Jika kamu baru mulai meluncurkan sebuah bisnis, kamu akan langsung dihadapkan pada kenyataan, bahwa dua pertiga dari perusahaan baru tidak pernah mencapai hasil yang positif.
Mungkin kamu sudah sering mendengar ini, atau pernah membaca tentang sebab-sebab mengapa sebuah perusahaan baru gagal. Atau malah sudah pernah mengalaminya, seperti saya.
Sebagai seorang founder, saya tahu benar tentang kegagalan. Saya pernah membuat kesalahan yang sangat bodoh. Namun, pada saat yang sama, saya cukup beruntung untuk berhasil beberapa kali juga.
Jangan pernah berkecil hati, karena hal itu tidak terelakkan.
Semua founder harus mengambil kegagalan itu, lalu menjadikannya sebagai sebuah informasi untuk berhasil, pada langkah selanjutnya.
“I can accept failure. Everyone fails at something. But I can’t accept not trying”
― Michael Jordan
Lalu, apakah perusahaan yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun akan aman dan luput dari risiko kegagalan ?
Pada tulisan ini, saya akan mengkompilasi pola dan sebab-sebab yang menjelaskan mengapa perusahaan baru (startup) gagal, dan bagaimana korporasi besar yang sudah berjalan puluhan tahun, bisa mengalami kehancuran.
Dan juga (yang penting) bagaimana cara mengatasinya.
Sebab Mengapa Perusahaan Rintisan Gagal
Sembilan dari sepuluh perusahaan rintisan (startup) akan gagal. Itu adalah fakta yang sulit dan suram, tetapi kebenaran yang sebaiknya kamu renungkan.
Di dunia persilatan startup, berbicara tentang kegagalan adalah sebuah hal yang tidak tabu, bahkan justru terkesan “keren”. Kegagalan dianggap sebagai ”badge of honor, atau sebagai “upacara kenaikan tingkat”, hanya fase lain dari perjalanan bisnis seorang founder.
Dengan mengetahui bahwa banyak kegagalan yang bisa dihindari dengan melihat sebab-sebab dan pola lintasan yang sama, maka kita bisa mengurangi jumlah dan frekuensinya.
6 Pola Yang Menghancurkan Sebuah Bisnis
Pada bulan Maret 2021 yang lalu, Tom Eisenmann, seorang professor Business Administration di Harvard Business School, meluncurkan sebuah buku Why Startups Fail: A New Roadmap for Entrepreneurial Success.
Dalam buku itu, setelah melakukan wawancara / survei dengan ratusan founder dan investor, juga meneliti sejumlah laporan kemunduran kewirausahaan, ia menemukan enam pola yang menghancurkan sebuah bisnis, dua pola sangat umum, yaitu :
1. Partner Yang Buruk
Pihak lain selain founder, seperti karyawan, mitra strategis, dan investor, memainkan peran utama dalam kehancuran perusahaan. Quincy Apparel, misalnya, dikalahkan oleh dukungan yang lemah dari investor dan mitra pabriknya, serta karyawan yang tidak fleksibel.
Untuk menghindari hal ini, maka pemilihan partner, investor, co-founder, karyawan, harus sangat benar-benar diperhatikan. Mereka harus mempunyai visi-misi dan budaya yang sama dengan founder.
2. Salah Memulai
Banyak yang mengabaikan langkah penting dalam proses memulai startup agar tetap lean di awal. Seharusnya mereka melakukan riset kebutuhan pelanggan dulu, sebelum meluncurkan dan menguji produk.
Banyak startup yang gagal karena mereka meluncurkan produk/layanann yang berfungsi penuh, tapi tidak sesuai dengan kebutuhan pasar apa pun.
Untuk menghindari hal itu, startup harus secara ketat mendefinisikan masalah yang ingin mereka pecahkan, mendapatkan umpan balik dari pelanggan potensial, dan memvalidasi konsep dengan pelanggan yang nyata (bukan dari teman/keluarga).
Empat pola lain yang menghancurkan startup :
3. Sinyal Positif Palsu
Pengusaha tahap awal seringkali salah mengartikan sinyal tentang permintaan pasar. Mereka terpesona oleh respon antusias dari para early adopter, seolah mereka sedang berkembang pesat.
Tetapi jika pelanggan utama (early majority) ternyata memiliki kebutuhan yang berbeda dari para early adopter tersebut, startup mungkin harus merekayasa ulang produknya, dan mengedukasi kembali pasar. Upaya ini bisa mahal dan menghabiskan resources, sehingga meningkatkan kemungkinan kegagalan.
