Hiru pikuk Pilkada dimulai.
Pilihan Anda mencerminkan identitas dan aspirasi Anda. Di sisi lain, hampir semua orang, termasuk Anda, rentan terhadap bias kognitif yang bisa mengaburkan penilaian objektif. Nanti saya jelaskan…
Setiap bangsa mendapatkan pemimpin yang pantas baginya. Pemimpin, baik dalam skala kecil maupun besar, adalah refleksi dari nilai, perilaku, dan harapan masyarakatnya.
“Birds of a Feather Flock Together”
Manusia adalah makhluk sosial yang mencari kesamaan. Kita nyaman berada di antara orang-orang yang memiliki minat, nilai, dan perilaku serupa. Seperti kata pepatah, “Burung yang berbulu sama, terbang bersama.”
Demikian pula dalam politik, Anda cenderung memilih pemimpin yang “sejenis” dengan Anda, yang mewakili kepentingan dan identitas Anda. Itu adalah bagian alami dari dinamika sosial, di mana Anda mencari kesamaan dan kenyamanan dalam kelompok.
Namun, dukungan terhadap seorang calon pemimpin bisa begitu kuat, hingga mengaburkan batas antara fakta dan perasaan. Inilah di atas tadi yang saya sebut bias kognitif.
Psikologi di Balik Cinta Buta
Ini konteksnya adalah Pilkada, ya. Atau bisa juga Pilpres yang telah lewat itu.
Bias konfirmasi, membuat Anda mencari dan menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan Anda, dengan mengabaikan yang bertentangan. Anda fokus pada “kebaikan” pemimpin dan mengabaikan “kekurangan”-nya.
Disonansi kognitif muncul ketika ada ketidaksesuaian antara keyakinan dan kenyataan. Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, Anda merasionalisasi pilihan Anda, atau bahkan menyerang mereka yang mengkritik pemimpin pilihan Anda.
Anda sudah tahu, disonansi kognitif adalah fenomena psikologis yang terjadi ketika terdapat ketidakselarasan antara keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang.
Lalu, identifikasi kelompok memperkuat bias ini. Anda merasa terikat dengan kelompok pendukung dimana Anda ada di dalamnya, apalagi itu jumlahnya mayoritas. Maka, Anda akan membela pemimpin pilihan Anda, menjadi cara untuk mempertahankan identitas kelompok.
Sekarang tentang Logical Fallacy, atau kesalahan logika. Beberapa orang menterjemahkannya: sesat pikir.
Pemilih buta, apalagi itu mayoritas, cenderung melakukan beberapa kesalahan logika.
Misalnya:
False dilemma. Dia berpikiran hanya ada dua pilihan ekstrem (mendukung sepenuhnya atau mengkritik habis-habisan), padahal ada banyak nuansa di antaranya.
Ad hominem. Ia akan menyerang karakter orang yang berseberangan dengannya. Jadi dia bahkan tidak mendebat argumen orang itu. Mungkin dia juga akan membencinya.
Appeal to popularity. Dia merasa benar dengan pilihannya, berdasarkan jumlah pendukung. Ia berargumen bahwa “karena banyak orang memilih A, maka A pasti merupakan pilihan yang tepat.”
Tentu saja argumen itu mengabaikan analisis kritis terhadap kebijakan atau karakter kandidat, dan hanya fokus pada jumlah dukungan yang dimiliki.
Contoh Kasus Cinta Buta
Seorang pemimpin mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dan menuai banyak kritik.
Para pendukungnya, alih-alih mengevaluasi kebijakan tersebut secara kritis, justru menyerang para pengkritik dengan menyebut mereka “pembenci”, “penyebar hoaks” atau bahkan “ghibah”.
Mereka berdalih bahwa pemimpin pasti memiliki alasan kuat di balik kebijakan tersebut, dan rakyat harus percaya pada pemimpin yang telah dipilih.
Kecerdasan dalam Memilih
Memilih pemimpin adalah tanggung jawab yang menuntut kedewasaan dan kecerdasan.
Jangan terjebak dalam bias, tekanan kelompok, atau emosi sesaat. Evaluasi calon pemimpin dengan kritis dan objektif, pertimbangkan rekam jejak, integritas, dan visi mereka.
Ingatlah bahwa pilihan Anda tidak hanya mencerminkan pemimpin yang Anda pilih, tetapi juga diri Anda sendiri.
Bangsa ini membutuhkan pemilih yang cerdas dan kritis.
Memilih pemimpin dengan rasional, berdasarkan fakta dan penilaian objektif.
Kritik yang membangun adalah bagian penting dari proses membangun bangsa, bukan tanda pengkhianatan atau dosa. Kritik bukanlah “ghibah”, tetapi bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Biasakan berpikir kritis dan mengevaluasi informasi secara objektif, terlepas dari afiliasi politik kita.