Mungkin Anda pernah menyaksikan bagaimana tim Red Bull melakukan “keajaiban“ di Grand Prix F1 di Hungaria pada tahun 2020 lalu.
Mobil Max Verstappen menabrak pembatas lintasan sewaktu pemanasan, sesaat sebelum start balapan dimulai.
Suspensi depan rusak parah, wing depan hilang, dan ban harus diganti.
Intinya, dengan keadaan seperti itu, ia tidak bisa balapan.
Ada dua pilihan saat itu :
Pertama,
Start dari jalur pit stop, yang itu sama saja dengan start dari urutan akhir.
Padahal, catatan waktu kualifikasinya start pada posisi 7 dari 20, dan ini jelas merugikan.
Kedua,
Memperbaiki mobilnya di garis start.
Tim Red Bull hanya punya waktu 20 menit untuk memeriksa, dan mengganti semua kerusakan sebelum start. Jika gagal, resikonya tinggi. Mereka akan kena penalti tidak boleh balapan sama sekali, karena aturannya, garis start tidak untuk memperbaiki mobil.
Apa keputusannya mereka?
Memperbaiki mobil di garis start.
Selanjutnya, kita menyaksikan contoh nyata manajemen tim tingkat tinggi.
Tidak ada saling tunjuk, tidak ada teriak-teriak, tidak ada marah-marah.
Koordinasinya tenang, semua melakukan bagiannya masing-masing.
Hasilnya?
Dengan mobil yang nyaris tidak bisa start, Max menempati podium ke 2!
Apa Pelajarannya?
Sebuah tim bukanlah hanya sekelompok orang yang bekerjasama, tetapi tim adalah sekelompok orang yang saling percaya.
Kerjasama tim terbaik itu datang dari orang-orang yang bekerja secara mandiri, menuju satu tujuan secara bersamaan.
Tim sukses ketika mereka fokus, memanfaatkan waktu secara efisien, dan didukung oleh eksekutif.
Dan caranya adalah, dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.