Untuk mengatasi ini, penyusunan product roadmap harus melalui serangkaian validasi dan iterasi, yang didapatkan dari feedback pelanggan utama.
4. Perangkap Kecepatan
Dalam pola ini, startup menemukan peluang yang menarik, dan awalnya tumbuh dengan cepat. Itu bisa memikat hati investor, yang lalu akan membayar harga tinggi untuk sahamnya, dan kemudian mereka mendorong startup untuk lebih banyak lagi melakukan ekspansi.
Maka, target pasar asli startup itu akhirnya jenuh, sehingga agar bisa kembali growth, mereka membutuhkan perluasan basis pelanggan ke segmen baru. Tetapi, gelombang pelanggan berikutnya, bagaimanapun, tidak akan menemukan proposisi nilai yang hampir sama menariknya dengan pengguna pertama di pasar sebelumnya.
Untuk terus tumbuh, perusahaan harus menghabiskan lebih banyak uang untuk melakukan akuisisi pelanggan baru. Sementara itu, pertumbuhan pesat startup ini menarik pesaing, yang mungkin akan memangkas harga, dan menggelontorkan lebih banyak uang untuk promosi.
Pada titik tertentu, pelanggan baru mulai lebih mahal untuk didapatkan daripada nilainya (CAC lebih besar daripada profit) .
Karena usaha tersebut menghabiskan banyak uang, investor menjadi enggan untuk memberikan lebih banyak modal.
5. Ketika Butuh Pendanaan Lagi
Startup yang mengalami pola ini, sebetulnya berhasil mempertahankan product-market fit sambil menambah banyak pelanggan baru, tetapi mereka tersandung oleh kekurangan dana, atau kebutuhan akan tim manajemen senior, atau keduanya.
Startup yang sedang berkembang, juga membutuhkan eksekutif senior dengan keahlian fungsional yang mendalam, yang bisa mengelola sejumlah karyawan yang lebih besar, di bidang teknik, pemasaran, keuangan, dan operasional.
Penundaan dalam mempekerjakan eksekutif tersebut, atau perekrutan orang yang salah, bisa menyebabkan penyimpangan strategis, biaya yang melonjak, dan tidak berfungsinya budaya perusahaan.
Nah, pada saat seperti itu, terkadang, ada kejadian dimana seluruh industri tiba-tiba tidak diminati oleh investor, seperti yang terjadi di tahun 2000-an, saat era internet bubble meletus. Para investor menahan dana mereka.
Jika periode kering pendanaan dimulai tepat saat startup yang sedang tumbuh cepat tersebut mencoba untuk mendapatkan pendanaan putaran selanjutnya, startup tersebut mungkin tidak akan bertahan.
6. Berharap Keajaiban Terus Mengalir
Pengusaha yang mengejar visi yang sangat ambisius, serta merta akan menghadapi tantangan yang berlipat.
Misalnya:
[1] membujuk sejumlah besar pelanggan untuk mengubah perilaku mereka secara mendasar, [2] penguasaan teknologi baru, [3] bermitra dengan perusahaan besar yang telah kuat, [4] mengamankan dukungan pemerintah di sisi peraturan atau yang lainnya, dan [5] meningkatkan modal dalam jumlah yang besar.
Setiap tantangan di atas, diposisikan mereka sebagai “lakukan atau mati”.
Jadi, jika mereka melewatkan satu tantangan itu, maka akan bisa berpotensi menghancurkan perusahaan.
Dengan asumsi terdapat peluang 50% keberhasilan untuk setiap tantangan yang ada, maka kemungkinan untuk mendapatkan 5 dari 5 hasil yang baik, adalah sama dengan peluang untuk memilih nomor yang menang dalam sebuah permainan roulette, yaitu 3%.
12 Sebab Utama Mengapa Perusahaan Rintisan Gagal
CB Insights, sebuah perusahaan dengan platform business analytic dan basis data global, telah melakukan identifikasi terhadap 110+ ”post-mortem” perusahaan rintisan sejak 2018. Mereka mengatakan bahwa jarang ada hanya satu sebab mengapa startup mengalami kegagalan.
Mereka kemudian melihat sebuah pola, dan telah mengidentifikasi 12 sebab utama kegagalan sebuah startup.
