Pagi dimulai dengan ponsel di tangan. Scroll-scroll dulu sebelum benar-benar bangun. Sambil makan, tetap nonton video short. Malamnya, di kasur, lanjut lagi sampai mata terasa berat.

Begitu siklus itu berjalan terus, setiap hari.

Ini bukan cerita baru, kan? Tapi, sadar atau tidak, kebiasaan ini membuat otak kita pelan-pelan “membusuk”. Istilah kerennya: brain rot.

Source: CNN Indonesia

Brain Rot: Apa Itu dan Bagaimana Terjadi?

Brain rot bukan penyakit fisik, tapi kondisi di mana otak kita kehilangan daya tajamnya karena terus-menerus dijejali konten digital yang dangkal.

Ini seperti memberi tubuh makanan cepat saji setiap hari—kenyang, tapi tidak ada gizinya. Otak pun begitu.

Disuguhi video pendek, meme, atau informasi instan yang sebenarnya tidak penting. Akibatnya, otak tidak terlatih untuk berpikir mendalam atau mencerna hal-hal yang kompleks.

Platform media sosial bahkan dirancang untuk memanjakan kebiasaan buruk ini. Algoritmanya terus menyodorkan konten yang cepat dan menyenangkan, bikin kita betah scroll tanpa sadar waktu.

Sekilas terlihat tidak berbahaya. Tapi lama-lama, efeknya terasa. Otak kita jadi malas bekerja keras. Fokus menurun. Konsentrasi pendek. Dan ujung-ujungnya, produktivitas anjlok.

Gejala Brain Rot: Pernah Mengalaminya?

Pernah merasa sulit fokus saat membaca sesuatu yang lebih dari dua paragraf? Baru mulai, langsung terasa membosankan. Atau, merasa cemas kalau ponsel tidak di tangan?

Itu tanda-tanda brain rot.

Remaja sering menjadi korban utama. Mereka tumbuh di era TikTok dan Instagram, di mana validasi dari like dan komentar menjadi segalanya. Akibatnya, mereka sulit menikmati aktivitas yang membutuhkan kesabaran—membaca buku, mengerjakan tugas, atau bahkan hanya duduk tanpa gangguan.

Orang dewasa juga tak jauh beda. Setelah seharian kerja sambil selingan media sosial, kepala terasa berat. Tidur tidak nyenyak karena ponsel masih menyala sampai tengah malam.

Kenapa Kita Tidak Peduli?

Lucunya, kebanyakan orang yang membaca tentang efek brain rot ini, ya, tetap saja lanjut. Tidak peduli.

Kamu mungkin berpikir, “Ah, itu kan cuma teori. Saya baik-baik saja kok.” Tapi benarkah begitu? Atau kamu cuma menyangkal?

Faktanya, kebiasaan buruk ini memang memberikan gratifikasi instan. Rasanya enak. Tapi efek jangka panjangnya? Itu yang sering kamu abaikan.

Manusia, pada dasarnya, tidak suka mendengar sesuatu yang membuatnya merasa bersalah. Jadi, meski tahu scrolling terus-menerus itu tidak sehat, kamu tetap saja melakukannya. Lagipula, siapa sih yang mau merasa kalau dirinya punya masalah?

Jujur pada Diri Sendiri

Pertanyaannya sekarang, apakah brain rot ini sudah mulai mengganggumu? Jujur saja. Tidak usah denial.

Yang merasakan efeknya ya kamu sendiri. Kalau sudah sulit fokus, produktivitas menurun, atau merasa hidup seperti “numpang lewat” karena habis waktu hanya untuk konten digital, mungkin sudah saatnya berhenti sejenak dan berpikir ulang.

Denial hanya akan memperburuk keadaan. Mengakui bahwa kita punya masalah adalah langkah pertama untuk berubah. Ini bukan tentang menyalahkan diri sendiri, tapi soal menyelamatkan otak kita sebelum terlambat.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Berhenti total dari media sosial mungkin terdengar mustahil. Tapi kita bisa mulai dari hal kecil.

Misalnya, kurangi waktu scrolling dengan menetapkan batasan. Ganti kebiasaan scrolling kosong dengan sesuatu yang lebih bermakna: membaca buku, jalan-jalan, atau hanya sekadar menikmati keheningan.

Tidak perlu ekstrim, cukup beri otakmu waktu istirahat.

Aktivitas kreatif bisa menjadi solusi yang efektif. Melibatkan diri dalam kegiatan seperti menggambar, menulis, atau berolahraga tidak cuma menyegarkan pikiran, tetapi juga membantu mengasah konsentrasi.

Remaja, terutama, sebaiknya diarahkan untuk mencoba aktivitas yang memerlukan usaha dan proses, seperti memasak, merakit sesuatu, atau bahkan berkebun. Semua ini memberikan kepuasan mendalam yang jauh lebih berarti dibanding hiburan instan yang cepat menghilang.

Dan yang paling penting, biasakan untuk memilih konten yang benar-benar bermanfaat.

Ingat, tidak semua yang ada di media sosial itu layak dikonsumsi. Pilihlah sesuatu yang bisa memperkaya, bukan sekadar menghibur.

Akhir Kata, Kapan Kamu Berhenti Denial?

Fenomena brain rot ini adalah cermin zaman. Kita hidup di era di mana teknologi adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi alat yang mempermudah hidup, tapi juga jebakan yang perlahan melumpuhkan, jika kita lengah.

Pilihannya ada di tanganmu.

Tapi, mari jujur. Apakah kebiasaan ini sudah mulai mengganggu hidupmu? Jika iya, ini saatnya berhenti berkilah. Karena pada akhirnya, yang menanggung semua akibatnya ya kamu sendiri. Denial tidak akan membuatmu lebih baik, hanya menunda kejatuhan yang lebih dalam.

Mental illness is hard, adding self-worth is hard. Choose your hard.

Menderita sakit mental itu berat, menambah nilai diri dan menjadi orang yang ber-value tinggi itu sulit. Kamu harus tentukan sulitmu.

Hidup memang tidak pernah menawarkan jalan yang sepenuhnya mudah. Namun, ketika kamu memilih untuk memperbaiki diri, kamu sedang menanam benih masa depan yang lebih baik.

Jadi, tarik napas dalam-dalam. Letakkan ponsel, tutup tab yang tidak perlu, dan beri otakmu ruang untuk bernapas.

Ingat, di dunia yang serba cepat ini, kamu adalah satu-satunya yang bisa memberikan jeda untuk dirimu sendiri.

Berhenti sejenak bukan tanda kelemahan, itu justru cara untuk mengingat kembali esensi hidup.

Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.


Personal OKR Blueprint


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Pikiran bawah sadar
Read More

Rahasia Pikiran Bawah Sadar Anda

Pikiran bawah sadar memegang peran penting bagi kehidupan Anda. Semua memori, nilai-nilai hidup Anda, keyakinan kebenaran Anda, kepribadian, program-program, tersimpan dengan baik di bawah sadar. Bahkan semua informasi yang masuk tanpa sepengetahuan pikiran sadar kita pun ia simpan
Read More