Otak manusia purba dirancang untuk bertahan hidup, bukan untuk bahagia.
Ia cuma peduli kamu aman dan selamat.

Dan sekarang, neurosains modern membuktikan, amygdala, pusat alarm otak, lebih cepat aktif daripada bagian otak rasional seperti prefrontal cortex.
Artinya, sebelum kamu sempat berpikir logis, otakmu sudah lebih dulu panik.
Itulah kenapa kamu gampang khawatir.
Gampang cemas.
Gampang mikir yang buruk-buruk.
Default pabriknya: waspada, bukan bahagia.
Dulu, saat nenek moyang kita hidup di hutan, yang selamat itu bukan yang paling ceria. Tapi yang paling curigaan. Yang kalau denger ranting patah, langsung lari, bukan mikir, “Ah, mungkin cuma angin.”
Itulah kenapa sampai hari ini, kamu bisa punya gaji bagus, keluarga harmonis, saldo aman, dan masa depan cerah…tapi tetap merasa kurang, tetap merasa waswas.
Karena otakmu tidak sedang mencari alasan untuk bersyukur, ia sedang mencari ancaman tersembunyi.
Ini disebut negativity bias.
Satu komentar buruk di media sosial bisa menghapus sepuluh pujian.
Satu kemungkinan gagal bisa mengunci seluruh potensi sukses.
Bukan karena kamu lemah. Tapi karena otakmu ingin kamu siap kabur, bukan siap bahagia.
Nah, industri modern paham ini.
Maka dijualah rasa bahaya itu, biar kamu terus beli keamanan.
Asuransi, antivirus, skincare anti-aging, vitamin anti ini-itu.
Kita disuruh takut dulu, baru tenang kalau beli.
Iklan, politik, bahkan notifikasi dari aplikasi pun tahu ini.
Semua memanfaatkan rasa takutmu untuk mencuri perhatianmu.
Dan sialnya, berhasil.
Sekarang, manusia modern hidup dalam paradoks:
Teknologi makin canggih, keamanan makin tinggi, kemudahan makin banyak, tapi tingkat kecemasan tetap naik.
Kenapa? Karena otak purba itu belum sempat di-update.
Berita buruk: kamu tidak bisa menginstal ulang otakmu.
Berita baik: kamu bisa belajar menjadi lebih sadar dari otakmu.
Mindfulness, journaling, bersyukur—bukan sekadar tren.
Tapi bentuk perlawanan elegan terhadap sistem alarm yang terlalu rajin bekerja.