Ada orang yang hidupnya seperti jalan tol. Lurus. Mulus.

Segala pintu terbuka bahkan sebelum dia mengetuk. Kita melihatnya dan bergumam dalam hati, “Enak sekali ya hidupnya.”
Padahal itu cuma satu hal sederhana: dia sedang dipermudah Allah menuju takdirnya.
Setiap orang punya jalurnya.
Ada yang dipermudah belajar. Ada yang dipermudah dagang. Ada yang dipermudah sabar.
Ada pula yang dipermudah… untuk dipukul berkali-kali sampai akhirnya sadar.
Itu juga takdir.
Dan kebanyakan orang memang menuai sesuai usahanya.
Hukum sebab-akibat biasanya bekerja rapi.
Kamu tanam, kamu dapat. Kamu malas, kamu terima balas.
Tapi ada sebagian kecil manusia yang hidupnya seperti anomali statistik.
Usahanya setengah, hasilnya penuh. Usahanya penuh, hasilnya malah nihil.
Kita bingung. Padahal Allah sudah mengatur sesuatu untuknya.
Ada orang yang hidupnya ditolong banyak tangan.
Bukan karena dia jago networking.
Bukan karena dia punya gelar panjang seperti buntut layangan.
Kadang cuma karena dia ramah. Senyumnya murah.
Hatinya tidak menuntut orang lain untuk mengerti dirinya.
Dia hadir dengan ringan, dan dunia membalasnya dengan ringan pula.
Pertolongan seperti itu bukan keajaiban. Itu resonansi.
Energi baik menemukan jalannya sendiri.
Tapi ada juga orang yang perangainya busuk: kasar, curang, seolah hidup tanpa rem.
Dan anehnya, mereka menikmati banyak kemewahan dunia.
Kita mungkin iri atau heran. Tapi ingat satu hal: dunia, di mata Allah, bahkan tidak seharga sebelah sayap nyamuk. Remeh. Murahan.
Jadi kalau ada orang jahat diberi dunia, itu bukan bentuk cinta. Itu hanya bukti betapa murahnya dunia ini sampai-sampai diberikan kepada siapa saja, yang taat maupun yang bandel.
Lalu bagaimana kalau Allah benar-benar mencintai seorang hamba?
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban, dalam sebuah hadits sahih.
Apabila Allah mencintai seseorang karena ketaatannya, Allah memanggil Jibril. Nama hamba itu disebut di langit. Dicintai di sana sebelum dicintai di sini. Jibril kemudian menyeru kepada seluruh malaikat, “Allah mencintai si Fulan, maka cintailah dia.” Dan langit pun mengiyakan.
Maka, Allah menanamkan al-qabūl, rasa diterima, di hati manusia.
Entah bagaimana, hamba itu disukai banyak orang.
Reputasinya harum, meski dia tidak pernah sibuk mencari pujian.
Hatinya ringan, langkahnya teduh, dan manusia merasa damai berada di dekatnya.
Itu pantulan dari cinta Allah.
Bukan pencitraan.
Bukan marketing.
Cuma cinta yang memantul dari langit, jatuh tepat ke hati manusia.
Dan di titik ini kita paham, bahwa ada orang yang dimudahkan karena sedang digiring menuju nikmat dunia. Tapi ada yang dimudahkan karena sedang digiring menuju cinta Allah.
Dua-duanya mudah.
Tapi arahnya beda.
Dan hasil akhirnya tidak bisa dibandingkan.
Kadang hidup tidak sesederhana “usaha = hasil”.
Kadang hidup lebih seperti panggilan: siapa yang dipanggil langit akan diterima bumi.
