Tulisan ini menjadi artikel saya ke #201, dan sebagai catatan yang menutup tahun 2022 ini.
Hampir seluruh tulisan saya selama ini, menjadi pengikat apa yang telah saya baca, saya dengar, saya pelajari, dan juga pengalaman yang telah saya alami, yang itu tidak bermaksud untuk menyinggung pihak-pihak lain, tetapi lebih menjadi pengingat bagi diri saya sendiri.
Inilah catatan akhir tahun 2022 saya…
Apa yang terjadi di dunia hingga akhir tahun 2022 ini, terutama 2-3 tahun masa pandemi, telah banyak mengubah kehidupan saya, dan mungkin kita semua.
Terkait cara kita bekerja dan belajar, tentang adopsi teknologi digital yang dipercepat, peran sosial media yang menjadi lebih kuat dalam kehidupan sehari-hari, perhatian kita terhadap kesehatan dan keamanan semakin meningkat, serta terjadinya perubahan geopolitik & ekonomi di seluruh dunia.
Di lingkungan sekitar, kita menyaksikan keadaan teman-teman kita, atau tetangga kita dalam menghadapi perubahan itu. Ada yang menjadi lebih tangguh, dan menjadi pemenang. Ada yang jatuh tersungkur kalah. Demikian juga di dunia bisnis, kita melihat sebagian perusahaan yang menjadi lebih kuat, dan beberapa dari mereka terpuruk, atau malah kolaps.
Catatan pertama…
Tidak Cuma Sekadar Bertahan Hidup
Saat pandemi datang di awal 2020, kesulitan-kesulitan mulai muncul, dan di saat yang sama, peluang-peluang juga datang, maka itu adalah pilihan cara pandang.
Kebanyakan orang dan perusahaan waktu itu mengambil sikap hanya bertahan (survival), seperti berusaha berhemat, menahan pengeluaran, mengurangi biaya operasional, menjual aset, mengurangi jumlah karyawan, ataupun melakukan restrukturisasi bisnis, berharap krisis segera berlalu, dan keadaan membaik seperti sedia kala.
Dalam pikiran mereka, terdapat banyak alasan sebagai pembenaran atas kemalasan dan ketidakmampuan mereka atas hal itu. Beralasan dengan pandemi, dengan sumber daya terbatas, beralasan dengan keadaan diri mereka, dan beribu alasan lain.
Kami tidak mau seperti mereka…
Mode Inovasi
Sebelumnya, kami terbiasa dengan growth mindset, memiliki sikap dan mindset pemenang. Maka, untuk menghadapi situasi sulit, kita tidak memilih untuk cuma sekadar bertahan hidup agar bisa melewati badai krisis (survival), tetapi kita juga memutuskan untuk “menyerang”, masuk ke mode inovasi, yaitu mindset yang selalu berpikir bahwa kita mampu melakukannya, meyakini bahwa segala sesuatu pasti ada solusi, dan hanya perlu dicari caranya.
Ini yang ada di pikiran kami:
- Kita bisa semakin produktif meski WFH, dengan cara…
- Kita bisa mendapatkan project lebih banyak di situasi ini, dengan cara…
- Kita mampu handle banyak project bersamaan, caranya dengan…
- Kita mampu melipatgandakan penghasilan di situasi ini, jika caranya…
- Kita mampu melahirkan produk dan layanan baru, dengan cara…
- Dst…
Dan ini implementasi kongkritnya:
- Mencoba untuk mengubah cara pandang terhadap tantangan.
Alih-alih memandang tantangan sebagai hambatan, kami melihatnya sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh, lalu menetapkan tujuan yang menantang untuk memacu pertumbuhan. - Terbuka terhadap ide-ide baru dan pendekatan yang berbeda.
Ini membantu kami menemukan solusi yang inovatif untuk masalah yang sedang kami hadapi. - Belajar dari kesalahan dan tumbuh dari situ.
Ini membantu kami untuk terus-menerus mencari peluang untuk tumbuh dan berkembang. - Terus belajar dan mengembangkan diri.
Ini kami lakukan dengan mengikuti pelatihan atau kegiatan pembelajaran baru, atau dengan membaca buku, atau menonton video tutorial yang bermanfaat. - Berkolaborasi dengan pihak-pihak lain dan berbagi ide-ide.
Ini membantu kami belajar dari orang lain, dan menemukan solusi yang lebih inovatif bersama-sama. - Memprioritaskan tugas-tugas yang penting, dan mengelola waktu dengan efektif.
Ini membantu kami mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan lebih efisien.
Tentu saja ada breakdown dari 6 hal di atas dalam pelaksanaannya, yang itu kami jelaskan dalam Objectives & Key Results.
Hasilnya?
Hanya terjadi atas ijin Allah, kami tumbuh lebih baik, dan optimis menjadi lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya.
Ini catatan kedua…
Belajar Memahami Secara Lebih Menyeluruh
Kisah ini mungkin sering Anda dengar…
Alkisah pada zaman dahulu kala, seorang raja memerintahkan kepada beberapa rakyatnya yang buta untuk berkumpul, dan dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka dibawa ke gajah, dan masing-masing kelompok diperkenalkan ke bagian tubuh gajah yang berbeda.
