Bagaimana kepercayaan diri berlebihan bisa nembawa startup menuju kegagalan yang tak terhindarkan?

Dalam tulisan ini, kita akan bicara bagaimana “overkill” dalam bisnis bisa menjadi bumerang yang menghancurkan masa depan perusahaan Anda. Mengapa banyak perusahaan yang justru di tahun-tahun ini melakukan lay-off karyawannya, dan beberapa diantaranya bahkan berhenti beroperasi? Padahal waktu pandemi, mereka secara signifikan menambah tenaga kerja, terutama di sektor-sektor seperti ritel online, dan teknologi untuk bekerja dari rumah.

Harvard Business Review Why Startup Fail
Image source: Harvard Business Review

Perusahaan rintisan (startup) memang memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Berdasarkan riset dari Harvard Business Review, sekitar 90% startup gagal dalam 5 tahun pertama. Banyak faktor mengapa mereka gagal, Anda bisa membacanya lagi, penyebab besar mengapa perusahaan gagal.

Alasan yang paling bagus untuk dikatakan saat ini adalah situasi ekonomi global, inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga, dan geopolitik. Semua itu membuat para investor bingung, sehingga uang dari ventura capital lebih sulit didapat.

Di masa “sulit” ini, blitzscalling tidak lagi menjadi strategi yang tepat. Hampir semua investor telah mengubah metrik yang mereka gunakan untuk menilai perusahaan. Jika metrik sebelumnya adalah gowth yang cepat dan tinggi, kini menjadi fokus pada cashflow dan profitabilitas yang kuat.

Maka, untuk mengikutinya, perusahaan-perusahaan ini menjadi lebih berhati-hati, dan berhenti “membakar uang” mereka, menenangkan hati para investor, serta menghemat uang cash di pasar yang sedang ketat ini.

Bagaimana Kepercayaan Diri Berlebihan Bisa Merusak Kemungkinan Sukses Startup Anda

“Terlalu percaya diri bisa menyebabkan Anda membayar mahal untuk hal-hal yang berlebihan”.

Quilbi
Image source: The Guardian

Kita awali dengan sebuah kisah nyata.

Quibi adalah startup yang didirikan oleh mantan CEO DreamWorks Animation, Jeffrey Katzenberg, dan mantan eksekutif HP, Meg Whitman.

Mereka mencoba memasuki pasar streaming video dengan format konten yang dirancang khusus untuk perangkat seluler.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah penggunaan teknologi yang mahal untuk menghasilkan konten berkualitas tinggi, termasuk serial pendek dengan produksi yang tinggi.

Namun, Quibi mengalami kesulitan besar sejak peluncurannya pada tahun 2020. Meskipun berhasil mengumpulkan dana besar dan mendatangkan nama-nama besar dalam industri hiburan, platform ini gagal mendapatkan jumlah pelanggan yang diharapkan.

Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan Quibi:

  • Infrastruktur yang Mahal
    Quibi menghabiskan banyak uang untuk menghasilkan konten berkualitas tinggi dengan teknologi canggih. Mereka bahkan memproduksi beberapa konten dalam format potrait dan landscape secara bersamaan, yang menambah kompleksitas produksi.
  • Biaya Tinggi
    Pengeluaran Quibi untuk konten, pemasaran, dan pengembangan platform sangatlah tinggi. Mereka harus mendatangkan bintang-bintang Hollywood dengan gaji tinggi untuk beberapa proyek.
  • Kegagalan dalam Merespon Pasar
    Quibi mengabaikan perubahan pasar yang sedang terjadi, terutama perubahan perilaku konsumen selama pandemi COVID-19. Mereka berpegang pada model bisnis berlangganan yang tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen saat itu.
  • Tingkat Kompetisi
    Saat peluncuran, Quibi harus bersaing dengan platform streaming yang sudah mapan seperti Netflix, Hulu, dan Disney+. Mereka juga bersaing dengan platform media sosial yang menawarkan konten gratis.

Quibi akhirnya mengalami kegagalan dan dihentikan setelah hanya beroperasi selama beberapa bulan.

