Saya sudah baca ratusan buku. Tapi kalau ditanya, “Ingat isinya?” Ya tidak semua.
Lalu, buat apa membaca?

Ralph Waldo Emerson pernah berkata, “Aku tidak ingat semua makanan yang pernah kumakan, tapi makanan-makanan itu membentuk tubuhku. Demikian juga buku yang kubaca—ia membentuk diriku.”
Analogi itu indah, dan akurat.
Membaca bukan tentang menghafal isi buku. Tapi tentang memberi makan jiwa.
Kamu bisa bayangkan seperti ini: kita tak mengingat semua sarapan, makan siang, atau camilan yang kita lahap. Tapi tubuh kita tumbuh, berubah, dan bertahan karenanya.
Sama halnya dengan buku, kita mungkin lupa halaman berapa tokoh utamanya menangis. Tapi nilai-nilainya? Pelan-pelan membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak.
Saya pernah baca The Alchemist, mungkin sudah dua puluh tahun lalu.
Lupa detail ceritanya. Tapi ada satu kalimat Paulo Coelho menempel di benak:
“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
Sejak itu, saya lebih berani mengejar hal yang saya mau, dengan doa dan kerja keras, tentu.
Dari To Kill A Mockingbird, saya tidak ingat bab-babnya. Tapi sikap Atticus Finch dalam membela yang benar meski minoritas, itu jadi kompas moral saya saat harus memilih diam atau bersuara.
Sirah Nabawiyyah?
Saya mungkin tidak hafal semua kronologi lengkapnya.
Tapi saya belajar bahwa ketegasan bisa dilakukan dengan kelembutan.
Bahwa Nabi pun bisa menangis dalam doa, tapi tetap tegar di medan perang.
Bahwa memaafkan itu bukan kelemahan, justru kekuatan paling tak terbantahkan.
Bahwa dakwah bukan hanya soal lisan, tapi keteladanan.
Dan buku-buku yang kita baca waktu kecil, seperti Lima Sekawan, mungkin sekarang terasa seperti mimpi samar. Tapi rasa aman, hangat, dan petualangan dari cerita-cerita itu, ikut membentuk masa kecil kita jadi lebih penuh warna.
Jadi… jangan takut lupa isi buku. Karena tujuannya bukan untuk diingat, tapi untuk diresapi.
Tak semua buku harus mengubah hidupmu. Kadang, cukup membuatmu tersenyum saat hujan deras. Atau membuatmu merasa tak sendiri, saat dunia terasa sunyi.
Karena seperti makan, membaca bukan untuk dihafal. Tapi untuk diambil sarinya. Dan perlahan, itu menjadi kekuatan yang membuatmu tumbuh.
Kalau kamu suka tulisan ini, jangan hanya dibaca. Bagikan. Mungkin ada temanmu yang sedang lapar, tapi belum sadar, bahwa yang dia butuh—bukan makanan, tapi bacaan.