Para founder startup itu (atau yang mengaku begitu) kadang suka aneh.
Sedikit punya problem langsung ingin membangun sistem.
Ada peluang kecil langsung bikin roadmap 3 tahun.
Baru punya ide, sudah cari nama domain, desain logo, dan posting teaser di LinkedIn seolah-olah menemukan listrik baru, padahal produknya belum jelas apa.
Saya pun dulu begitu.
Tahun 2006, masih programmer lugu yang modalnya cuma kemauan dan rasa penasaran. Bikin produk, gagal. Bangun lagi, kandas lagi. Pernah ditipu, pernah dikadali, pernah dipuji, semuanya sama: lewat. Yang bertahan hanya rasa ingin membuktikan bahwa saya bisa membangun sesuatu yang hidup, bernafas, dan memberi impact nyata.
Dan selama hampir dua dekade itu, saya melihat pola yang sama: kita ini overthinker profesional.
Berani lompat dari gaji aman ke dunia yang penuh asap mimpi dan lubang yang dalam, tapi sering terlalu sibuk memoles mimpi sampai lupa membumikan kaki.
Kita bikin community padahal produknya belum jelas.
Kita ngejar investor padahal revenue masih nol koma sekian.
Kita apply accelerator, ngemis testimoni ke teman-teman, seolah-olah badge itu bisa jadi tiket ke surga startup.
Kita bangga “bergerak”, padahal yang kita lakukan sering cuma naik treadmill: keringat keluar, energi habis, tapi gak kemana-mana.
Ekosistem startup pun suka menipu dengan motivasi manis.
Kalimat andalannya selalu, “Jangan menyerah. Yang penting terus jalan.”
Padahal kalimat itu ada kurangnya. Karena ada kelanjutannya yang jarang dikatakan:
Banyak startup bukan mati karena menyerah, tapi karena keras kepala di jalan yang salah.
Saya melihatnya berkali-kali.
Teman. Rekan founder. Bahkan saya sendiri, tahun-tahun awal.
Dan setelah 19 tahun jungkir balik, saya ingin merangkum aturan-aturan yang masih berlaku, setelah hype berganti hype, setelah AI menggulung ulang peta permainan, dan setelah saya sendiri memutuskan hanya mau membangun bisnis yang menyentuh tiga sektor yang benar-benar mengubah nasib orang: keuangan, pendidikan, dan kesehatan.
1. Investor Bukan Tukang Sulap
Ini tolong dibaca pelan-pelan: Investor bukan tukang sulap.
Mereka tidak punya tonkat sulap.
Mereka bukan malaikat bersayap yang akan mengubah ide kamu menjadi unicorn hanya dengan “network” dan “strategic value” yang selalu mereka jual di brosur.
Tidak punya jaminan apa pun selain opini mereka yang dibungkus rapi dalam pitch deck.
Ya, mereka punya pitch, sama seperti kita.
Hanya saja pitch mereka lebih halus:
“Portofolio kami cocok dengan Anda.”
“Kami punya koneksi ke X, Y, Z.”
“Kami bisa bantu Anda scale up lebih cepat.”
Semua itu bisa benar.
Tapi itu bukan jaminan.
Itu jualan mereka.
Investor tidak akan bilang, “Dari 20 startup yang kami danai, 17 mati karena salah bakar uang, 3 lagi tinggal menunggu takziah.”
Tidak mungkin mereka bilang begitu ke kamu yang sedang penuh harapan, dan lagian LP-nya bisa kabur.
Nah, kalau kamu habiskan 12 bulan hanya pitching, tanpa produk terjual, tanpa user, tanpa revenue, itu bukan fundraising.
Itu penundaan “produktif”.
Dengan outfit kamu yang keren.
Dan saya bilang ini dari pengalaman pribadi.
Bertahun-tahun saya mengejar “pijakan roket”, padahal roketnya sendiri belum saya bangun.
2. Putaran Pendanaan Pertama Itu Baru Pemanasan
Banyak founder merayakan seed funding seperti wisuda S3.
Pakai foto formal, caption panjang, dan kalimat “Perjalanan baru dimulai” padahal baru dapat uang jajan.
Kenyataannya itu seperti baru masuk TK.
Belum bisa baca pasar, belum bisa nulis margin, tapi sudah bangga pegang tas startup warna-warni.
Pendanaan pertama itu artinya sederhana: “Ada seseorang di luar sana yang cukup penasaran untuk memberimu uang sekali.”
Bukan karena kamu jenius.