Mereka telah mengumpulkan dana sekitar US $1,75 miliar, sehingga menjadi salah satu “case bagus” yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi mahal, infrastruktur mewah, dan profesional dengan bayaran tinggi, tidak selalu menjamin kesuksesan.

Teknologi Dan SDM: Overconfident – Overpay – Overkill

Salah satu kesalahan yang cukup sering dilakukan oleh startup adalah overprice atau overkill saat memilih penggunaan infrastruktur, teknologi, dan merekrut karyawan.

Hal ini terjadi karena startup yang baru mendapatkan pendanaan dari venture capital (VC) sering kali merasa di backup banyak uang, dan ingin menggunakan perangkat-perangkat kerja mewah, teknologi mahal, merekrut profesional terbaik dengan bayaran yang tinggi, dan menerapkan skema-skema benefit yang merujuk pada perusahaan mapan. Ada juga diantara mereka yang melakukan team gathering mewah, dan perjalanan (bisnis) ke luar negeri yang impact-nya tidak terukur.

Oiya, mereka juga harus menjadi media daring.

Ada beberapa alasan (yang mungkin) mengapa startup menggunakan pendekatan dengan infrastruktur, teknologi, dan profesional berbiaya tinggi yang cenderung overkill:

  • Percaya Diri Berlebihan
    Beberapa startup mungkin memiliki kepercayaan diri berlebihan dalam kemampuan mereka untuk mengejar pertumbuhan yang cepat. Mereka mungkin merasa bahwa dengan menggunakan teknologi dan profesional yang mahal, mereka dapat mencapai hasil yang lebih besar dengan lebih cepat.
  • Teori “Lebih Baik”
    Terkadang, ada pandangan bahwa “lebih baik berlebihan daripada kekurangan.” Startup mungkin berpikir bahwa menggunakan infrastruktur dan teknologi terbaik serta profesional berpengalaman adalah investasi yang layak untuk menghindari masalah teknis di masa depan.
  • Persepsi Kualitas Tinggi
    Beberapa startup mungkin percaya bahwa dengan membayar gaji tinggi, mereka dapat menarik dan mempertahankan talenta yang berkualitas tinggi. Mereka mungkin menganggap bahwa memiliki tim profesional yang terampil akan meningkatkan kualitas produk atau layanan mereka.
    Tim manajemen startup menganut pandangan bahwa memiliki “kuda besi” (yaitu karyawan dengan reputasi dan pengalaman yang kuat) dalam tim mereka akan membantu mereka mengatasi segala tantangan. Startup juga mungkin khawatir bahwa jika mereka merekrut karyawan dengan skill yang lebih rendah, kualitas pekerjaan atau produk mereka akan buruk, yang dapat merugikan reputasi perusahaan.
  • Tekanan Waktu
    Dalam upaya untuk tumbuh dengan cepat, startup mungkin merasa tidak punya waktu untuk melatih atau mengembangkan karyawan dengan skill yang lebih rendah. Oleh karena itu, mereka mungkin lebih suka merekrut profesional yang sudah siap produktif.
  • Tekanan Dari Investor
    Venture capital seringkali mendesak startup untuk mencapai pertumbuhan yang cepat dan besar. Ini dapat mendorong startup untuk menghabiskan lebih banyak uang untuk infrastruktur dan profesional berbiaya tinggi dengan harapan bahwa ini akan menghasilkan hasil yang lebih baik.
