(Selebihnya Cuma Pandai Bicara)

Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa bicara apa saja. Di kafe, di podcast, di Instagram, bahkan di grup WhatsApp RT. Tapi mari jujur, tidak semua layak dipercaya.

Ada yang bicara karena pengalaman. Ada yang bicara karena riset. T
api banyak juga yang bicara karena… ya, memang hobinya saja bicara.

Yang menarik, si jago bicara ini sering terdengar lebih meyakinkan daripada profesor.
Lebih tegas daripada praktisi senior. Kata-katanya renyah, logikanya rapi, dikaitkan dengan teori Barat, filsafat Timur, dan bumbu spiritual ala-ala. Di telinga awam, dia terdengar seperti CEO perusahaan multibillion dollar. Padahal, dia cuma CEO imajiner di dalam pikirannya sendiri.

Kalau mereka mengomentari strategi bisnis, nadanya bisa seperti konsultan McKinsey. Kalau bicara soal pengembangan diri, terdengar seperti Tony Robbins yang kebetulan nongkrong di Threads. Mereka membaca banyak, mengaitkan banyak, mengumpulkan potongan informasi, dan menyajikan ulang dengan kemasan “insight”, padahal cuma recook dari buku yang tak pernah mereka praktikkan.

Dan sekarang, dengan bantuan AI, semua itu makin mudah.
Ingin terlihat bijak? Minta quote ke ChatGPT. Ingin terlihat seperti ahli strategi? Salin template dari YouTube dan LinkedIn. Bahkan advice hidup pun tinggal generate. Lalu dia mengira itu hasil perenungannya sendiri.

Itulah jebakan Dunning-Kruger di era digital: makin sedikit yang dia tahu, makin percaya diri dia bicara. Makin minim pengalaman, makin meyakinkan opininya.

Masalahnya: apakah itu yang kamu butuhkan? Atau kamu sedang butuh sesuatu yang lebih nyata: seorang coach, mentor, trainer, atau konsultan?

Karena tidak semua suara layak dijadikan kompas. Dan tidak semua omongan mengandung arah.

Siapa yang Sebenarnya Kamu Butuhkan?

Sebelum kamu tersesat dalam seminar motivasi atau diskusi penuh jargon, coba duduk sebentar. Lihat ke cermin. Tanyakan satu hal sederhana, “Saya butuh didengar, dipandu, diajari, atau diselesaikan masalahnya?”

Faceless male holding opened black book in hand covering face while standing in middle of light room

Coach: Cermin yang Membuatmu Jujur

Kalau kamu butuh seseorang yang tidak akan memberimu jawaban, tapi akan menggali jawaban dari dalam dirimu, kamu butuh COACH.

Seorang coach tidak akan sok tahu tentang hidupmu. Tapi dia akan membuatmu sadar bahwa kamu tahu lebih dari yang kamu kira. Dia ahli dalam bertanya, bukan menjawab. Menggali. Membuatmu berhenti bersembunyi dari kebohongan yang kamu bisikkan ke diri sendiri.

Dia menata pikiranmu, lalu menjagamu agar kamu tidak kabur dari komitmen yang kamu ucapkan sendiri. Dialah accountability partner yang tidak bisa kamu tipu.

Ide-idenya datang dari kamu, bukan dari dia. Coach hanya memegang cermin, lalu berkata, “Lihat. Itu kamu. Masih mau terus bersembunyi?”

Kalau kamu butuh teman sekaligus polisi lalu lintas yang memastikan kamu berjalan di jalur yang kamu pilih sendiri, carilah coach.

Mentor: Yang Pernah Jatuh dan Berdiri Lagi

Kalau kamu butuh seseorang yang sudah pernah jatuh-bangun, babak belur, lalu bangkit dan ingin kamu belajar dari lecetnya, kamu butuh MENTOR.

Bedanya dengan coach, mentor akan menunjuki kamu jalan. Dia sudah tahu lubang-lubang di depan, karena pernah jatuh di sana.

Mentor adalah manusia “been there, done that”.

Dia tidak bicara dari buku, tapi dari luka. Pernah gagal, pernah rugi, pernah dikhianati, lalu berdiri lagi. Dia tahu jebakan yang akan kamu temui. Dia tidak akan menuntut kamu jadi seperti dia, tapi dia akan jadi cermin yang jujur tentang jalan yang kamu tempuh.

Mentor itu bukan orang yang memaksamu mencapai target, tapi yang menuntunmu supaya kamu berkembang. Hubungannya bukan hitung-hitungan proyek, tapi perjalanan yang saling percaya.

