Pernah ketemu orang yang merasa dirinya paling pintar dan paling benar? Nah, itu dia yang kita sebut “si paling berpikiran sehat”.
Mereka MERASA punya kapasitas berpikir, keterbukaan pikiran, dan toleransi yang jauh lebih tinggi dari orang lain. Padahal kenyataannya TIDAK.
Ciri-cirinya gampang dikenali:
- Suka pakai label eksklusif, sering ngomong “hanya untuk yang berpikiran sehat”, atau “bagi mereka yang cukup cerdas untuk memahami”, atau “mainmu kurang jauh”.
- Menyuruh orang lain jangan merasa paling benar, sambil dirinya sendiri merasa yang benar.
- Kalau dikritik atau dikasih pandangan beda, langsung dianggap bukti “ketidakmampuan berpikir” orang lain
- Suka bermain logical fallacy, menyederhanakan masalah kompleks jadi cuma dua sisi: “berpikiran sehat” vs “tidak berpikiran sehat”. Ketika ketemu dengan orang yang beneran pintar, dia akan menyerang pribadinya (ad hominem).
- Cuma cari informasi yang mendukung pandangannya, yang beda langsung diabaikan.
⠀Contohnya di mana-mana:
- Di debat politik, ada yang komen “Cuma yang paham situasi yang akan setuju dengan ini.”
- Komentar kebijakan baru, “Cuma orang bodoh yang gak setuju sama kebijakan ini.”
- Di isu lingkungan, ada yang bilang “Cuma orang berpikiran terbuka yang akan paham.”
- Di perdebatan agama, ada yang bilang “Cuma yang tercerahkan yang bisa paham.”
Kenapa orang bisa seperti itu? Ada beberapa faktor psikologis yang berperan:
- Ilusi Superioritas: Merasa dirinya lebih hebat dari orang lain.
- Efek Dunning-Kruger: Gak sadar kalau dirinya kurang mampu, tapi malah merasa paling bisa.
- Bias Konfirmasi: Cuma cari informasi yang sesuai sama pandangannya, yang bertentangan diabaikan.
⠀
⠀Selain itu, ada juga faktor lain seperti:
- Butuh pengakuan, karena merasa dirinya kurang dihargai.
- Situasi dunia yang kompleks bikin cemas, klaim superioritas bisa jadi mekanisme pertahanan diri
- Terpengaruh lingkungan sosial pertemanan yang juga berpikiran sama.
- Kurangnya interaksi dengan orang yang beda latar belakang, membuat dia overestimate kebenaran pandangan sendiri
- Pengalaman pendidikan yang kurang fokus ke pemikiran kritis juga bisa berkontribusi.
⠀Dampaknya?
- Dialog jadi macet karena orang lain merasa direndahkan atau pendapatnya gak dihargai.
- Konflik makin panas. Membuat orang lain jadi defensif atau malah agresif, potensi konflik meningkat.
- Diskusi jadi gak berkualitas. Yang ada cuma saling serang pribadi dan pakai emosi, bukannya tukar pikiran yang berbobot.
- Membuat masyarakat terpecah jadi kubu-kubu.
- Kepercayaan runtuh. Membuat kita makin gak percaya satu sama lain.
- Susah belajar. Kita jadi susah belajar dari sudut pandang berbeda, pertumbuhan intelektual dan emosional jadi terbatas.
Intinya, fenomena “si paling berpikiran sehat” ini bukan cuma masalah individu, tapi juga masalah sosial yang harus kita atasi bersama.