Saat ini, hampir setiap minggu saya mendengar startup baru yang mengklaim menggunakan AI untuk memecahkan berbagai masalah.
“Kami seperti IKEA, tapi AI mendesain interior otomatis.”
“Kami seperti Decathlon, tapi AI merekomendasikan perlengkapan olahraga sesuai performa.”
“Kami seperti Starbucks, tapi AI mempersonalisasi menu pelanggan.”
Banyak yang terdengar canggih. Tapi, apakah mereka akan bertahan?
Entahlah.
Masalahnya, banyak startup terjebak dalam hype. Mereka pikir cukup dengan menempelkan AI, produk mereka pasti laku.
Mereka lupa satu hal: bisnis harus bisa menghasilkan uang.
Tanpa arus kas yang sehat, sehebat apa pun teknologinya, mereka akan jatuh lebih cepat dari yang dikira.
Startup tidak bertahan hanya karena teknologinya canggih.
Jika bisnisnya tidak bisa menghasilkan uang dari pelanggan, AI cuma jadi fitur tambahan yang mudah sekali ditiru pesaing besok pagi.
Fitur AI yang hanya mengintegrasikan model dari OpenAI, Google, atau Anthropic? Itu bukan proposisi nilai unik. Itu cuma gimmick. Mudah ditiru. Hari ini kamu punya fitur baru, besok pesaing juga sudah punya.
Cash Flow Adalah Nafas Startup

Dari pengalaman saya, startup yang mampu bertahan selama 3 tahun pertama biasanya punya satu kesamaan: mereka bisa menghidupi diri sendiri dari hasil penjualan produk atau layanan mereka.
Selama 3 tahun itu, para founder sering kali menggaji diri sendiri dengan sangat kecil, atau bahkan tidak digaji sama sekali. Mereka hidup hemat, mengorbankan kenyamanan pribadi demi menjaga bisnis tetap berjalan.
Ini bukan hanya soal keuangan, tetapi soal mentalitas.
Founder yang rela melakukan ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar percaya pada bisnisnya. Mereka tidak bergantung pada pendanaan luar untuk bertahan, melainkan membangun bisnis yang benar-benar bisa menghasilkan uang.
Tidak ada ruang untuk pemborosan.
Sebaliknya, startup yang langsung mendapat pendanaan besar sering kali jatuh ke dalam perangkap boros. Gaji C-level melambung tinggi. Karyawan direkrut sebelum dibutuhkan. Uang dihamburkan untuk branding dan publikasi.
Mereka terlihat besar, tapi tidak punya daya tahan.
Begitu dana investor habis, mereka goyah. Valuasi turun. Investor mundur.
Hasilnya?
Banyak yang tumbang sebelum tahun keempat.
Produk yang Dibutuhkan Pasar
Startup yang bertahan bukan yang punya teknologi paling canggih, tapi yang punya Unique Value Proposition (UVP) yang sulit ditiru. Mereka menciptakan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan pelanggan.
Jika ini tentang AI, contoh yang semua orang tahu adalah DeepSeek dari Tiongkok. Mereka tidak cuma mengandalkan model AI dari pihak lain. Mereka membangun Large Language Model (LLM) sendiri. Biaya mereka jauh lebih rendah dibanding raksasa teknologi lainnya. Itu baru keunggulan yang sulit ditiru.
Tapi meski teknologi mereka hebat, apakah itu cukup? Kita lihat saja nanti.
AI Keren Saja Tidak Cukup untuk Bertahan

Lihat Stability AI. Mereka memimpin pengembangan AI generatif open-source, menyaingi OpenAI. Inovasi luar biasa. Tapi tetap saja, mereka mengalami masalah finansial. Pendanaan menipis. Operasional sulit dibiayai. Mereka terlalu bergantung pada modal eksternal, bukan dari pelanggan.
Jadi, inovasi saja tidak cukup. Startup harus bisa menjual produknya. Bukan hanya ke investor, tapi ke pelanggan yang benar-benar membutuhkannya.
Kembali ke Bisnis yang Sehat
Kita memang hidup di era AI. Tapi teknologi bukan satu-satunya kunci sukses.
Startup yang bertahan adalah mereka yang paling disiplin dalam bisnisnya. Yang bisa menjual. Yang bisa bertahan tanpa investor. Yang tidak hanya sibuk terlihat canggih, tapi benar-benar bernilai bagi pelanggan.
Tidak ada jalan pintas dalam membangun perusahaan yang akan bertahan lama.
Jaga arus kas positif sejak awal. Jangan terpesona dengan strategi “growth at all cost“. Pastikan setiap rupiah yang masuk dan keluar terpantau dengan baik.
Bootstrapping lebih dulu, fundraising kemudian. Buktikan dulu bahwa model bisnis kamu bisa menghasilkan uang sebelum mencari pendanaan eksternal.
Gaji founder yang wajar. Jika bisnis belum stabil, founder harus rela mengorbankan kenyamanan finansial jangka pendek.
Bangun UVP yang sulit ditiru. Bukan sekadar menambahkan fitur teknologi terbaru, tapi memecahkan masalah dengan cara yang benar-benar baru dan sesuai konteks lokal.
Fokus pada pelanggan, bukan investor. Terlalu sering startup menghabiskan waktu melakukan pitching ke investor daripada berbicara dengan pelanggan.
Membangun startup memang tidak mudah. Tapi dengan menjaga prinsip-prinsip di atas, peluang untuk menjadi bagian dari 5% yang bertahan lebih dari 5 tahun akan jauh lebih besar.
Seperti yang sering saya katakan ke founder-founder muda, “Startup keren bukan yang dapat pendanaan terbesar, tapi yang masih ada 10 tahun kemudian.”
Takeaway
Membangun startup yang berkelanjutan bukanlah tentang headline di media atau jumlah pendanaan yang diterima. Ini tentang menciptakan nilai nyata bagi pelanggan, mempertahankan disiplin finansial yang ketat, dan memiliki determinasi untuk bertahan dalam jangka panjang.
Seperti quote lama, “Revenue is vanity, profit is sanity, cash is reality” Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, “Revenue itu kesombongan, profit itu kewarasan, uang cash itu kenyataan.”
Startup yang benar-benar berkelanjutan adalah yang tetap berdiri ketika yang lain telah jatuh. Dan biasanya, mereka adalah yang menghormati hukum dasar bisnis: jaga arus kas tetap sehat, berikan nilai unik yang diterima pasar, dan siapkan diri untuk maraton, bukan sprint.
Kalau kamu sedang membangun startup, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah bisnisku akan bertahan jika tidak ada pendanaan lagi besok?” Jika jawabannya tidak, mungkin inilah waktu untuk memikirkan kembali strategimu.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.