Mereka yang melakukan kontak dengan kepala, menggambarkan gajah sebagai pot air, mereka yang merasakan telinga, menggambarkannya sebagai kipas, mereka yang menyentuh perut mengatakan itu adalah tembok, mereka yang menyentuh kaki mengatakan itu adalah pohon, dan mereka yang merasakan gading mengira itu adalah pasak.
Kelompok-kelompok itu kemudian berdebat di antara mereka sendiri, masing-masing bersikeras bahwa versi mereka benar dan yang lainnya salah.
Raja lalu menjelaskan kepada mereka, “Kalian semua benar. Alasan kalian mengatakannya secara berbeda adalah karena masing-masing dari kalian menyentuh bagian gajah yang berbeda. Jadi, sebenarnya gajah memiliki semua keistimewaan yang kalian sebutkan.
Salah satu jenis “kebutaan”, adalah kita melihat hanya apa yang kita inginkan atau harapkan untuk dilihat, dan kemudian menyaring fakta-fakta yang tidak sesuai dengan praduga kita itu.
Inilah “bias konfirmasi”, dan kita semua pernah seperti itu hingga tingkat tertentu.
Mungkin hal ini menjadi bagian dari kondisi manusia, tetapi jika terus seperti itu, bisa menyesatkan kita.
“Hanya ketika orang buta mendengarkan satu sama lain dan membangun perspektif satu sama lain, mereka mampu membangun keseluruhan gambaran dan melihat gajah secara utuh.”
Dari kisah di atas, catatan saya di bagian ini menjadi pelajaran besar bagi saya pribadi, dalam usaha bersikap dan memahami orang lain di kehidupan pribadi dan bisnis.
Dalam Menuntut Ilmu Agama
Salah satu penyakit pemula (yang baru semangat belajar) adalah, ngegas bahwa pendapatnya lah yang benar, karena ilmu yang dia dapatkan (hanya dari salah satu tinjauan), mengatakan seperti itu.
Mereka bahkan belum bisa membedakan bab aqidah, syariat, dan fiqih, juga fiqih mana yang ijma’, dan mana yang qiyas.
Dalam fiqih, mereka belum bisa melihat keseluruhan penjelasan dari sisi lain yang saling terkait, yang itu memberikan gambaran penuh. Mereka tidak mau bersabar, dan tidak mau untuk bertanya lebih dulu.
Beberapa dari mereka belajar tidak untuk mengamalkan ilmunya, tetapi hanya agar bisa mendebat orang lain, atau agar terlihat pintar. Bicaranya selalu mengutip hadits atau ayat-ayat Quran, tetapi sering pada konteks yang dipaksakan untuk mendukung pendapatnya tentang sesuatu.
Saya tahu, karena saya pernah seperti itu puluhan tahun lalu, dan itu membuat malu saya sendiri pada akhirnya. Saya pernah mengira orang lain bodoh, padahal mereka lebih pandai tetapi diam.
Bahkan, saya pernah membaca penuturan dari salah satu ustadz ternama di negeri ini:
Suatu saat beliau menegur seorang bapak tua yang terlihat diam bersender di salah satu tiang masjid setelah shalat subuh. Beliau menegur agar bapak tua itu memanfaatkan waktunya dengan membaca dan tadabur Quran seperti jamaah lainnya sampai selesai waktu terbit matahari.
Bapak tua itu menjawab, bahwa dia hafidz Quran, dan saat itu dia sedang muraja’ah.
Alangkah terperanjat dan malunya sang ustadz mendengar ini, dan mulai saat itu beliau berkata bahwa beliau tidak akan “menghakimi” seseorang sebelum bertanya secara lengkap.
Ustadz itu adalah Aa Gym.
Dalam Membangun Dan Menjalankan Bisnis
Saya bicara tentang entrepreneurship, bukan manajemen bisnis.
Tidak ada salah dan benar yang mutlak dalam menjalankan bisnis yang sukses. Tidak ada ilmu pasti, bahkan lebih ke seni dalam melakukan eksekusi dan iterasi.
Saat bisnisnya sedang berjaya, orang bisa bicara apa saja tentang bagaimana membangun bisnis sukses yang seharusnya, dan itu akan dianggap sebagai kebenaran oleh banyak orang.
Dulu para startup unicorn dipuji-puji sebagai model bisnis yang luar biasa, mengalahkan valuasi perusahaan yang sudah puluhan tahun berdiri hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun. Waktu itu, begitulah anggapan orang tentang model bisnis sukses yang sebenarnya.
Sekarang, orang ramai-ramai mem-bully mereka sebagai model bisnis yang rapuh, sebagai model bisnis yang salah, yang itu mungkin hanya menguntungkan para investor, tetapi tidak bagi perusahaan itu sendiri dalam keberlangsungannya.
Bisa jadi suatu saat, ketika para startup unicorn itu mencapai kondisi baik lagi, pendapat orang bisa berubah lagi.