  • Tingkat Persaingan yang Tinggi
    Di beberapa industri, persaingan sangat ketat, dan startup mungkin merasa perlu untuk bersaing dengan perusahaan besar yang telah mapan. Ini dapat mendorong mereka untuk menggunakan teknologi yang lebih mahal untuk tetap bersaing. Startup juga merasa perlu untuk memiliki tim yang kuat dan kompeten untuk bersaing dengan perusahaan lain di pasar yang sama. Ini dapat mengarah pada keputusan untuk merekrut karyawan dengan gaji tinggi.
  • Kurangnya Pengalaman Manajemen
    Beberapa founder startup mungkin kurang berpengalaman dalam mengelola sumber daya dan anggaran. Mereka mungkin tidak tahu cara mengukur apa yang benar-benar diperlukan dan akhirnya menggunakan sumber daya secara berlebihan. Mereka merasa lebih nyaman dengan merekrut profesional berpengalaman, bahkan jika pekerjaan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh karyawan dengan skill yang cukup.
  • Tidak Ada Alternatif yang Diketahui
    Kadang-kadang, startup mungkin tidak tahu alternatif yang lebih terjangkau, atau tidak memiliki pengetahuan teknis yang cukup untuk mengevaluasi solusi yang lebih hemat biaya.
  • Pengaruh dari Benchmark Industri
    Startup mungkin melihat perusahaan lain dalam industri mereka menggunakan teknologi dan profesional berbiaya tinggi, dan mengikuti tren tersebut tanpa mempertimbangkan apakah itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
  • Prestise dan Kepercayaan
    Menggunakan teknologi atau profesional dari vendor ternama dapat meningkatkan citra dan kepercayaan dalam bisnis startup. Ini bisa mengesankan calon investor, pelanggan, atau mitra bisnis. Mereka mungkin merasa lebih nyaman bekerja dengan perusahaan yang menggunakan infrastruktur yang dianggap terpercaya.
  • Menjadi Leader Teknologi
    Beberapa startup ingin menjadi pemimpin dalam industri mereka dan menggunakan teknologi terdepan untuk mencapai tujuan ini. Mereka mungkin percaya bahwa hanya teknologi canggih yang akan memungkinkan mereka bersaing secara efektif di pasar yang kompetitif.
  • Skalabilitas
    Teknologi dan infrastruktur dari vendor ternama sering kali lebih mudah untuk diskalakan ketika bisnis berkembang. Startup mungkin berencana untuk pertumbuhan yang cepat dan memilih solusi yang dapat mengakomodasi pertumbuhan tersebut tanpa masalah.
  • Akses ke Sumber Daya
    Vendor ternama (dan mahal) sering memiliki sumber daya tambahan seperti dukungan teknis yang kuat atau akses ke data dan alat yang berharga. Startup mungkin melihat ini sebagai nilai tambah yang signifikan.
  • Persiapan untuk Pertumbuhan
    Beberapa startup ingin membangun fondasi teknologi yang kuat dari awal agar mereka siap untuk pertumbuhan yang cepat di masa depan. Ini bisa mencakup penggunaan teknologi dan infrastruktur yang lebih canggih.

