Banyak yang tahu cara mengelola. Tapi hanya sedikit yang tahu cara bertahan saat semua rencana gagal total. Ini bukan soal gelar, pengalaman, atau strategi.


Mari kita mulai dari sebuah ironi.

Seorang CEO dari perusahaan multinasional, memimpin ribuan karyawan, terbiasa dengan grafik pertumbuhan, rapat strategis, dan keputusan bernilai jutaan dolar. Ia dihormati, dielu-elukan di konferensi, dan punya akses ke semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan organisasi besar.

Suatu hari, ia memutuskan berhenti. Ingin mencoba sesuatu yang ‘lebih bebas’, katanya. Ia ingin membangun startup impiannya dari nol.

Ia punya rencana. Ia punya koneksi. Ia punya gelar bergengsi dan portofolio yang menakjubkan. Semua terlihat menjanjikan.

Tapi tiga bulan kemudian, ia frustrasi. Bingung karena semua jadi serba manual.
Kaget karena harus mengurus pajak sendiri. Kesal karena rekan yang ia percaya tiba-tiba pergi. Kecewa karena strategi hebatnya tak ada yang relevan saat hanya punya tiga orang tim, dan saldo kas Rp 2 juta.

Ia sadar: membangun dari nol bukan soal pengalaman. Tapi soal ketahanan.
Soal tidak menyerah saat semua serba tidak pasti. Soal tetap melangkah meski semuanya belum jelas. Soal bekerja tanpa jabatan, tanpa fasilitas, tanpa jaminan akan berhasil.

Dan di situlah letak perbedaannya.

Karena membangun dari nol, sering kali, bukan tentang seberapa hebat kamu mengelola. Tapi seberapa kuat kamu bertahan di ketidakteraturan.

Kenapa bisa begitu?

Mari saya ceritakan sedikit tentang diri saya, yang dulu bahkan tidak tahu apa itu COGS, EBITDA, atau burn rate.

Dari Programmer ke Founder

Dari programmer jadi Founder

Dulu, saya tidak bercita-cita jadi CEO.

Saya pertama kali bekerja sebagai customer service merangkap teknisi perbaikan ponsel AMPS, di sebuah perusahaan telekomunikasi seluler. Itu di tahun 1995. Ruang servis kecil, kabel berserakan, dan tangan saya sering gosong kena solder. Keluhan pelanggan kadang terdengar kasar.

Bukan dunia startup. Bukan dunia teknologi canggih.

Tapi dari situ, saya belajar mendengar. Belajar sabar menghadapi komplain. Dan mungkin itu pelajaran paling awal tentang user experience yang sesungguhnya.

Di sela-sela itu, saya belajar programming secara otodidak. Meski di kampus sempat belajar bahasa seperti assembler, pascal, dan basic, tapi semua terasa baru ketika saya harus membuat aplikasi yang benar-benar berjalan di dunia nyata.

Saya penasaran, dan rasa penasaran itu membawa saya ke tempat yang tidak saya duga.

Saya pernah menghabiskan waktu berminggu-minggu membongkar arsitektur Windows 95, hanya untuk menjawab satu pertanyaan, “Bagaimana cara mengendalikan aplikasi lain yang sedang berjalan?”

Pertanyaan itu membawa saya ke sebuah nama besar: Mark Russinovich.
Saya kirim email ke dia. Seorang founder Winternals Software LP, perusahaan yang akhirnya diakuisisi Microsoft.

Entah kenapa, dia membalas.
Kalau sekarang, bagi saya itu seperti Elon Musk membalas email anak magang.

Momen itu tidak mengubah hidup saya secara instan. Tapi ia mengubah cara saya memandang dunia. Bahwa semua orang bisa belajar, asal cukup penasaran dan cukup nekat untuk bertanya.

Setelah tujuh tahun bekerja, saya keluar dari perusahaan. Tidak dengan modal besar, tidak dengan jaringan kuat. Saya keluar hanya dengan satu hal: keyakinan bahwa saya bisa bikin software sendiri.

Saya mulai semuanya sendirian, di kamar kontrakan. Tanpa jabatan. Tanpa tim. Tanpa roadmap. One-man-show! Hanya ada saya, dan satu laptop bekas yang sering overheat.

Saya coding, saya testing, saya memasarkan, saya kirim invoice. Semua sendiri.

Tidak ada yang ajarkan saya cara bikin proposal, apalagi memimpin tim. Yang saya tahu cuma: selesaikan proyek, kirim tagihan, lalu lanjut ke proyek berikutnya.

Klien pertama saya datang dari dunia yang berat: PLN. Saya hanya subkontraktor kecil. Proyeknya besar. Tapi fee saya kecil. Sangat kecil. Tapi saya kerjakan dengan serius, karena saya tahu: saya butuh portofolio, bukan hanya uang.

