Istilah “Quiet Quitting” masih menjadi buzzword di media sosial, terutama buat kalangan Gen Z, setelah tren isu sebelumnya “quarter life crisis”.

Isu yang sama seputar kesehatan mental.

Meskipun bukan konsep baru, istilah ini mengacu pada beberapa karyawan yang menolak budaya “kerja keras”, dan menetapkan batasan dalam bekerja.


Pandemi COVID-19 tidak cuma merubah kehidupan banyak orang dengan pembatasan dan lockdown, tapi juga membuat beberapa orang memikirkan kembali pilihan karir mereka.

Survei global tentang “harapan dan ketakutan tenaga kerja” yang dilakukan oleh PwC terhadap lebih dari 52.000 pekerja di 44 negara dan wilayah pada Maret 2022, menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang pekerja, berencana mengundurkan diri dari pekerjaannya di tahun 2022 ini.

Secara mengejutkan, 71% dari mereka mengatakan bahwa gaji bukanlah faktor utama mereka ingin berhenti dari pekerjaan.

Dan tidak hanya mengundurkan diri dari posisi, mereka juga ingin membatasi beban kerja mereka.

Apa itu Quiet Quitting?

”Quiet Quitting” tidak berarti seorang karyawan keluar dari pekerjaan mereka, melainkan membatasi tugas mereka hanya pada tugas-tugas yang ada dalam deskripsi pekerjaannya, untuk menghindari jam kerja yang lebih lama.

Mereka ingin waktunya lebih minimal dalam menyelesaikan pekerjaan, dan menetapkan batasan yang jelas untuk meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja (work life balance).

Work life balance
Image source: Michael page

Para karyawan ini masih memenuhi tugas pekerjaan mereka, tetapi mereka tidak menganut budaya “kerja keras” sebagai upaya dalam menaikkan karir mereka, atau agar menonjol di hadapan atasan mereka.

Mereka hanya berpegang pada apa yang ada dalam deskripsi pekerjaannya. Ketika mereka pulang, mereka meninggalkan urusan pekerjaan, dan fokus pada tugas dan aktivitas di luar pekerjaan.

Namun, “quiet quitting” bisa juga menjadi tanda bahwa seorang karyawan tidak senang dengan posisinya, atau sedang mengalami kelelahan.

”Quiet quitting” adalah cara karyawan mengatasi kelelahan dalam upayanya untuk mengurangi stres, yang ini juga bisa berarti mereka ingin berganti posisi pekerjaan, atau mungkin mereka sedang mencari pekerjaan lain.

Mengapa Karyawan Melakukan Quiet Quitting?

Istilah ”quiet quitting” yang menjadi populer sekarang ini (terutama di kalangan Gen Z), sebenarnya bukanlah hal yang baru.

Ketidakpuasan dalam pekerjaan juga dialami oleh generasi zaman dahulu, tapi perasaan mereka lebih individual, dan tidak tersebar secara luas.

Saat ini, orang-orang menggunakan media sosial untuk “mempromosikan” ketidakpuasan mereka, dan inilah kemungkinan pemicunya. Orang lain menjadi tahu (apalagi mereka yang merasa bernasib sama), sehingga itu mungkin menjadi dalih pembenaran buat mereka untuk melakukan hal yang sama.

tang ping rebahan

Istilah “Quiet Quitting” muncul setelah TikTokker Amerika @zaidlepplin memposting video yang kemudian menjadi viral, mengatakan “work is not your life”.

Tetapi mungkin saja “gerakan” ini berasal dari Cina, di mana tagar #tangping (sekarang telah disensor), yang artinya kurang lebih berbaring alias “rebahan”, digunakan sebagai protes terhadap budaya jam kerja yang panjang.


Para pekerja, diam-diam telah “berhenti” dari pekerjaan mereka selama bertahun-tahun untuk mencari sesuatu yang baru, apakah itu karena gaji yang buruk, beban kerja yang tidak terkendali, kelelahan, atau kurangnya peluang pertumbuhan.