Bias Konfirmasi
Dalam perjalanan menuju kebangkrutan, General Motors terus menyalahkan kerugian pada cost yang tidak efektif, dan tidak melihat kekurangan kualitasnya jika dibanding Toyota, sebagai penyebab utama kegagalannya.
Blockbuster mempercayai bahwa strategi ke depan adalah dengan melihat histori best practice keberhasilan mereka, sambil meremehkan Netflix yang mempunyai strategi customer-centric yang akhirnya mengalahkan mereka.
Para startup yang terpaksa harus melakukan PHK, dan beberapa tutup karena kehabisan modal dan kesulitan menggalang pendanaan baru. Mereka beranggapan bahwa untuk mencapai kondisi tertentu agar bisa “terbang” (yang itu bias), mereka harus terus menggalang dana investor yang itu ternyata tidak didapatkan, alih-alih memprioritaskan pemasukan agar bisa meng-cover operasional.
Ketiga contoh di atas, mereka menolak begitu saja untuk melihat gajah secara keseluruhan.
Menghindari bias konfirmasi membutuhkan kesadaran diri tinggi, yang memungkinkan kita bisa menghadapi kebenaran brutal yang harus kita hadapi.
Dalam bisnis, kita harus bisa melihat dinamika industri, pesaing, pelanggan, dan realitas internal.
Ini akan membantu menghindari titik buta dan bias yang bisa terjadi saat kita berpikir sendiri.
Berpikiran Terbuka
Menjadi orang yang open minded atau terbuka terhadap ide-ide baru dan berbeda, sepanjang itu tidak menyinggung prinsip pandangan hidup dan aqidah kita, bisa jadi akan menempatkan kita pada posisi untuk terus belajar dan menjadi lebih bijak.
Berpikiran terbuka juga akan membantu kita untuk bisa lebih memahami orang lain, alih-alih menyalahkan orang lain.
Kita menjadi lebih punya empati terhadap orang lain, dan memahami bagaimana mereka merasa, kita juga bisa memahami bagaimana orang lain berpikir dan bertindak, sehingga kita bisa bekerja sama dengan mereka dengan lebih baik.
Tidak menyalahkan orang lain akan membantu kita menjadi lebih bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, dan membuat kita lebih bahagia.
Ketika kita menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi, kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, dan malah akan membuat masalah semakin buruk. Sebaliknya, dengan tidak menyalahkan orang lain, kita bisa fokus pada solusi masalah, dan menjadi lebih bahagia.
Ini catatan saya untuk bisa berpikiran terbuka:
- Belajar mengendalikan emosi.
Ketika kita terlalu terpengaruh oleh emosi, kita cenderung tidak mampu mempertimbangkan ide-ide baru dengan obyektif. Belajar mengendalikan emosi dapat membantu kita mempertimbangkan ide-ide baru dengan lebih obyektif dan terbuka. - Berlatih mendengarkan secara seksama.
Mendengarkan secara seksama bisa membantu kita memahami ide-ide orang lain dengan lebih baik, dan membuka diri terhadap ide-ide baru. - Belajar dari pengalaman orang lain.
Meskipun kita tidak mendapatkan pengalaman yang sama, belajar dari pengalaman orang lain dapat membantu kita memperluas pandangan, dan membuka diri terhadap pendapat-pendapat baru. - Mencoba hal-hal baru.
Ini dapat membantu kita memperluas horizon dan membuka diri terhadap sesuatu yang baru. - Menghargai perbedaan.
Membantu kita membuka diri terhadap ide-ide baru dan memahami pandangan orang lain. - Berlatih untuk berempati.
Membantu kita memahami perasaan orang lain, dan tidak menyalahkan. - Belajar dari kritik.
Membantu kita memperbaiki diri dan membuka diri terhadap pandangan baru. - Terbuka terhadap pembelajaran akan membantu kita memperluas pengetahuan.
- Berlatih kemampuan berpikir kritis.
Membantu kita mempertimbangkan ide-ide baru dengan obyektif dan membuka diri terhadap pendapat orang lain. - Menjadi terbuka terhadap perubahan.
Membantu kita menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Penutup Catatan
Tidak cuma di akhir tahun ini, setiap saat saya merasa sangat bersyukur atas segala keberhasilan dan kegagalan yang telah saya alami.
Saya belajar banyak hal-hal baru, dan tumbuh sebagai individu. Saya juga merasa terinspirasi untuk terus belajar dan berkembang pada tahun-tahun mendatang.
Terima kasih kepada keluarga, teman-teman, semua pihak, dan para pembaca yang telah mendukung dan membersamai saya selama ini.
Meskipun dalam perjalanan terdapat beberapa hambatan dan tantangan, saya yakin bahwa dengan kerja keras dan komitmen yang tinggi, kita semua akan mampu menghadapinya, dan terus meraih keberhasilan di tahun-tahun mendatang.
Dan semoga kita semua akan menjadi lebih baik lagi, menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, insyaAllah.
Terimakasih sudah membaca, semoga catatan ini bermanfaat.