Pendekatan ini bisa menjadi kontraproduktif, mengurangi profit, dan membuat startup lebih rentan terhadap kegagalan.

Overkill Akan Membunuhmu Cepat Atau Lambat

Para founder melupakan prinsip ekonomi dasar pengusaha: mendapatkan hasil yang maksimal dengan pengorbanan yang minimal. Pengusaha harus selalu berupaya untuk menggunakan sumber daya mereka secara efisien dan efektif, agar dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal.

Jika sebuah startup mengambil langkah-langkah “overkill” dalam menggunakan infrastruktur, teknologi, dan karyawan, ada beberapa bahaya yang dapat terjadi, dan ini bisa membunuh startup Anda:

  • Pengeluaran yang Tinggi dan Penurunan Profitabilitas
    Salah satu bahaya utama adalah meningkatnya pengeluaran bisnis tanpa menghasilkan peningkatan yang sebanding dalam pendapatan atau profitabilitas. Ini dapat mengakibatkan startup mengalami kerugian yang signifikan dan bahkan kesulitan untuk bertahan.
  • Ketergantungan pada Pendanaan Eksternal
    Startup mungkin terpaksa terus mencari pendanaan eksternal untuk membiayai pengeluaran yang tinggi ini. Ini bisa berarti bergantung pada investor atau venture capital untuk mendukung bisnis, yang dapat mengurangi kontrol dan fleksibilitas.
  • Kehilangan Fokus
    Fokus pada penggunaan teknologi dan profesional yang berbiaya tinggi dapat mengalihkan perhatian dari aspek bisnis inti. Startup mungkin terlalu terpaku pada hal-hal teknis atau infrastruktur mewah dan mengabaikan pengembangan produk atau pemasaran yang efektif.
  • Ketidakpastian Keberhasilan
    Meskipun penggunaan teknologi atau profesional yang mahal dapat meningkatkan peluang keberhasilan, itu tidak menjamin kesuksesan. Bisnis startup tetap memiliki risiko, dan kegagalan adalah keniscayaan. Menghabiskan terlalu banyak pada sumber daya mahal tidak akan menghilangkan risiko ini.
  • Keterlambatan Peluncuran
    Menciptakan atau mengimplementasikan teknologi yang rumit atau infrastruktur mewah dapat memakan waktu yang lama. Ini dapat mengakibatkan keterlambatan dalam meluncurkan produk atau layanan, yang dapat memberikan keuntungan pertama kepada pesaing.
  • Kesulitan Dalam Skalabilitas
    Meskipun teknologi canggih sering kali dapat diskalakan, itu juga dapat menjadi hambatan dalam beberapa kasus. Meningkatkan kapasitas atau menyesuaikan solusi yang rumit dengan pertumbuhan bisnis dapat menjadi sulit.
  • Kehilangan Fleksibilitas
    Terlalu banyak investasi dalam teknologi, infrastruktur, dan profesional yang berbiaya tinggi dapat mengunci startup dalam komitmen yang sulit dibatalkan atau diubah. Mereka mungkin kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan pasar atau mengikuti perkembangan teknologi yang lebih baru.
  • Kurangnya Validasi Pasar
    Terkadang startup terlalu fokus pada membangun produk atau layanan dengan fitur-fitur canggih tanpa memvalidasi apakah ada permintaan di pasar untuk fitur-fitur tersebut. Ini dapat mengakibatkan pengeluaran yang tidak efisien dan pemborosan sumber daya.
  • Tidak Dapat Bersaing Dengan Harga Yang Lebih Rendah
    Jika startup menggunakan teknologi dan infrastruktur yang mahal, mereka mungkin sulit bersaing dengan kompetitor yang dapat menawarkan harga yang lebih rendah kepada pelanggan. Ini dapat menghambat pertumbuhan dan adopsi produk atau layanan mereka.
  • Pemecatan Karyawan
    Jika startup mengalami kesulitan keuangan akibat biaya yang tinggi, mereka mungkin terpaksa melakukan pemecatan karyawan, yang dapat berdampak negatif pada budaya perusahaan dan produktivitas.
  • Kegagalan Bisnis
    Jika biaya operasional terus meningkat tanpa pertumbuhan pendapatan yang sebanding, startup berisiko mengalami kegagalan bisnis. Mereka mungkin tidak dapat mempertahankan bisnis mereka dalam jangka panjang.

Jadi, startup perlu mempertimbangkan dengan hati-hati apakah penggunaan infrastruktur, teknologi, dan profesional yang mahal benar-benar diperlukan untuk mencapai tujuan bisnis mereka, dan apakah itu sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Langkah yang overkill dalam hal ini dapat mengakibatkan risiko finansial dan operasional yang serius.

Korban Lain Overkill

Dalam konteks tulisan ini, selain Quibi, saya mengambil contoh lagi startup dari Indonesia.

Kudo (sekarang GrabKios), adalah startup yang awalnya mencoba membangun jaringan toko-toko kecil yang dapat digunakan sebagai titik akses untuk layanan online seperti pembayaran tagihan dan top-up pulsa.

Mereka membangun infrastruktur fisik yang luas dan mahal, dengan menyewa atau membangun ribuan warung di seluruh Indonesia.

Meskipun konsepnya menarik, biaya pengembangan infrastruktur yang besar dan upaya untuk menjalankannya terbukti overkill.

Kudo akhirnya diakuisisi oleh Grab dan diganti namanya menjadi GrabKios, dan model bisnisnya mengalami restrukturisasi.