Dari infographic di atas, terlihat 3 sebab teratas sebuah startup mengalami kegagalan:
1. Kehabisan dana / terlambat melakukan raise fund (38%)
2. Tidak dibutuhkan pasar (35%)
3. Kalah dalam persaingan (20%)
Sementara 9 sebab yang lainnya adalah :
4. Model bisnis yang tidak pas (19%)
5. Regulasi dan masalah legal (18%)
6. Isu terkait pricing/cost (15%)
7. Tim yang tidak tepat (14%)
8. Timing peluncuran produk (10%)
9. Produk yang buruk (8%)
10. Ketidakharmonisan antara tim dengan investor (7%)
11. Pivot yang gagal (6%)
12. Tidak punya passion lagi atau jenuh (5%)
Jika kamu perhatikan, keduabelas sebab ini, sangat korelatif dengan penelitian yang dilakukan oleh Tom Eisenmann, tentang 6 pola yang menghancurkan sebuah bisnis.
Artinya, statistik dan pola tersebut validitasnya tinggi, benar-benar memberitahu para founder agar waspada, dengan berusaha mengantisipasinya dengan melakukan usaha-usaha yang efektif, mengukurnya dengan real feedback, dan melakukan iterasi perbaikan secara terus menerus.
Penyebab Mengapa Korporasi Bisa Hancur
Dunia korporasi dipenuhi dengan kisah tentang perusahaan-perusahaan besar (yang sudah berjalan puluhan tahun) yang hancur karena kurangnya inovasi.
Keengganan untuk berinovasi menempatkan perusahaan manapun pada risiko kegagalan. Tetapi menolak untuk berevolusi dengan pasar, bahkan bisa menjadi lebih menghancurkan.
Sebanyak 88% perusahaan Fortune 500 yang telah ada dari tahun 1955, lenyap dari daftar, dan sejak tahun 2000 bertambah 52% lagi. Salah satu contoh dari mereka adalah Kodak.
Perusahaan film terbesar di dunia waktu itu, Kodak tidak bisa mengikuti revolusi digital, karena takut mencopot lini produk terkuatnya.
Mereka sebenarnya punya tim hebat yang memiliki peluang untuk mengarahkan perusahaan ke arah yang benar. Tetapi keraguannya untuk sepenuhnya melakukan transisi ke digital, menyebabkan kehancurannya.
Misalnya,… saat itu Kodak bisa saja menginvestasikan miliaran dolar untuk mengembangkan teknologi pengambilan gambar dengan menggunakan ponsel dan perangkat digital lainnya. Namun, mereka menahan diri dalam mengembangkan hal tersebut, karena takut menghapus bisnis filmnya yang dianggap sangat penting.
Pesaing, seperti Canon, menangkap peluang ini, dan ia hidup lebih lama dari raksasa Kodak itu.
Contoh lain adalah akuisisi Kodak atas situs berbagi foto bernama Ofoto pada tahun 2001. Namun, alih-alih merintis apa yang mungkin menjadi pendahulu Instagram, Kodak malah menggunakan Ofoto untuk mencoba membuat lebih banyak orang mencetak gambar digital.
Kodak bangkrut pada tahun 2012, dan setelah mengeluarkan sebagian besar lini produknya, mereka muncul kembali pada tahun 2013 sebagai perusahaan yang jauh lebih kecil.
Perusahaan-perusahaan besar itu bangkrut, merger, atau masih ada tetapi telah keluar dari daftar perusahaan-perusahaan Fortune 500 teratas. Sebagian besar perusahaan yang ada dalam daftar di tahun 1955, adalah perusahaan yang sekarang tidak dapat dikenali, dan dilupakan saat ini.
Keengganan untuk berubah, membuat harapan hidup perusahaan terus menyusut. Oleh karena itu, perusahaan harus lebih waspada dari sebelumnya dalam hal inovasi, untuk memastikan kelangsungan bisnis mereka di masa depan.
2 Penyebab Korporasi Hancur
Dua sebab korporasi hancur : mereka terus menerus melakukan hal yang sama, atau hanya terus berusaha menciptakan hal-hal baru.
Solusi terbaik untuk pertumbuhan perusahaan yang berkualitas, adalah mengenali keseimbangan antara dua kegiatan: eksploitasi dan eksplorasi. Keduanya penting, tetapi jika masing-masing terlalu banyak, akan menjadi tidak baik.
Eksploitasi
Eksploitasi adalah memanfaatkan pengetahuan yang kita miliki, untuk membuat sesuatu menjadi baik, atau lebih baik. Misalnya tentang membuat produk dengan lebih cepat dan lebih murah.