Bukan karena produkmu revolusioner.
Kadang cuma karena pitch deck-mu lebih rapi dari proyek anaknya.
Pendanaan kedua barulah ujian sebenarnya:
“Dia cukup percaya untuk memberimu uang lagi.”
Dan yang ini biasanya bikin kepala founder panas dingin.
Investor sudah tidak lagi terpukau slide keren; mereka mau lihat angka.
Bukan kata “traction”, tapi real action.
Bukan rencana, tapi hasil yang bisa difoto dan dikirim lewat WhatsApp.
Investor cepat tertarik, tapi lebih cepat berubah pikiran begitu mereka sadar industri ini berat, regulatif, dan tidak bisa sekadar “rapid experiment” ala startup mainstream.
Dan, tidak ada loyalitas di dunia modal.
Yang loyal hanya orang-orang yang sudah ada sebelum bisnis kamu berdiri, keluarga, teman dekat yang ikut menanggung semua muntahan perjalananmu.
Sisanya adalah Fair-weather friends.
Hilang ketika grafik retak sedikit saja.
3. Kerja Lebih Pintar Tidak Cukup
“Work smart, not hard.”
Kedengarannya elegan.
Cocok ditempel di poster kantor, di sebelah dispenser, biar terlihat seperti perusahaan modern yang memikirkan wellbeing.
Tapi di lapangan realitanya jauh lebih kejam.
Kompetitormu juga pakai AI.
Juga pakai automation.
Juga baca thread yang sama di X, dan nonton tutorial YouTube yang sama.
Mereka bukan hidup di hutan.
Mereka makan toolkit dan insight yang sama seperti kamu.
Jadi kalau kamu merasa kerja cerdas sudah cukup…, selamat, kamu baru saja menyamakan dirimu dengan standar minimal industri.
Saya lihat sendiri di sektor finance.
Startup dengan ide brilian, tim hebat, dan teknologi keren mati.
Bukan karena produknya jelek.
Bukan karena pasarnya kecil.
Cuma karena mereka bergerak 3 bulan lebih lambat dari pesaing yang lebih nekat dan kurang tidur.
Di fintech, 90 hari itu bukan waktu, itu jarak antara “dapat lisensi” dan “dapat obituari Tech in Asia” (yang bahkan sudah tutup di Indonesia).
Di education?
Momentum itu mata uang utama.
Kamu bisa punya konten terbaik, kurikulum paling futuristik, UI/UX manis seperti aplikasi meditasi, tapi kalau kamu launching ketika hype sudah lewat, ya selesai.
Orang-orang tidak lagi cari “edutech yang revolusioner,” mereka sudah kembali sibuk nyari diskon SPP.
Di health?
Compliance itu monster.
Setiap satu jam inovasi, ada dua jam audit, tiga jam revisi dokumen, empat jam ngomel-ngomel soal regulasi yang berubah dadakan.
Kalau kamu tidak tahan, kamu bukan membangun healthtech, kamu cuma cosplay sebagai founder yang kuat.
Kadang ada yang menang hanya karena timing.
Kadang karena hoki.
Iya, faktor yang tidak pernah dimasukkan ke pitch deck.
Kadang karena punya partner yang tahu kapan harus nekat dan kapan harus minggir.
Dan kadang karena mereka punya keberanian memotong hal-hal yang kita terlalu sayang untuk potong: fitur kesayangan, produk primadona, bahkan karyawan senior yang sudah lama ikut.
Sakit? Iya.
Tidak adil? Sangat.
Tapi realita tidak pernah tunduk pada teori “kerja cerdas”.
Realita tunduk pada kombinasi mematikan: kerja keras + kerja pintar + kecepatan + daya tahan.
Itu rumusnya.
Tidak ada easy mode.
Tidak ada shortcut.
Tidak ada buff rahasia.
Game-nya tetap sama: yang paling cepat belajar, bertahan, dan bergerak,..menang.
4. Tidak Ada “Pity Profits”
Mari kita luruskan satu hal. Di dunia bisnis, tidak ada yang namanya “Pity Profits.”
Eh, apa itu Pity Profits?
Itu adalah keuntungan, pembelian, atau transaksi yang terjadi karena kasihan.
Model bisnis yang secara halus berharap orang berkata, “Aduh, founder-nya tersiksa banget ya. Ya sudah deh, kita beli produknya.”
Sayangnya, itu cuma ada di drama Korea dan video TikTok.
