Pernah dengar cerita 1.400 tahun lalu dari Tiongkok?
Seorang pangeran muda yang kelak jadi Kaisar, bertanya kepada penasihatnya yang paling cerdas, “Xu, kau ini paling bijak di antara semua. Tapi kenapa banyak orang membicarakanmu dari belakang?”
Xu tersenyum. Dan jawabannya layak ditulis di dinding kantor, papan kelas, bahkan hati yang sedang capek dinilai.
Katanya begini, “Kalau hujan turun di musim semi, petani bersyukur. Tanamannya minum. Tapi musafir ngedumel, karena jalannya becek.
Kalau bulan purnama bersinar terang di musim gugur, gadis-gadis bersenandung memuji cahayanya. Tapi pencuri mengumpat, karena aksinya jadi ketahuan.
Jika alam semesta saja tak bisa membuat semua orang senang… apalah aku, cuma pegawai kerajaan biasa.”

Pernah ngalamin?
Kamu kerja lembur, dibilang cari muka.
Kamu pulang cepat, dibilang nggak totalitas.
Kamu banyak omong, dibilang sok tahu.
Kamu diam saja, dibilang nggak punya ide.
Ya. Kadang hidup terasa seperti lomba lari yang jurinya semua orang… dan garis finish-nya nggak pernah jelas.
Tapi justru di situlah kebebasanmu lahir.
Ketika kamu sadar bahwa kamu tidak harus menyenangkan semua orang,
kamu jadi punya ruang untuk jujur.
Untuk memilih jalan yang benar, bukan jalan yang ramai.
Untuk fokus jadi versi terbaik dari dirimu, bukan versi paling disukai oleh orang lain.
Sama seperti kopi.
Ada yang suka pahit. Ada yang butuh gula. Ada yang maunya es, ada yang cuma suka tubruk panas.
Dan kopi tidak berusaha mengubah diri jadi teh, hanya supaya semua orang suka.
Begitu pula kamu.
Jadilah seperti Xu. Teguh. Jujur. Dan sadar:
Kalau semesta aja bisa dikritik…ya wajar kamu juga.
Yang penting bukan disukai semua orang. Tapi dihormati oleh orang yang benar.