Bertemu dan berbicara dengan orang-orang, para pebisnis, pimpinan perusahaan / instansi adalah kegiatan yang sering saya lakukan.
Mereka beragam…
Ada yang bisa bicara tentang apa saja, tapi cuma kulitnya.
Ada yang CEO di kartu namanya, tapi perusahaannya tidak ada.
Ada yang keren penampilannya, tapi bisnisnya begitu saja.
Ada yang keren tampilannya, dan keren juga bisnisnya.
Ada yang tampilannya biasa saja tapi bisnisnya besar luar biasa.
Dan juga, dalam proses hiring di perusahaan saya, sudah ratusan kali saya melakukan interview dengan calon karyawan.
Ada yang gelarnya berderet panjang, tapi tidak bisa menjawab pertanyaan.
Ada yang pandai bicara, tapi ternyata tidak ada isinya.
Ada yang tidak pintar bicara tapi dalam pengetahuannya.
Ada yang pandai bicara sekaligus dalam ilmunya.
Pengalaman saya (bukan sebuah kesimpulan ya),
orang-orang di metropolitan seperti Jakarta, lebih berani “menjual dirinya”, dan terkadang berlebihan.
Mereka yang kurang, bisa tampak lebih.
Mereka yang biasa saja, akan tampak hebat.
Sedangkan di kota-kota lainnya, orang-orangnya malu-malu untuk menunjukkan kemampuannya, padahal mereka bisa jadi lebih capable.
Uniknya, mereka yang beneran hebat, usaha mem-branding dirinya tidaklah seheboh orang-orang itu, atau bahkan mereka tidak melakukannya.
Ini dunia penuh branding.
Orang-orang membangun citra diri (personal branding) di tengah masyarakat. Mereka mempromosikan pengalaman, karier, dan juga dirinya sendiri agar dikenal hebat.
Memikat dan mencoba membuat orang lain percaya terhadap diri kita itu sama sekali tidak ada salahnya, bahkan mungkin perlu.
Branding itu membangun citra.
Dan pencitraan itu menjadi bukan pencitraan, jika ia mengabarkan kenyataan.
Maka citrakan diri Anda cuma sebagai kenyataan Anda.
Itu jauh lebih baik.