Contoh kedua,

TokoCabang adalah salah satu inisiatif dari Tokopedia.

Ide di balik TokoCabang adalah membantu pedagang tradisional membuka toko online mereka dengan cepat dan menggunakan infrastruktur teknologi Tokopedia yang canggih.

Namun, TokoCabang mengalami kesulitan karena menghabiskan terlalu banyak sumber daya untuk membangun infrastruktur dan teknologi yang rumit, serta merekrut tim profesional berpengalaman dengan biaya tinggi.

Mereka membangun berbagai tool dan fitur yang akhirnya tidak digunakan oleh banyak pedagang tradisional yang kurang terampil dalam teknologi.

Selain itu, strategi ini tidak sepenuhnya memahami kebutuhan dan keterbatasan pedagang tradisional di Indonesia.

TokoCabang akhirnya dihentikan karena kesulitan dalam mencapai pertumbuhan yang signifikan dan biaya yang terus mengalir deras.

TokoCabang kini bertransformasi menjadi “Dilayani Tokopedia”, layanan pemenuhan pesanan (fulfillment) Tokopedia.

Dalam kedua kasus di atas, penggunaan infrastruktur dan teknologi yang mahal tidak selalu menghasilkan keberhasilan bisnis yang diproyeksikan di awal, walaupun tidak berakhir tragis seperti Quibi.

Takeaway

Dalam dunia yang kompetitif dan cepat berubah seperti sekarang. Blitzscalling menjadi strategi yang harus dipertimbangkan dengan sangat cermat. Di masa sulit ini, pengambilan keputusan bijak dalam menggunakan sumber daya merupakan kunci kesuksesan.

Startup yang terlalu terburu-buru atau terlalu percaya diri dalam mengadopsi teknologi mewah, infrastruktur mahal, dan merekrut profesional berbiaya tinggi bisa menghadapi risiko yang serius.

Startup bisa terjebak dalam pengeluaran yang besar tanpa hasil yang sebanding. Hal itu akan mengakibatkan penurunan profitabilitas, ketergantungan pada pendanaan eksternal, dan kesulitan bersaing dengan pesaing yang lebih efisien.

Pengembangan infrastruktur yang besar dan kompleks tidak selalu memenuhi kebutuhan pasar, terutama jika pasar tersebut belum siap. Terlalu banyak fokus pada teknologi canggih juga dapat mengalihkan perhatian dari pengembangan produk atau layanan yang lebih efektif.

Dalam dunia bisnis, keseimbangan antara penggunaan sumber daya yang memadai dan penghematan yang bijaksana adalah kunci untuk bertahan dan tumbuh.

Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi startup lain untuk mempertimbangkan penggunaan sumber daya secara bijak, dan fokus pada solusi yang memenuhi kebutuhan pasar dengan efisien dan efektif.

Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.

Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Cara Mudah Membuat Product Roadmap
Read More

Cara Mudah Membuat Product Roadmap

Jika saat ini kamu sedang bekerja membangun startup, bayangkan saat ini kamu berada di belantara jutaan perusahaan di dunia, dengan milyaran produk dan layanan. Agar punyamu terlihat menonjol dan berkilau, salah satu dari sekian banyak yang harus kamu pelajari dan kerjakan adalah membuat peta jalan produk ( product roadmap). Ini panduan lengkapnya…
Read More
7 Fase Discovery Proyek
Read More

7 Fase Discovery Untuk Menyelamatkan Startup Anda dari Kegagalan

Banyak founder startup yang semula sangat bersemangat, terpaksa harus kecewa ketika “aplikasi yang menjanjikan” mereka gagal mengesankan user. Namun, mereka yang melakukan proses discovery, memiliki tingkat keberhasilan yang meningkat secara signifikan. Fase discovery membantu Anda untuk menentukan anggaran, mengoptimalkan biaya, mengembangkan strategi, dan waktu tersingkat untuk masuk ke pasar, yang pada akhirnya akan membuat startup Anda berada di jalur tepat menuju kesuksesan
Read More