Tujuannya adalah membuat perjalananmu lebih cepat, lebih selamat.

Mentor sejati bukan orang yang membuatmu kagum. Tapi orang yang membuatmu bertumbuh.


Saya sendiri, kalau mencari mentor, tidak asal pilih.

Bukan yang paling terkenal, bukan yang paling sering tampil di seminar. Tapi yang sudah membangun, bukan sekadar berteori. Yang umurnya di dunia bisnis minimal sepuluh tahun lebih panjang dari saya.

Saya cari yang tahu rasanya gagal. Bukan sekali. Tapi berkali-kali. Yang jatuhnya lebih banyak dari saya, tapi tetap berdiri. Tetap waras. Tetap jalan.

Saya cari yang punya circle, bukan cuma networking buat pamer, tapi jaringan hidup yang bisa menghubungkan saya pada peluang baru.

Dan yang paling penting: dia bisa jadi bahu. Tempat bersandar saat saya goyah. Bukan menghakimi. Tapi menguatkan. Kadang cukup dengan diam dan bilang, “Saya pernah ada di titik itu juga.”

Karena buat saya, mentor bukan hanya kompas. Tapi juga pelindung angin saat kita belum sanggup berdiri sendiri.

Trainer: Tukang Pecah yang Hebat

Kalau kamu butuh seseorang yang bisa mengubah ketidaktahuanmu jadi keterampilan, kamu butuh TRAINER.

Seorang trainer tahu cara memotong gunung jadi undakan-undakan, jago memecah sesuatu yang kompleks jadi sederhana. Dia bisa membagi proses yang rumit menjadi langkah-langkah yang kamu bisa ikuti.

Dia bukan hanya paham apa, tapi bagaimana.

Dia bukan hanya pintar melakukannya, tapi juga bisa membuat orang lain ikut bisa. Bukan ceramah, tapi praktik. Dia sabar mengulang, sabar membetulkan, hingga skill itu menempel di tangan dan kepala peserta.

Kalau kamu butuh skill praktis, dari public speaking sampai coding, maka trainer adalah pilihan yang masuk akal.

Konsultan: Problem Solver Profesional

Kalau kamu butuh solusi cepat, karena kamu pusing dan waktumu mepet, kamu butuh KONSULTAN.

Konsultan akan mendengarkan masalahmu, menganalisis, lalu menyodorkan diagnosis dan resepnya. Kadang mereka bahkan mengerjakannya untukmu.

Kamu cukup bayar, lalu terima hasil. Cocok buat kamu yang butuh hasil, bukan proses.

Mau restrukturisasi perusahaan? Optimasi sistem IT?
Konsultan adalah orang yang kamu sewa untuk menyelesaikan masalah, bukan sekadar menemanimu berpikir.

Lalu, Sisanya? Si Jago Bicara

Hati-hati. Di tengah banyaknya suara dan wajah yang tampil meyakinkan, kamu perlu jeli membedakan siapa yang benar-benar bisa membantumu, dan siapa yang cuma pintar membungkus kata.

Kalau orang itu tidak menggali pemikiranmu seperti coach, tidak punya jejak nyata seperti mentor, tidak bisa melatihmu hingga bisa seperti trainer, dan tidak mampu menyelesaikan masalahmu seperti konsultan, maka kemungkinan besar dia cuma satu: si jago bicara.

Mereka pandai menyusun kalimat, meyakinkan saat live di Instagram, memesona saat buka slide PowerPoint. Lucu, menarik, bahkan kadang menyentuh.
Bisa mengutip Aristoteles, bisa membahas Jordan Peterson, bisa pakai analogi dari “Attack on Titan” sampai “Dilan 1990”.

Tapi ketika kamu mulai bergerak, ketika masalahmu nyata, ketika bisnismu limbung, ketika kamu butuh orang yang benar-benar hadir, mereka lenyap seperti notifikasi yang kamu abaikan.

Mereka bukan penipu. Bukan juga jahat.
Mereka hanya belum pernah menanggung beban yang sedang kamu pikul.

Kalau besok pagi kamu bangun dan hidupmu masih tetap kacau, targetmu masih blur,
skillmu masih mentok, dan keputusanmu masih ragu, mungkin kamu bukan sedang belajar, tapi hanya menghibur diri dengan stand-up comedy yang dikemas elegan.

Berhenti mengejar suara yang merdu.
Mulailah mencari tangan yang bisa menarikmu naik.

Masih Bingung Siapa yang Sebenarnya Kamu Butuhkan Saat Ini?

Analoginya Gampang.