Eksploitasi mungkin tidak berisiko dalam jangka pendek.
Tetapi jika hanya melakukan eksploitasi, itu sangat berisiko dalam jangka panjang.
Facit AB) adalah perusahaan industri dan produsen produk kantor. Mereka berbasis di tvidaberg, Swedia, dan didirikan pada tahun 1922 sebagai AB tvidabergs Industrier.
Pada tahun 1932, kalkulator mekanis sepuluh digit pertama diproduksi oleh tvidaberg Industries, diberi nama FACIT dan menjadi sukses besar di seluruh dunia. Semua orang menggunakannya.
Pada tahun 1970, Facit telah mencapai puncaknya dengan lebih dari 14.000 karyawan di seluruh dunia.
Pada tahun 1971, kalkulator elektronik modern buatan Jepang mulai mengganggu industri secara serius, membuat kalkulator mekanis Facit menjadi usang.
Tetapi, apa yang Facit lakukan ketika kalkulator elektronik muncul ?
Mereka hanya terus memproduksi kalkulator yang sama.
Ironisnya, para ahli Facit membeli kalkulator elektronik kecil dan murah di Jepang, lalu mereka gunakan untuk menguji kalkulator mereka.
Hasilnya ?
Dalam enam bulan, setelah mencapai pendapatan maksimum, …Facit hilang.
Facit melakukan terlalu banyak eksploitasi.
Eksplorasi
Eksplorasi adalah tentang mendatangkan yang baru, pencarian, penemuan, tentang produk baru, tentang inovasi baru, tentang mengubah batas kemampuan kita.
Kita semua tahu bahwa eksplorasi itu berisiko tinggi. Kita tidak tahu hasilnya, kita tidak tahu apakah akan menemukannya.
OncoSearch, adalah perusahaan bioteknologi yang cemerlang.
Mereka memiliki aplikasi yang dijanjikan bisa mencari perubahan ekspresi gen pada kanker, mendiagnosa, bahkan menyembuhkan jenis kanker darah tertentu.
Setiap hari mereka menciptakan sesuatu yang baru. Mereka sangat inovatif. Mantranya adalah, “Saatnya kita melakukan yang benar,” atau bahkan, “Kami ingin sempurna.”
Yang menyedihkan adalah, sebelum mereka menjadi sempurna, bahkan sebelum cukup baik, mereka menjadi usang.
OncoSearch melakukan terlalu banyak eksplorasi.
Menyeimbangkan Eksploitasi Dan Eksplorasi
Masa anak-anak, adalah saat kita melakukan eksplorasi sepanjang hari, setiap hari. Lalu, saat beranjak dewasa, kita kurang melakukan eksplorasi, karena sudah memiliki pengetahuan untuk dieksploitasi.
Hal yang sama berlaku pada perusahaan. Secara alami, perusahaan menjadi kurang inovatif ketika mereka sudah kompeten.
Maka, jika kita mengambil perspektif jangka panjang, kita mengeksplorasi. Jika kita mengambil perspektif jangka pendek, kita mengeksploitasi.
Pertanyaannya adalah, “Bagaimana cara menjalankan dan memperbaharui perusahaan secara bersamaan dengan efektif? “ Atau, “Bagaimana cara memastikan perusahaan bisa berubah sebelum menjadi usang atau terkena krisis? “
Melakukan salah satu dengan benar, itu sulit.
Melakukan keduanya bersamaan, itu jauh lebih sulit lagi, yaitu mendorong eksplorasi dan eksploitasi bersama-sama.
Penelitian yang dilakukan oleh Knut Haanaes menyatakan bahwa hanya sekitar 2 persen perusahaan yang bisa mengeksplorasi dan mengeksploitasi pada saat yang sama secara efektif, secara paralel.
Tetapi ketika mereka berhasil melakukannya, hasilnya sangat besar.
Contoh perusahaan seperti mereka ada pada The World’s Most Innovative Companies List. Seperti Nestlé yang menciptakan Nespresso, Lego yang terjun ke film animasi, Toyota menciptakan mobil listrik, Unilever mendorong keberlanjutan, dan lainnya.
2 Perangkap Keseimbangan
Menyeimbangkan eksploitasi dan eksplorasi itu sulit, karena ada begitu banyak perangkap yang menjebak kita di tempat yang sama.
Perangkap PERTAMA adalah melakukan pencarian secara terus menerus.