Sebuah survei tahun 2021 dari Gallup menemukan bahwa hanya 36% orang yang dilaporkan benar-benar “tune-in” dengan pekerjaan mereka. Sementara, beberapa orang bertahan di pekerjaan mereka agar tetap mendapatkan gaji dan memiliki asuransi kesehatan, atau tunjangan lainnya, sambil berupaya mencari pekerjaan lain.

Bekerja dari rumah (WFH) juga telah mengubah dinamika di tempat kerja, karena karyawan dan manajer berkomunikasi dengan cara yang berbeda melalui rapat online di platform seperti Zoom atau Google Meet. Interaksi ini mungkin terasa lebih formal daripada sesi obrolan yang biasanya terjadi di kantor secara offline, karena itu kan harus dijadwalkan dulu, bukan dadakan.

Meeting yang “terbatas” ini bisa menyebabkan terputusnya hubungan hangat antara karyawan dan manajemen. Dukungan dan pujian rutin (yang membuat karyawan merasa dihargai dan terhubung), bisa hilang.

Tanda-tanda Karyawan Melakukan Quiet Quitting

Tanda-tanda “Quiet quitting” bisa muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada alasan karyawan tersebut ingin mundur dari pekerjaannya.

Jika seorang karyawan benar-benar tidak bahagia, tanda-tandanya mungkin jauh lebih terlihat daripada seseorang dengan tujuan sederhana yang menginginkan keseimbangan kehidupan kerja (work life balance) yang lebih baik.

Beberapa tanda “Quiet quitting” termasuk berikut ini :

  • Tidak menghadiri rapat offline / online
  • Datang terlambat atau pulang/keluar lebih awal
  • Penurunan produktivitas
  • Lebih sedikit kontribusi pada proyek tim
  • Tidak berpartisipasi dalam perencanaan atau pertemuan
  • Kurangnya gairah atau antusiasme
not productive
image source: New York Times

Dengan demikian, tidak mengherankan jika banyak pemimpin perusahaan bereaksi cukup negatif terhadap tren “quiet quitting”.

Bagaimana Perusahaan Dapat Membantu Karyawan?

Saya bekerja dan memimpin perusahaan dengan karyawan yang lahir di tahun 70, 80, 90, dan 2000 an. Ada beberapa perubahan sikap dan cara kerja di tiap generasi tersebut.

Tetapi, mungkin ada “treatment” yang sama untuk dilakukan kepada seluruh generasi tersebut. Hasilnya tentu saja berbeda, tapi sesuaikan saja dengan relevansi perusahaan Anda saat ini.

Untuk karyawan generasi Y dan Z, saya sedang belajar untuk meningkatkan keterlibatan pengalaman mereka.

Gen Z

Bicara dengan karyawan, mengumpulkan umpan balik mereka, dan mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk membuat mereka merasa dihargai. Ini mungkin sesederhana kata-kata motivasi biasa.

Selanjutnya, pastikan beban kerja mereka realistis, dan ada batasan yang sesuai untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerja. Penting untuk bertanya kepada karyawan untuk memastikan batasan ini jelas, dan membantu membangun hubungan yang terbuka dan jujur.

Membantu karyawan mengelola stres, dan memastikan untuk menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas utama.

Perusahaan perlu menetapkan batasan kerja, dan menghormati batasan tersebut untuk menciptakan budaya kerja yang positif.

Berbicara dengan karyawan tentang jalur karier (career path), dan temukan cara untuk membantu mereka mencapai tujuan akhir mereka dengan tugas yang jelas, kongkret, dan berkelanjutan.

Tidak akan ada perubahan dalam menangani quiet quitting jika perusahaan tidak membantu karyawan merasa dihargai, dan belajar bagaimana mengelola harapan yang realistis.

Opini Penutup Tentang Quiet Quitting

Perubahan dunia cepat sekali, termasuk sikap dan cara kerja generasi sekarang.

