Kita ngobrol tentang sepakbola. Kualifikasi Piala Dunia 2026. Pertandingan Jepang melawan kesebelasan Garuda kita, tanggal 15 Nopember kemarin. Tapi saya tidak membahas detail permainannya. Anda jauh lebih jago.
Jepang datang ke Gelora Bung Karno dengan kesederhanaannya. Padahal, kualitas mereka sudah kelas dunia. Hasil akhirnya sudah tahu, 4-0.
Indonesia tidak hanya kalah dalam skor, tapi juga diajari apa arti sportivitas, kerja keras, dan budaya disiplin oleh lawan yang berbeda level.
Jepang memang menang, tapi yang mereka tunjukkan jauh lebih besar dari sekadar skor di papan.
Pertandingan usai. Pemain Jepang menyalami para pemain kita dengan penuh respek. Tak ada teriakan jumawa. Tak ada sikap merendahkan. Mereka sadar, setiap kemenangan adalah buah dari kerja keras, bukan hasil dari meremehkan lawan.
Pelatih Hajime Moriasu, seperti kebiasaan orang Jepang, membungkuk kepada tribun suporter. Sederhana tapi bermakna dalam. Berterima kasih, bahkan kepada tanah di tempat mereka bertanding.
Ruang ganti Jepang tetap bersih setelah mereka pergi. Mereka membersihkan semuanya sendiri. Kabarnya mereka meletakkan origami berbentuk bangau. Buat orang Jepang, itu simbol keberuntungan dan damai.
Pendukung mereka? Tak kalah mengesankan.
Mereka mengumpulkan sampah, membersihkan tribun tanpa pamrih. Tidak peduli ada kamera atau tidak. Di liga domestik Jepang, kebiasaan ini sudah melekat. Mereka meninggalkan stadion lebih bersih daripada saat mereka datang.
Inilah pelajaran yang mereka suguhkan. Bukan hanya bagi kita, tapi bagi dunia, bahwa kelembutan, sopan santun, dan kedisiplinan, adalah kekuatan nyata yang membangun peradaban.
Soft Power: Kekuatan Persuasi
Itulah Soft Power, sebuah konsep yang menggambarkan kemampuan sebuah negara atau entitas, untuk mempengaruhi pihak lain lewat daya tarik dan persuasi, bukan dengan paksaan atau iming-iming materi.
Di balik kemenangan ini, Jepang masih bergulat dengan tantangan lain. Tekanan hidup, tingkat stres tinggi, dan masalah kesehatan mental. Masyarakat Jepang dikenal keras pada diri sendiri. Budaya kerja dan disiplin mereka luar biasa. Itu sisi yang punya harga.
Tapi apa yang terlihat di lapangan, dalam sepak bola, adalah bukti bagaimana mereka mencoba menyalurkan tekanan itu menjadi sesuatu yang positif. Soft power ini muncul ketika mereka menang, juga saat mereka kalah. Mereka tidak pernah kehilangan etika dan disiplin.
Bagi kita, mungkin kekalahan ini menyesakkan. Tapi pelajaran yang disuguhkan Jepang jauh lebih berharga. Jepang telah melewati ujian berulang kali. Mereka tidak hanya hebat dalam sepak bola. Mereka hebat dalam hidup. Pendidikan, budaya, dan soft power mereka adalah senjata nyata.
Kita kalah 0-4. Tapi apa pelajaran yang bisa kita petik? Bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal skor, tapi soal bagaimana kita bersikap.
Jepang menunjukkan bahwa sopan santun, kerja keras, dan kedisiplinan adalah kemenangan yang tak akan pernah habis ditelan waktu.
Bisakah kita meniru, bukan sekadar hasil di lapangan, tapi semangat mereka? Itu tantangan terbesar kita.