Founder’s Note: Jangan Terlalu Cepat Mengumumkan “Next Big Thing”
Euforia itu datang seperti demam. Tiba-tiba. Menggigil. Lalu panas.
Saya ingat perasaan itu. Surat berkop perusahaan negara di atas meja. Kontrak bernilai miliaran. Tinta pulpennya bahkan belum kering betul. Rasanya seperti baru saja menaklukkan dunia.
Telepon ke keluarga. Telepon ke tim. Telepon ke teman-teman. Dengan nada suara yang sengaja saya buat tenang padahal jantung saya berdebar seperti genderang perang.
Seharusnya segera kembali bekerja. Tapi tidak. Saya malah membuka sosial media.
Inilah racun pertama. Keinginan untuk berteriak. Untuk bilang pada dunia, “Lihat saya. Saya berhasil.”
Pesta yang Terlalu Cepat Dimulai
Kamu menulis paragraf panjang. Penuh kata-kata besar. “Kolaborasi strategis.” “Membawa Indonesia ke level selanjutnya.” Kamu pasang foto terbaikmu, tersenyum seolah semua masalah sudah selesai.
Like berdatangan. Komentar ucapan selamat membanjiri notifikasi. Media mulai menelepon, meminta wawancara. Kamu merasa penting. Kamu merasa seperti pemenang.
Padahal, kamu belum memenangkan apa-apa.
Kamu baru saja diberi peluru. Bukan berarti kamu sudah memenangkan pertempuran. Mendapat pendanaan atau proyek besar itu bukan garis finis. Itu adalah garis start untuk perlombaan yang jauh lebih brutal.
Saya pernah melihat ini berkali-kali. Founder muda yang kantornya mendadak jadi studio foto. Sibuk mengatur jadwal wawancara. Sibuk merancang ulang logo agar terlihat lebih ‘korporat’. Mereka lupa satu hal: produk mereka masih payah. Pengguna mereka masih mengeluh.
Mereka seperti pemilik warung nasi yang dapat pesanan katering dari kantor walikota. Besoknya, warungnya langsung dicat ulang. Beli meja baru. Pasang spanduk besar-besar. Tapi dia lupa: pelanggan setianya yang makan setiap hari masih menunggu di luar, kelaparan. Dan rasa masakannya mulai hambar karena dia terlalu sibuk mengurus citra.
Kebisingan yang Membunuh Fokus
Hype itu seperti narkoba. Sekali coba, kamu ketagihan. Kamu mulai mengukur kesuksesan dari jumlah liputan media, bukan dari jumlah pengguna yang puas. Kamu lebih khawatir soal judul berita besok pagi daripada memperbaiki bug yang dikeluhkan pelanggan sejak minggu lalu.
Timmu melihatnya.
Mereka melihat pemimpinnya lebih sering memegang mikrofon daripada keyboard. Mereka mulai bingung. Apa tujuan kita sekarang? Membuat produk hebat, atau membuat founder kita terkenal?
Ekspektasi publik jadi cambuk yang menyakitkan. Kamu sudah terlanjur berjanji akan mengubah dunia. Padahal, mengubah kebiasaan satu pengguna saja susahnya setengah mati. Tekanan itu membuatmu mengambil jalan pintas. Merilis fitur setengah matang. Berbohong soal progres.
Kompetitor tersenyum. Mereka melihatmu sibuk di panggung. Sementara mereka, di dalam gua yang sunyi, terus mengasah kapak. Mereka tidak butuh tepuk tangan. Mereka hanya butuh satu hal: pasar yang kamu abaikan.
Bekerja dalam Senyap, Berbicara Lewat Hasil
Ada kebijaksanaan dalam kesunyian.
Startup terbaik yang pernah saya lihat tumbuh seperti jamur di musim hujan. Diam-diam. Di bawah tanah. Tiba-tiba sudah besar dan kokoh. Mereka tidak pernah mengeluarkan siaran pers untuk setiap pendanaan kecil yang mereka dapatkan.
Mereka sibuk berbicara dengan pengguna. Satu per satu. Lewat telepon. Lewat kopi darat di warung pinggir jalan. Mereka terobsesi dengan masalah, bukan dengan citra.
Validasi mereka bukan tepuk tangan investor di ruang rapat ber-AC. Validasi mereka adalah ketika seorang pengguna berkata, “Gila, produkmu ini benar-benar membantu hidupku.”
Jangan umumkan sampai kamu punya sesuatu yang nyata untuk dipertaruhkan. Jangan teriak sampai kamu punya bukti. Biarkan produkmu yang menjadi juru bicara paling lantang.
Seorang nelayan yang menemukan lubuk ikan terbaik tidak akan mengumumkannya lewat pengeras suara di pelabuhan. Dia akan diam-diam kembali ke sana setiap pagi. Sampai kapalnya penuh.
Takeaway
Cek pertama, kontrak pertama, liputan media pertama. Semua itu terasa manis. Tapi itu bukan kemenangan. Itu hanya bahan bakar. Dan bahan bakar yang dinyalakan di tempat yang salah hanya akan menciptakan kebakaran, bukan mendorong perjalanan.
Euforia itu musuh dari fokus. Tepuk tangan itu pengalih perhatian dari pekerjaan yang sesungguhnya.
Validasi sejati tidak datang dari pengumuman besar. Ia datang dari transaksi seorang pelanggan yang kembali lagi. Dari email terima kasih seorang pengguna yang masalahnya terpecahkan. Dari tim yang tetap solid bekerja hingga larut malam bukan karena takut pada CEO, tapi karena percaya pada visi.
Berhentilah mencoba terlihat seperti “the next big thing”.
Mulailah bekerja untuk menjadi hal yang benar-benar dibutuhkan, meski tak ada seorang pun yang melihat.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.