Kita menemukan sesuatu, tapi kita tidak memiliki kesabaran atau kegigihan untuk memanfaatkannya, dan membuatnya bekerja. Jadi bukannya berdiam mengerjakan itu, tapi malah terus menciptakan sesuatu yang baru.
Begitu seterusnya…, maka kita masuk dalam lingkaran setan untuk menciptakan ide-ide, tapi hasilnya malah menjadi frustrasi.
Contohnya adalah perusahaan Xerox.
Mereka sebetulnya adalah penemu pertama PC, tapi mereka terus melakukan pencarian, sehingga penemuan PC mereka tidak menghasilkan apa-apa.
Btw, kita tidak hanya menemukan hal ini di perusahaan. Kita menemukannya juga pada sektor publik.
Reformasi yang efektif, apapun itu, misalnya dalam pendidikan, penelitian, kesehatan, bahkan pertahanan, dibutuhkan waktu 10, 15, mungkin 20 tahun untuk berhasil.
Tapi, kita lebih sering berubah-ubah sebelum berhasil. Ganti menteri, ya ganti kebijakan. Kita benar-benar tidak memberi kesempatan untuk meneruskan yang sebelumnya.
Perangkap KEDUA adalah perangkap sukses.
“Sukses adalah guru yang buruk. Ia menggoda kita ke dalam pemikiran bahwa kita tidak akan gagal.”
— Bill Gates
Itulah tantangan tentang kesuksesan.
Facit jatuh ke dalam perangkap sukses. Saat itu mereka memegang masa depan di tangan mereka, tetapi mereka tidak mampu melihatnya.
Mereka tidak mau berubah, karena merasa telah membuat sesuatu yang hebat, dan itu mereka cintai.
Mungkin kita seperti itu juga. Ketika kita mengetahui sesuatu dengan baik, kita menjadi sulit untuk berubah.
4 Pelajaran Untuk Lepas Perangkap
Ada empat pelajaran yang bisa kita ambil, baik sebagai individu maupun perusahaan, untuk lepas dari perangkap-perangkap itu.
Pelajaran 1: Maju mengatasi krisis.
Setiap perusahaan yang mampu berinovasi sebenarnya mampu juga mengamankan diri di masa depan.
Contoh Netflix, mereka mungkin puas dengan distribusi konten dari generasi sebelumnya, tapi mereka membuat terobosan baru, dan akan selalu terus berusaha untuk perjuangan berikutnya.
Pelajaran 2: Berpikir dalam berbagai skala waktu.
Grafik di atas diperlihatkan oleh profesor Knut Haanaes dalam satu sesi TED Talk. Yaitu grafik tentang pengaruh inovasi terhadap valuasi perusahaan.
Pada grafik tersebut, perusahaan yang mengambil perspektif satu tahun untuk mengetahui valuasi perusahaannya, ternyata inovasi hanya menyumbang sekitar 30 persen.
Jadi ketika berpikir untuk satu tahun, inovasi sangat tidak penting.
Namun, jika mengamblil perspektif 10 tahun pada perusahaan yang sama, maka inovasi (dan kemampuan untuk perubahan), terhitung 70 persen.
Inovasi menjadi sangat penting jika berpikir jangka panjang.
Konsekuensinya adalah, perusahaan perlu dana yang cukup untuk menggapai tujuan jangka panjang.
Pelajaran 3: Terbuka dengan tantangan.
Kita perlu membuka diri untuk menghadapi tantangan.
Tanda sebuah perusahaan besar adalah terbuka untuk tantangan, dan tanda pengelola perusahaan yang baik adalah menghadapi tantangan dengan konstruktif.
Pelajaran 4: Skeptis terhadap kesuksesan.
Sukses itu tidak lama.
Bolehlah merayakan pencapaian kita. Tapi jangan sampai larut.
Segera letakkan “piala kemenangan”di akhir hari pertama. Mulailah lagi berlatih di hari kedua, untuk menghadapi tantangan selanjutnya.
Jika kamu sedang membangun startup, statistik di atas tidak dimaksudkan untuk mengecilkan hati, tetapi justru untuk mendorong kamu bekerja lebih cerdas, dan lebih keras.
Lalu, tentang eksploitasi dan eksplorasi.
Apakah kamu seorang pencari ataukah kamu cenderung mengeksploitasi pengetahuanmu?
Jangan lupa, dalam case ini keindahan ada di dalam keseimbangan.
Semoga bermanfaat.