Begitulah.

Singkat cerita, dua tahun kemudian datang tawaran dari seorang teman: mendirikan perusahaan di Surabaya. Saya sebagai salah satu pendiri. Bukan karena saya punya reputasi besar. Tapi karena saya dikenal bisa kerja cepat, bagus, dan tidak banyak bicara.

Dari situlah semua dimulai.

Saya pegang semua urusan selain penjualan dan keuangan. Perusahaan berkembang cepat. Dari 4 karyawan, menjadi 500an karyawan dalam empat-lima tahun.

Sepuluh tahun berlalu, situasi pasar berubah. Aturan-aturan berubah. Bisnis kita pun shrinking. Kami pivot. Membuat perusahan kedua, vendor penyedia solusi teknologi informasi. Perusahaan pertama tutup. Perusahaan kedua turun naik melewati masa sulit pandemi. Lalu stabil. Berusaha tumbuh lagi. Tentu saja tidak mudah, banyak tantangan, dan banyak pelajaran yang bisa saya bagikan.

Saya pernah rekrut orang hanya karena kasihan. Pernah ambil proyek besar meski belum siap. Pernah kerja siang malam demi klien, lalu dibayar separuh harga. Pernah salah membuat kerjasama. Pernah dimanfaatkan teman. Pernah juga percaya orang, tapi dia tidak seperti yang dia katakan.

Saya belajar cash flow bukan dari seminar, tapi dari pengalaman tidak punya uang untuk bayar tim. Saya belajar manajemen bukan dari buku, tapi dari ditinggal karyawan terbaik. Saya belajar pemasaran setelah ditolak klien berkali-kali.

Saya jatuh. Berkali-kali. Tapi tidak pernah berhenti. Karena saya tahu: jatuh adalah bagian dari kurikulum. Dan belajar adalah satu-satunya jalan keluar.

Saya belajar. Saya terus membaca. Bukan untuk kelihatan pintar. Tapi karena saya tidak tahu cara lain untuk tumbuh.

Saya tidak punya privileges orang dalam. Tidak punya dana jumbo. Tapi saya punya itu: kepala yang keras, hati yang penasaran, dan semangat untuk terus belajar.

Dan mungkin, itu sudah cukup.

Baca juga: Apa 8 Syarat Yang Membuat Kamu Layak Jadi Pengusaha

CEO Hebat, Tapi Gagal Membangun Startup

Balik lagi ke cerita di awal tulisan ini. Seorang CEO dari perusahaan multinasional yang gagal membangun startup impiannya dari nol.

Apa yang salah?

Mengelola dan membangun adalah dua keterampilan yang sangat berbeda. Seperti antara bermain catur dan bertani. Yang satu butuh strategi, yang lain butuh ketekunan, insting cuaca, dan tangan kotor di lumpur.

CEO hebat di cerita itu adalah pemain catur: piawai membaca papan. Tapi membangun startup? Itu seperti menanam padi saat belum tahu kapan musim hujan datang.

CEO bermain catur
Image source: freepik.com

Dalam korporasi besar, semuanya sudah ada: divisi keuangan, legal, HRD, bahkan tim kopi dan konsumsi.

Dalam startup, kamu sendiri yang jadi semua itu.
Hari ini bikin presentasi. Besok mikir desain logo. Lusa, benerin kabel internet yang putus. Di sinilah banyak CEO top gagal, karena terlalu banyak tahu tentang bagaimana mesin besar berjalan, tapi lupa bagaimana cara merakitnya.

Pernah dengar orang yang jago nyetir mobil balap, tapi tidak tahu cara buka kap mesin? Begitulah kira-kira. Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka sudah terlalu lama mengendarai mobil mewah, hingga lupa rasanya jalan kaki.

Banyak dari mereka mengira, “Saya tinggal rekrut orang hebat dan mulai.”
Padahal, orang hebat itu tidak datang tanpa cerita. Mereka tertarik pada visi, bukan pada jabatan kosong. Mereka akan bertanya, “Kamu sudah bangun apa sejauh ini?” Dan kalau jawabannya hanya PowerPoint, mereka akan memilih proyek lain.

Startup bukan tempat orang besar menunjuk.
Startup adalah tempat orang kotorin tangan.

Dan itu kenapa banyak mantan eksekutif memilih kembali ke zona nyaman.
Bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka tidak siap. Tidak semua orang bisa bertahan di tengah ketidakpastian yang sunyi, di antara ide-ide yang masih mentah dan tagihan yang nyata.

Membangun dari nol bukan tentang siapa kamu sebelumnya. Tapi tentang seberapa kuat kamu ketika semua yang kamu tahu, tak berlaku di dunia baru yang kamu masuki.