Bayangkan kamu “sakit”. Tapi bukan cuma demam. Ini lebih rumit: kamu kelelahan, bingung arah hidup, dan merasa stuck.

Kalau kamu ke dokter dan berkata, “Saya nggak tahu kenapa badan saya berat dan hidup saya terasa kosong,” maka dia akan cek darahmu, CT scan pikiranmu, dan memberimu resep. Itulah konsultan. Dia nggak perlu tahu curhatanmu, yang penting masalahnya jelas dan langsung cari solusi.

Kalau kamu ke pelatih gym, lalu bilang, “Saya mau lebih kuat, tapi nggak tahu mulai dari mana,” dia akan ajari kamu cara angkat beban yang benar, push-up tanpa nyeri, dan bikin kamu praktek berulang sampai ototmu terbentuk. Inilah trainer. Dia fokus ke skill.

Kalau kamu ngobrol dengan senior yang dulu pernah sefrustasi kamu, tapi sekarang sudah sukses menjalankan hidup dan bisnisnya, dia akan cerita, “Saya dulu juga gitu. Tapi saya belajar caranya.” Dia akan bilang: “Kalau ketemu lubang ini, belok kanan ya.” Nah, itu mentor.

Dan kalau kamu duduk di kafe, lalu ada orang yang hanya berkata, “Kamu sebenarnya sudah tahu jawabannya… kamu hanya butuh tenang dan jujur ke diri sendiri…”, lalu dia diam, menatapmu dalam-dalam, membiarkan kamu menggali sendiri jawabannya…
Dia bukan mistikus. Dia coach.

Kalau kamu cuma curhat panjang lebar ke teman yang pandai bicara, tapi begitu pulang kamu tetap tidak tahu harus ngapain… ya, mungkin dia cuma sahabat yang baik dan lucu.

Sudah tahu siapa yang kamu butuhkan hari ini?

Takeaway

Dunia ini penuh suara. Tapi tidak semua suara pantas dijadikan kompas.
Banyak yang ingin jadi guru, padahal belum selesai jadi murid.
Banyak yang ingin didengar, padahal tak pernah benar-benar mendengarkan.
Banyak yang mengaku bisa membimbing, padahal belum pernah berjalan jauh.

Kita mudah terpesona pada yang fasih berbicara, tapi lupa bertanya: dia pernah jalan sejauh apa?
Kita mudah tertarik pada nasihat yang rapi, tapi lupa menggali: itu dari pengalaman atau hanya hasil merangkai?

Kadang, yang kita butuhkan bukan motivasi murahan yang dibungkus kutipan.
Tapi peta.
Atau kompas.
Atau orang yang pernah nyasar dan tahu arah pulang.

Kadang, kita butuh cermin: seorang coach yang membantu kita jujur pada diri sendiri.
Kadang, kita butuh penunjuk jalan: seorang mentor yang sudah lebih dulu sampai.
Kadang, kita butuh tukang ajar: seorang trainer yang sabar membimbing langkah demi langkah.
Kadang, kita butuh tukang beresin masalah: seorang konsultan yang langsung eksekusi.

Dan sisanya?
Biarkan saja jadi hiburan.

Karena tak semua yang menginspirasi layak dijadikan pegangan.
Dan kalau pada akhirnya kamu belum menemukan mereka semua…
Mungkin, yang paling kamu butuhkan saat ini adalah berani melangkah sendiri.

Biar luka jadi guru.
Biar proses jadi mentor.

Dan biar jatuh bangunmu sendiri yang membentuk dirimu jadi versi yang lebih utuh.

Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.


Elite Success Blueprint Banner


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking
Read More

Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking

Cara berpikir para jenius di dunia memiliki satu kesamaan, yaitu mereka banyak berpikir tentang cara mereka berpikir. Elon Musk dan juga beberapa entrepreneur hebat lainnya menggunakan kerangka kerja yang disebut dengan First Principle untuk menyusun pemikiran mereka. Sebuah kerangka cara berpikir (penalaran), dengan cara menggali suatu hal sampai ke esensi dasarnya, sehingga hal itu tidak lagi diselimuti oleh asumsi-asumsi lain, dan tidak bisa diurai lebih dalam lagi. Kemudian dari esensi dasar itu, dibangun sebuah pemikiran sendiri. Bagaimana Anda juga bisa melakukannya ?
Read More
Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu
Read More

Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu

Kalau Anda belum punya uang untuk diinvestasikan, maka investasikanlah waktu Anda. Kebanyakan orang tidak menjadi lebih baik dari lima tahun lalu karena mereka hampir tidak menginvestasikan waktu untuk meningkatkan diri dalam ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan networking mereka.
Read More