Di dunia nyata tidak ada investor yang peduli kamu dulu makan mie instan 30 hari demi bayar server, meski itu membuat ibumu bangga dan teman-temanmu merasa kamu calon Elon Musk versi kos-kosan. Tidak ada korporasi yang tiba-tiba ingin mengakuisisi perusahaanmu hanya karena mereka terharu membaca kisah perjuanganmu yang relatable.
Kenyataan di meja bisnis lebih simpel, lebih dingin, dan lebih jujur:
Value menang.
Impact menang.
Revenue menang.
Dan di tiga sektor yang saya tekuni, keuangan, pendidikan, kesehatan, pengguna tidak butuh kisah sedihmu. Mereka tidak peduli bahwa kamu bangun jam 2 pagi membenahi bug. Tidak ada yang kasih testimonial: “Saya pilih platform ini karena foundernya tidur cuma 2 jam per hari.”
Mereka cuma mau satu hal: Solusi yang bikin hidup mereka lebih aman, lebih pintar, lebih sehat.
Di finance, orang tidak akan memilih aplikasi investasi hanya karena kamu pernah hampir diusir dari kos. Mereka ingin transaksi aman, aturannya jelas, UI/UX enak, dan customer support tidak menghilang saat ada problem.
Di education, siswa tidak akan membeli course hanya karena kamu pernah ngoding sambil menangis. Mereka cari materi yang masuk akal, instruktur yang jelas, dan hasil yang terasa.
Di health, pasien tidak memilih platform konsultasi kesehatan karena kamu dulu bootstrapping sambil batuk-batuk. Mereka mau kepastian legal, dokter kompeten, dan sistem yang tidak down saat mereka butuh.
Background founder bisa jadi bahan bakar brand, bisa jadi cerita yang memperkuat positioning. Tapi itu tidak bisa menjadi alasan meminta diskon, meminta perhatian, atau meminta pasar untuk “mengerti.”
Karena pasar itu bisa tidak punya empati.
Ia tidak menilai air mata, hanya menilai manfaat. Ia tidak begitu peduli fotomu sebelum sukses. Ia hanya peduli apa yang terjadi setelah user klik tombol “Start.”
Jadi kalau kamu berharap ada orang membeli produkmu semata-mata karena tersentuh, maka kamu bukan sedang membangun startup. Kamu sedang membuka charity yang kebetulan punya dashboard analytics.
Jadi, realitanya begini:
Tidak ada Pity Profits.
Y
ang ada hanya Product-Market Fit atau Tidak.
Oke ya?
5. Ganti “Kenapa ini terjadi?” Dengan “Sekarang apa?”
Ini bukan teori.
Ini prinsip bertahan hidup, dan atas izin Allah sudah menyelamatkan saya berkali-kali sejak 2006. Dari masa masih ngoding di kamar kos sempit sampai sekarang main di sektor finance, education, dan health yang penuh jebakan hukum, audit, dan bug yang muncul seperti hantu penasaran.
Server down? Pernah.
Dan bukan yang down manis. Yang ini down barbar. Tanpa peringatan, tanpa malu, seperti listrik PLN pas hujan lebat.
Modem freeze saat traffic memuncak? Pernah.
Regulasi berubah dan memaksa produk dibongkar ulang? Berkali-kali.
Di education, kamu bisa kehilangan momentum karena kebijakan pemerintah berubah mendadak. Di finance, risiko compliance bisa datang jam 2 pagi.
Di health, integrasi gagal bisa berarti user kehilangan akses yang berdampak pada kesehatan real.
Nah, di dunia seperti ini, cuma ada dua tipe founder.
Tipe 1:
Yang meratap, drama, dan memeluk lutut sambil berkata, “Kenapa ini terjadi? Kenapa saya? Kenapa hidup saya begini?”
Founder tipe ini biasanya update status panjang, curhat ke grup WhatsApp alumni, lalu mulai mempertanyakan makna hidup sambil membuka LinkedIn mencari lowongan.
Tipe 2:
Yang tarik napas panjang, kencangkan otot wajah, dan berkata, “Oke. Sekarang apa?”
Tidak ada waktu buat nangis.
Tidak ada waktu buat mencari kambing hitam.
Tidak ada waktu buat menyalahkan pemerintah, kompetitor, atau netizen.
Karena saat API kamu error, user tidak mau tahu siapa yang salah.
Saat transaksi nyangkut, tidak ada yang peduli kamu kurang tidur.
Saat regulator meminta penyesuaian mendadak, tidak ada yang bertanya apakah timmu sedang burnout.