Karena dalam startup, gelar tidak menyelamatkanmu. Yang menyelamatkanmu adalah tekad. Dan itu tidak bisa diwariskan.

Baca juga: 5 Hal Penting Sebelum Kamu Membangun Startup

Founder Berada di Antara Dua Dunia

Ada masa ketika saya merasa terombang-ambing. Antara dunia ideal para CEO yang rapi, dan dunia nyata para founder yang berantakan.

Saya pernah duduk di ruang rapat dengan baju rapi, membahas strategi lima tahun ke depan. Tapi sorenya, saya harus turun ke lapangan, mengecek kabel server yang overheat karena teknisi lupa pasang grounding.

Di situlah saya sadar: membangun perusahaan butuh dua kaki di dua dunia. Satu kaki di tanah, satu kaki di roadmap. Yang satu kotor lumpur, yang satu kertas kering.

OKR roadmap
image source: oboard.io

Founder startup tidak bisa hanya jadi pemimpi. Tapi juga tidak boleh berhenti bermimpi. Dia harus cukup visioner untuk bicara masa depan, tapi cukup realistis untuk tahu kalau hari ini belum ada uang makan siang buat timnya.

Saya pernah disalahpahami karena terlalu ‘kasar’ dalam eksekusi. Tapi saya juga pernah gagal karena terlalu ‘halus’ dalam negosiasi.

Ternyata, keseimbangan itu bukan di tengah. Tapi di antara.
Di antara insting dan data.
Di antara idealisme dan tagihan.
Di antara sabar dan nekat.

Dan itulah seni sebenarnya dari membangun. Bukan soal menjadi sempurna. Tapi soal tahu kapan harus jadi CEO, dan kapan harus kembali jadi tukang solder yang sabar menghadapi komplain pelanggan.

Karena kadang, yang menyelamatkan kita bukan sistem. Tapi naluri.
Bukan struktur. Tapi daya tahan.

Dan mereka yang bisa menari di antara dua dunia inilah, yang akhirnya bisa bertahan.

Founder Punya Mental Tukang Tambal Ban

Kadang kita pikir kontribusi hanya bisa datang dari panggung megah, dari ruang meeting besar, dari jabatan tinggi. Padahal, dunia ini bergerak bukan karena CEO saja. Tapi juga karena orang-orang yang rela nambal yang bocor, bahkan saat orang lain pura-pura tidak melihat kebocoran itu.

Saat membangun dari nol, mindset yang menyelamatkan perusahaan bukan mental direktur. Tapi mental tukang tambal ban.

Bukan gengsi. Tapi kepedulian. Bukan rencana 5 tahun. Tapi fokus menyelesaikan hari ini. Bukan menyalahkan sistem. Tapi cepat-cepat menambal sebelum pecah makin parah.

Kalau kamu bisa bangga dengan hasil kerja tanganmu, meskipun tidak ada yang lihat, maka kamu sudah punya bekal yang dibutuhkan untuk bertahan di dunia yang keras ini.

Dan kalau kamu masih sanggup senyum, di tengah tambalan yang tak selesai-selesai, mungkin, kamu jauh lebih siap jadi founder dibanding banyak orang yang punya gelar, tapi tidak punya daya tahan.

Founder Itu Tukang Merasa

Tidak ada SOP untuk intuisi. Tidak ada standar industri untuk firasat. Tapi di dunia startup, kadang keputusan paling penting justru lahir dari feeling yang sulit dijelaskan.

Saya pernah menolak proyek besar hanya karena ada sesuatu yang terasa janggal di awal pertemuan. Saya tidak tahu apa. Tapi hati saya tidak nyaman. Beberapa bulan kemudian, perusahaan pemberi proyek itu bangkrut. Semua vendor terkena imbas.

Saya selamat, bukan karena strategi, tapi karena rasa…, feeling.

Pernah juga saya menerima karyawan yang dianggap ‘kurang cocok’ oleh orang HR. Tapi saya lihat matanya menyala saat bicara. Dia bertahan lebih lama dari mereka yang CV-nya sempurna.

Menjadi founder bukan cuma soal logika. Tapi juga soal keberanian mengikuti suara dalam kepala yang berkata, “Lanjut, meski belum pasti.” Atau, “Tunda dulu, meski semua bilang ayo.”

Kita sering lupa bahwa bisnis adalah tentang manusia. Dan manusia, pada dasarnya, bukan algoritma. Mereka penuh tanda-tanya. Dan untuk itu, kamu butuh rasa.

Rasa yang terasah dari kegagalan. Rasa yang tumbuh dari keraguan. Rasa yang dibentuk bukan oleh teori, tapi oleh luka yang pernah kamu rasakan sendiri.

Jadi kalau kamu sering ragu, sering merasa nggak yakin, sering ingin mundur tapi tetap jalan, mungkin itu bukan kelemahan. Mungkin itu sinyal bahwa kamu sudah jadi founder beneran.