Namun selalu ada satu hal yang tetap berlaku (konstan) bagi banyak perusahaan, terkait etos kerja yang disukai. Yaitu tenaga kerja yang bersedia bekerja lebih dari sekedar panggilan tugas. Bagi banyak perusahaan, itu merupakan keunggulan kompetitif dari karyawan (yang itu kritikal).

Karena kenyataannya adalah, bahwa sebagian besar pekerjaan tidak bisa sepenuhnya didefinisikan dalam deskripsi pekerjaan atau kontrak formal, sehingga perusahaan berharap pada karyawan untuk mampu memenuhi itu, guna memenuhi tuntutan tambahan sesuai kebutuhan.


Banyak orang yang terjebak pada dikotomi “pengusaha’ dan “pekerja”.

Seolah-olah itu menjadi dua sisi yang berlawanan, dimana perusahaan melakukan eksploitasi dan karyawan yang menjadi korban, atau memilih untuk menjadi oportunis.

Beberapa tahun silam saya memulai karir sebagai karyawan di sebuah perusahaan telco, fokus saya waktu itu adalah komitmen dengan diri sendiri, bahwa saya akan mengembangkan pribadi saya, dengan segala konsekuensinya.

Besaran gaji, lingkungan kerja, hingga fasilitas pendukung adalah sekedar menjadi faktor yang tidak akan menghalangi komitmen saya terhadap pengembangan masa depan saya sendiri.

Misalnya dulu saya tidak cocok disana, maka dengan tanpa mengeluh saya akan mencari perusahaan lain yang bisa “memfasilitasi” rencana jangka panjang saya.

Saya menikmati waktu-waktu tersebut, walaupun dengan gaji hanya secukupnya.

Tiap hari otak saya di-exercise, dipaksa untuk berpikir, diharuskan untuk menemukan cara yang membuat pekerjaan saya waktu itu bisa menjadi lebih mudah.

Semua berjalan menyenangkan, karena ada komitmen dengan diri pribadi untuk melatih semua “otot-otot” yang diperlukan untuk bisa terjun di dalam industri tersebut.

Kemudian saat saya lepas dari perusahaan tersebut, otot-otot saya sudah mulai tumbuh kuat, dan mempunyai keberanian untuk belajar terbang sendiri.

Sekarang ini, kadang saya merenung…
Apakah saya bisa membuat pencapaian seperti sekarang ini jika pada masa muda saya memilih jalan seperti yang ditempuh oleh kebanyakan teman-teman seangkatan saya yang tidak bekerja dengan tujuan, berkali-kali melompat ke banyak perusahaan untuk mencoba mencari tempat kerja ternyaman, berharap bisa memberikan work life balance untuk mereka. Mungkin itulah “quiet quitting” jaman dulu.

Kepada para anak muda, saya pernah menulis tentang Apa Yang Harus Kamu Lakukan Di Usia 17 – 27 Tahun Agar Sukses Besar ?.

Hidup itu pilihan.
Selalu ada pertukaran. Tidak ada cara malas dan nyaman untuk mencapai impianmu.

Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.


Elite Success Blueprint

Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking
Read More

Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking

Cara berpikir para jenius di dunia memiliki satu kesamaan, yaitu mereka banyak berpikir tentang cara mereka berpikir. Elon Musk dan juga beberapa entrepreneur hebat lainnya menggunakan kerangka kerja yang disebut dengan First Principle untuk menyusun pemikiran mereka. Sebuah kerangka cara berpikir (penalaran), dengan cara menggali suatu hal sampai ke esensi dasarnya, sehingga hal itu tidak lagi diselimuti oleh asumsi-asumsi lain, dan tidak bisa diurai lebih dalam lagi. Kemudian dari esensi dasar itu, dibangun sebuah pemikiran sendiri. Bagaimana Anda juga bisa melakukannya ?
Read More
Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu
Read More

Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu

Kalau Anda belum punya uang untuk diinvestasikan, maka investasikanlah waktu Anda. Kebanyakan orang tidak menjadi lebih baik dari lima tahun lalu karena mereka hampir tidak menginvestasikan waktu untuk meningkatkan diri dalam ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan networking mereka.
Read More