Setelah diluncurkan 3 tahun lalu (19 Nopember 2019), kemarin pada tanggal 29 September 2022 Google mengumumkan untuk menutup layanan cloud gaming-nya, Stadia. Tetapi, layanan ini masih akan tetap aktif untuk para pemain hingga 18 Januari 2023 mendatang.
Google akan mengembalikan uang semua perangkat keras Stadia yang telah dibeli melalui Google Store, serta semua game dan konten tambahan yang dibeli dari toko Stadia. Refund ini diharapkan akan selesai pada pertengahan Januari 2023.
Mengapa perusahaan raksasa sebesar Google bisa gagal masuk di pasar ?
Bagaimana sebuah produk yang dikerjakan oleh ribuan orang talent luar biasa itu bisa gagal ?
Selain memang Geforce Now dan Xbox Cloud Gaming adalah kompetitor yang sangat kuat, dan bahwa Google hampir tidak banyak tahu tentang game, masalah utamanya adalah seperti sebagian besar produknya saat ini, yaitu tidak ada yang mempercayai mereka bisa membuat produk itu tetap hidup lebih dari 1 – 2 tahun.
Mengapa Google Stadia Gagal?
Sederhananya, tidak ada yang mempercayai Google di bisnis game.
Pada case Stadia, kurang lebih inilah pelajaran yang bisa kita ambil :
1. Memulai Dengan Teknologi Terlebih Dahulu
Stadia adalah tentang “melompat” ke masa depan cloud gaming.
Google meluncurkannya dengan ekspektasi bisa membawa user yang tidak memiliki perangkat keras game yang mahal, untuk tetap bisa memainkan game dengan cara streaming.
Tapi dugaan itu salah. Google mengira mereka memiliki internet dengan koneksi cepat, dan mengira mereka tidak memiliki perangkat keras game yang layak.
Tetapi ternyata para gamer itu punya perangkat keras game, PC atau konsol seperti Xbox, Playstation, Nintendo Switch.
Dan internet masih lambat. Rata-rata kecepatan internet di AS adalah 26 Mbps, tidak cukup cepat untuk streaming Stadia dengan resolusi 4K.
Jadi Stadia hanya bisa menarik ceruk pasar yang sangat kecil.
2. Game Yang Kurang Eksklusif
Konsol game berhasil karena permainan eksklusif mereka.
Para gamer mau membayar ratusan dolar untuk judul seperti : Halo, God of War, dan Legend of Zelda. Sedangkan judul Stadia tidak bisa bersaing : GYLT, Hello Engineer, dan Pac-Man Mega Tunnel Battle.
Alternatif game cloud dari Microsoft dan Sony memiliki game yang lebih baik.
Untuk perusahaan perangkat lunak, ini adalah kesalahan besar Google. Mereka mengambil strategi perangkat keras di pasar perangkat lunak.
3. Membuat Sulit Para Developer Untuk Porting
Porting (pemortaan) adalah proses untuk mengadaptasi / perubahan terhadap perangkat lunak/perangkat keras, untuk menjadikannya bisa digunakan di lingkungan / platform komputer yang berbeda.
Kebanyakan game komputer dibuat untuk dijalankan di OS Windows, dan hanya sedikit para software developer yang membangunnya di atas linux (cuma 3% market share).
Karena Stadia memilih kernel linux, para software developer harus melakukan pemortaan. Porting ini terlalu sulit dilakukan untuk membantu Stadia mampu membuat katalog game yang cukup besar.
Mengapa Google memilih Linux ? Karena lisensi server Microsoft mahal.
Namun keputusan biaya ini ternyata salah.
4. Model Bisnis Yang Membingungkan
Stadia awalnya dirilis dengan founder’s edition seharga US $130, yang mencakup Stadia controller, Chromecast Ultra, dan game resolusi 4K. Kemudian user membayar subscription sebesar US $10 per bulan. Tetapi ternyata game-nya yang eksklusif jarang.
Tidak ada orang yang mau hanya membeli game controller. Jadi tidak ada yang berlangganan.
Kemudian, Google membuat model bisnis subscription menjadi kurang fokus, dan memungkinkan user untuk membeli game secara individual. Hal ini membuat beberapa pengguna memiliki akses ke judul game yang mereka tidak memiliki perangkat kerasnya. Tapi tidak banyak.
Di sisi lain, Microsoft dan Nvidia menawarkan untuk bisa membawa game Anda sendiri.
—
Selain itu, tutupnya layanan Google Stadia juga disebabkan adanya “gerakan balasan”dari Microsoft.
Pada tahun 2019, kepala game dan Xbox Microsoft, mengatakan, “Ketika Anda berbicara tentang Nintendo dan Sony, kami sangat menghormati mereka, tetapi kami melihat Amazon dan Google sebagai pesaing utama di masa depan.”
Microsoft pun “berperang” dengan sengaja.
Selain berinvestasi di “Xbox Cloud Gaming with bring your own games”, Microsoft juga melakukan pembelian studio secara besar-besaran.
Beberapa laporan yang paling menarik di Stadia minggu ini adalah, general manager Google Stadia mengatakan bahwa hal itulah yang menyebabkan penutupan studio independen Stadia.
Mengingat pentingnya eksklusivitas, penutupan studionya seperti menggali kuburan sendiri untuk Stadia.
Banyak faktor yang menyebabkan produk, atau bahkan Penyebab Besar Mengapa Perusahaan Gagal. Juga, Tidak Ada Apapun Atau Siapapun Yang Terlalu Besar Untuk Jatuh.
Tetapi beberapa hal penting yang juga bisa Anda pelajari dalam hal ini adalah : memenangkan hati pelanggan selalu menghasilkan pengembalian yang lebih baik daripada melawan atau meniru pesaing. Tetapi, itu memang jauh lebih sulit untuk dilakukan.
Google berani membawa keputusan yang cepat dan tepat untuk melakukan shut down lini bisnisnya yang tidak berkembang, dan kemungkinan mereka akan dengan cepat “membalas” kegagalan itu di sisi lainnya dengan kemenangan lain.
Terimakasih sudah membaca dan semoga bermanfaat.