Karena yang membangun bukan hanya tanganmu. Tapi juga naluri yang tumbuh dari rasa yang tak bisa diajarkan.

Founder Punya Modal yang Tak Tercatat

Saya pernah ditanya seorang mahasiswa dalam sebuah seminar, “Pak, waktu mulai dulu, modalnya berapa?”

Saya diam sebentar, lalu menjawab, “Modal saya? Penasaran. Sama sedikit nekat.”

Karena memang tak ada angka pasti. Tak ada investor. Tak ada proposal. Yang ada hanya tangan yang terus bekerja dan kepala yang terus bertanya, “Apa lagi yang bisa saya pelajari hari ini?”

Saya tidak punya seed funding. Tapi saya punya kemarahan kecil pada keadaan.

Kemarahan yang membakar, lalu berubah jadi langkah. Lalu berubah jadi kebiasaan.
Kebiasaan untuk tidak menyerah. Kebiasaan untuk terus belajar. Kebiasaan untuk kembali bangkit, bahkan saat dunia bilang, “Sudah, cukup.”

Jadi kalau hari ini kamu merasa belum punya cukup modal untuk memulai, coba lihat lagi. Mungkin kamu sudah punya yang paling penting: alasan untuk terus jalan.

Dan alasan itu, sering kali, lebih kuat dari angka di rekening.

Baca juga: 13 Kebohongan Startup Yang Sering Menipu Founder Pemula

Penutup

Yang Tak Terlihat, Tapi Menentukan

“Batu pondasi paling kuat bukan yang paling keras. Tapi yang paling sering diinjak dan tak pernah retak”

Semua yang saya ceritakan bukan tentang perjalanan saya semata. Ini tentang kenyataan di dunia yang jarang dibicarakan di seminar, bahwa membangun dari nol itu bukan soal pitch deck, bukan soal investor, bukan soal gelar.

Ini tentang kegigihan yang tidak bisa diukur.
Tentang jam-jam sepi yang diisi dengan keraguan.
Tentang keputusan-keputusan kecil yang tidak masuk laporan, tapi menentukan arah masa depan.

Kamu boleh punya rencana besar, tapi tetap bisa tersandung di hal sepele.
Kamu bisa punya tim hebat, tapi tetap gagal kalau kamu sendiri tidak tahan hidup dalam ketidakpastian.

Menjadi founder bukan tentang menjadi tokoh utama. Tapi menjadi orang pertama yang datang paling pagi, dan pulang paling akhir. Yang ‘menyapu lantai’ sebelum presentasi dimulai, lalu tetap bisa bicara tentang visi lima tahun ke depan dengan kepala tegak. Yang makan terakhir, setelah semuanya makan.

Dan mungkin, itu kenapa banyak yang mulai, tapi sedikit yang bertahan.
Karena jalan ini tidak mulus. Tapi justru karena itulah ia membentuk karakter yang tak bisa dibeli.

Kalau kamu sedang membangun dari nol, tetaplah melangkah.
Kalau kamu sering merasa sendiri, kamu tidak sendirian.
Karena yang membangun dari hati, biasanya akan bertahan lebih lama daripada mereka yang hanya membangun demi terlihat hebat.

Dan jika satu hari nanti orang bertanya, “Apa modalmu dulu?”
Kamu bisa jawab dengan tenang: “Saya cuma punya rasa ingin tahu, dan keberanian untuk tidak menyerah.”

Itu cukup.

Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.


Free 3 Kunci Miliarder Sukses



Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Cara Mudah Membuat Product Roadmap
Read More

Cara Mudah Membuat Product Roadmap

Jika saat ini kamu sedang bekerja membangun startup, bayangkan saat ini kamu berada di belantara jutaan perusahaan di dunia, dengan milyaran produk dan layanan. Agar punyamu terlihat menonjol dan berkilau, salah satu dari sekian banyak yang harus kamu pelajari dan kerjakan adalah membuat peta jalan produk ( product roadmap). Ini panduan lengkapnya…
Read More
Cara Perusahaan Kelas Dunia Menerjemahkan Visi Dan Misi Untuk Sukses
Read More

Cara Perusahaan Kelas Dunia Menerjemahkan Visi Dan Misi Untuk Sukses

Perusahaan/organisasi yang mendefinisikan misi sebagai alasan keberadaan, akan meletakkan misi dulu sebelum visi. Sedangkan mereka yang mendefinisikan misi sebagai cara mencapai visi, akan meletakkan misi setelah visi. Bagaimana cara perusahaan kelas dunia menerjemahkan Visi Dan Misi untuk meraih kesuksesan mereka? Apakah perusahaan Anda sekarang itu melaju karena digerakkan oleh visi dan misi?
Read More