melimpah di Google sehingga sulit untuk bekerja dengan keterbatasan yang ada di startup. Akhirnya, startup tersebut harus melepas mereka karena kinerja yang tidak sesuai ekspektasi.
Pengalaman di perusahaan besar memang valuable, tapi budaya dan cara kerja di startup sangat berbeda. Kamu butuh orang yang adaptif, mau bekerja keras dengan sumber daya terbatas, tahan banting, dan punya ownership. “Rockstar” yang terbiasa dengan kenyamanan dan fasilitas di perusahaan besar belum tentu cocok dengan lingkungan startup yang dinamis dan penuh tantangan. Carilah talent yang passionate dengan problem yang ingin Anda selesaikan.
Baca: Teknologi Dan SDM: Overconfident – Overpay – Overkill
Memiliki tim “rockstar” dari perusahaan besar itu seperti memiliki tim pemain bola terbaik di dunia, tapi kamu memasukkan mereka ke pertandingan futsal. Skill individu mereka memang luar biasa, tapi mereka belum tentu bisa bermain dengan baik dalam formasi dan aturan yang berbeda.
10. Saya hanya perlu mencari cara untuk memasarkan produk ini ke masyarakat.
Sebuah startup membuat aplikasi untuk memesan tukang pijat ke rumah. Mereka mengeluarkan banyak uang untuk iklan di media sosial dan search engine. Namun, ternyata tidak banyak orang yang tertarik dengan layanan tersebut karena sudah ada alternatif lain yang lebih murah dan mudah diakses.
Pastikan product-market fit dulu sebelum fokus pada marketing.
Marketing itu membantu orang menemukan produk yang mereka butuhkan, bukan memaksa orang membeli produk yang tidak mereka inginkan. Validasi demand dulu sebelum mikirin marketing. Pastikan ada pasar yang cukup besar dan problem yang cukup nyata yang ingin kamu selesaikan.
Baca: 7 Fase Discovery Untuk Menyelamatkan Startup Anda dari Kegagalan
Marketing itu seperti membangun jembatan antara produk kamu dengan konsumen. Tapi, kalau di seberang jembatan tidak ada apa-apa (tidak ada demand), siapa yang mau melewati jembatan itu?
11. Saya perlu merekrut marketer baru.
Sebuah startup SaaS mengeluhkan rendahnya penjualan dan berencana merekrut VP Marketing yang berpengalaman. Namun, setelah dianalisis, ternyata produk mereka sulit digunakan dan kurang fitur dibandingkan kompetitor. Mereka akhirnya memutuskan untuk fokus memperbaiki produk dulu sebelum memperkuat tim marketing.
Marketer hebat pun tidak bisa menjual produk jelek. Fokus pada product development dan product-market fit dulu. Kalau produk kamu benar-benar memecahkan masalah dan memberikan nilai pada pengguna, orang akan mencarinya sendiri (dan bahkan merekomendasikannya ke orang lain). Marketing yang efektif akan lebih mudah dilakukan jika kamu memiliki produk yang kuat. Produk yang bagus akan “market itself”.
Baca: Apa Itu Fail Fast?
Marketer itu seperti juru masak yang bertugas menyajikan makanan seenak mungkin. Tapi, kalau bahan makanannya sudah busuk (produk jelek), keahlian juru masak pun tidak akan bisa menyelamatkan hidangan tersebut.
12. Saya butuh uang dari VC untuk membawa perusahaan scale up.
Ada dua startup di bidang e-commerce. Startup A mendapatkan pendanaan VC dan fokus pada pertumbuhan yang agresif. Startup B memilih pinjaman bank dan berkembang secara organik. Beberapa tahun kemudian, startup A berhasil menguasai pasar dan melakukan IPO, sementara startup B masih berjuang untuk bersaing karena keterbatasan modal dan skala operasi.
Pendanaan Venture Capital memang bisa mengakselerasi pertumbuhan, tapi juga datang dengan trade-off seperti dilution dan pressure to grow at all cost. Pertimbangkan alternatif pendanaan lain seperti bootstrapping, grants, revenue-based financing.
Baca: Startup Unicorn Mendadak Ambruk Usai Raup Modal Ventura Miliaran Dollar, Bagaimana Bisa Terjadi?
Jika kamu sudah memutuskan dengan VC, dia itu partner, bukan ATM. Mereka membawa lebih dari sekadar uang: koneksi, mentorship, dan pengalaman yang bisa membantu startup kamu tumbuh secara eksponensial.
Namun, pendanaan VC juga datang dengan ekspektasi pertumbuhan yang tinggi dan tekanan untuk mencapai exit (IPO atau akuisisi). Pinjaman mungkin terlihat lebih “mudah” di awal, tapi bisa menghambat pertumbuhan jangka panjang karena kamu harus membayar utang dan bunganya.
Mendapatkan pendanaan VC itu seperti mendapatkan pelatih pribadi untuk atlet. Pelatih itu akan membantu kamu meningkatkan performa dan mencapai target yang lebih tinggi, tapi kamu juga harus siap dengan latihan yang intens dan disiplin yang ketat.
13. Kalau saya dapat pendanaan lagi, kita punya waktu untuk pivot.
Sebuah startup yang awalnya fokus pada online gaming sudah melakukan tiga kali pivot (beralih ke social media, kemudian e-commerce, dan terakhir fintech) tapi masih belum menemukan traction. Mereka terus mencari pendanaan dengan janji akan “menemukan pivot yang tepat”. Namun, investor sudah kehilangan kepercayaan dan mereka akhirnya kehabisan dana dan harus menutup operasi.
Pivot memang terkadang diperlukan, tapi jangan jadikan itu alasan untuk menunda tough decision. Jika fundamental bisnis kamu bermasalah, raising more money hanyalah delaying the inevitable.
Pivot itu sulit, dan tidak selalu berhasil. Kalau kamu sudah beberapa kali pivot dan masih belum menemukan product-market fit, mungkin sudah saatnya untuk move on. Jangan buang waktu dan uang investor (dan waktu kamu sendiri). Kegagalan adalah hal yang biasa di dunia startup. Yang penting adalah belajar dari kegagalan dan bangkit kembali.
Baca: Kapan Bisnis Anda Harus Pivot?
Pivot itu seperti mengganti ban mobil yang kempes di tengah jalan. Kamu bisa mengganti ban itu dengan ban cadangan (pivot), tapi kalau ban cadangan itu juga kempes (pivot gagal), kamu tidak bisa terus-menerus mengganti ban. Pada titik tertentu, kamu harus memanggil mobil derek (menyerah) dan mencari solusi lain.
Takeways
Membangun startup itu memang penuh tantangan. Kebohongan-kebohongan ini sering membuat pendiri pemula terjebak dan kehilangan arah. Jangan sampai kamu jadi korban mitos yang menyesatkan.
Selalu kembali ke prinsip dasar: fokus pada produk, eksekusi yang tepat, dan pastikan kamu memahami pasar yang ingin kamu tuju.
Kalau ada satu nasihat terakhir di artikel ini: jangan takut gagal, tapi jangan juga takut untuk tahu kapan harus berhenti.
Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.