Yang mereka peduli cuma satu:
Apakah kamu bisa memperbaiki ini? Sekarang juga?
Dan di sinilah perbedaan antar founder terlihat jelas:
Founder tipe pertama membuang energi untuk berdamai dengan perasaan.
Founder tipe kedua mengubah energi menjadi keputusan pertama, apa pun itu: rollback, bypass, manual process, emergency script, switch partner, atau bahkan pivot kecil yang terasa seperti mimpi buruk tapi menyelamatkan nyawa bisnis.
Yang bertahan selalu tipe kedua.
Karena di dunia startup, “stabil” itu mitos.
Yang ada hanya:
Masalah datang.
Kita jawab.
Masalah berikutnya datang.
Kita jawab lagi.
Di sektor mana pun, keuangan, pendidikan, kesehatan, dunia tidak berhenti menekan.
Tapi founder yang tetap hidup sampai tahun ke-10 bukan yang paling pintar, paling punya network, atau paling heboh di konferensi.
Yang bertahan adalah orang yang, setiap kali dunia meninju mereka di wajah, cuma berkata, “Oke. Sekarang apa?”
Hukum Gravitasi Startup
Kalau ada satu hukum alam yang tidak bisa kamu lawan dalam dunia startup, itu bukan AI, bukan regulasi, bukan funding winter, tapi gravitasi.
Dan gravitasi bisnis selalu menarik semuanya kembali ke tiga hal sederhana:
Uang masuk.
Uang keluar.
Value di tengahnya.
Sesederhana itu.
Sejujur itu.
Sesakit itu.
Semua jargon yang kita hafalkan: CAC, LTV, PMF, TAM, S-curve, retention cohort, semuanya penting, iya. Tapi seringkali hanya jadi mantra modern yang kita baca seperti doa, berharap keberuntungan turun dari langit seperti investor yang tiba-tiba DM kita di LinkedIn.
Padahal di balik semua istilah keren itu, hukum dasarnya cuma satu:
Kalau value-nya tidak nyata, bisnisnya jatuh.
Tidak peduli seberapa keras kamu berusaha, atau berapa banyak workshop yang kamu ikuti.
Lalu, bagaimana dengan profit?
Ah, ini yang sering kita perlakukan seperti dosa kecil. Boleh ada, tapi jangan dibicarakan keras-keras.
Seolah-olah cari profit itu merusak estetika spiritual dunia startup yang katanya harus impact-driven, mission-first, dan AI-empowered.
Padahal kebenarannya brutal tapi nyata.
Profit adalah bukti bahwa kamu sedang menyelesaikan masalah untuk manusia sungguhan, bukan untuk presentasi, bukan untuk hype, bukan untuk vanity metrics.
Profit adalah tepukan lembut dari pasar yang berkata, “Good. Lanjut.”
Dan ketika akhirnya kita melihat siapa yang benar-benar bertahan di dunia ini, jawabannya bukanlah yang paling sering muncul di panggung konferensi, bukan yang paling rajin posting kolaborasi, bukan yang pitch deck-nya paling glossy dengan 40 slide penuh buzzword, atau bukan yang video pitching-nya paling “AI-enabled” dengan avatar digital yang lebih ganteng dari yang aslinya.
Yang bertahan adalah mereka yang tidak mati-mati.
Mereka yang tidak sibuk cari spotlight, karena lebih sibuk cari value.
Mereka yang tidak takut kotor oleh iterasi, revisi, pivot, debugging, compliance, dan drama pelanggan.
Mereka yang tetap berjalan ketika influencer-founder sudah banting setir jadi motivational speaker,
ketika investor sudah pindah ke “next shiny object”, ketika hype AI sudah membuat semua orang lupa bahwa produk tetap harus bekerja.
Mereka yang bertahan seringnya tidak glamor.
Jalannya pincang karena dikejar regulasi, napasnya tersengal karena deadline yang tidak waras, emosinya naik-turun seperti grafik kripto, imannya digigit sedikit demi sedikit oleh burn rate.
Tapi mereka tetap berjalan.
Tidak heroik.
Tidak megah.
Tapi konsisten.
Dan kalau kamu termasuk yang seperti itu, yang masih berdiri meskipun dunia startup berisik, penuh glitter palsu, penuh janji manis yang cepat basi, maka kamu sedang berada di jalur yang benar, Insya Allah.
Karena meski dunia startup tidak menunggu siapa pun, dia selalu memberi tempat kepada mereka yang tidak pergi.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.

Gerakan #GenerasiProduktif Anti Wacana!


