Tahun 1963, seorang psikolog bernama Robert Rosenthal ingin membuktikan asumsinya: bagaimana kalau kecerdasan anak-anak sebenarnya bukan soal angka-angka IQ, melainkan soal ekspektasi?
Ia lalu bekerja sama dengan seorang kepala sekolah, Lenore Jacobsen. Mereka membawa sebuah tes bernama TOGA (Tests of General Ability) di sebuah SD biasa di Oak Elementary. Guru-guru diberitahu bahwa ini adalah tes untuk mengukur siapa murid yang “akan berkembang lebih cepat”, the academic bloomers.
Padahal, itu bohong. Tidak ada hubungannya dengan “berkembang lebih cepat”. Dari hasil tes, Rosenthal secara acak memilih 20% murid untuk disebut “si paling berpotensi.” Nama-nama itu lalu diberikan kepada guru masing-masing.
Setahun berlalu. Saat tes IQ diulang, ada sesuatu yang mengejutkan, murid-murid yang diberi label “paling berpotensi” benar-benar menunjukkan lonjakan IQ yang signifikan dibanding teman-temannya. Terutama di kelas-kelas rendah. Mereka yang tadinya dipilih secara acak, mendadak sungguhan jadi lebih pintar.
Apa yang terjadi?
Guru-guru memperlakukan anak-anak itu dengan cara berbeda. Lebih sabar, lebih memberi perhatian, lebih percaya. Anak-anak itu pun merasa dirinya memang “berbakat.” Lingkaran ekspektasi ini menciptakan kenyataan baru.
Ekspektasi Bisa Mengubah Masa Depanmu
Fenomena ini disebut Pygmalion Effect.

Intinya sederhana, ekspektasi seseorang terhadapmu bisa mengubah dirimu. Kamu menjadi seperti apa yang orang lain harapkan darimu.
Kita sering mengira kecerdasan itu bawaan lahir. Angka mati. Padahal kecerdasan itu lebih mirip adonan kue. Bisa mengembang, bisa juga bantat, tergantung seberapa hangat ovennya. Dan oven itu adalah ekspektasi orang-orang di sekitar kita.
Ini bukan cuma teori usang dari tahun 60-an. Ini terjadi setiap hari, di meja kerjamu, di ruang rapatmu, bahkan di meja makan rumahmu.
Bos yang Meragukan vs Pemimpin yang Mempercayai
Dalam karier, pernah punya bos yang selalu mengawasimu?
Yang setiap menit bertanya, “Sudah sampai mana?” Yang tatapannya seolah berkata, “Aku ragu kamu bisa.” Bos seperti ini tidak sedang mengelola. Dia sedang menempelkan label “tidak kompeten” di dahimu. Dan pelan-pelan, tanpa sadar, kamu mulai meragukan dirimu sendiri. Kinerjamu turun. Kamu benar-benar jadi tidak kompeten.
Sebaliknya, seorang pemimpin sejati akan memberimu tanggung jawab dan berkata, “Saya percaya kamu bisa. Kalau ada masalah, kabari saya.” Satu kalimat itu bisa mengubah seorang karyawan biasa, menjadi singa di medan perang.
Buruh atau Calon Pemimpin Masa Depan?
Dalam bisnis, seorang pengusaha yang melihat timnya hanya sebagai sekumpulan buruh akan mendapatkan hasil kerja buruh. Cukup. Sesuai perintah. Tanpa inisiatif. Tapi seorang pengusaha yang melihat timnya sebagai calon-calon pemimpin masa depan, dia akan mendapatkan loyalitas, inovasi, dan pertumbuhan yang gila-gilaan.
Dia tidak sedang membayar gaji. Dia sedang berinvestasi pada potensi manusia. Bedanya seperti mandor bangunan dengan pelatih tim sepak bola. Yang satu cuma mau temboknya berdiri, yang satu ingin pemainnya mencetak gol kemenangan.
Kata-Kata Orangtua Adalah Mantra yang Menjadi Nyata
Dan yang paling mengerikan, dalam keluarga.
Hati-hati dengan mulutmu di depan anak. Setiap kali kamu bilang, “Dasar anak nakal,” atau “Kenapa kamu malas sekali?” Kamu tidak sedang menasihati. Kamu sedang menancapkan paku ke otaknya. Kamu sedang merapal mantra yang akan dia wujudkan.
Ubah kalimatnya.
Daripada “anak nakal,” coba “anak kreatif yang energinya banyak.” Daripada “pemalas,” coba “anak yang butuh motivasi berbeda.” Karena kata-katamu bukan angin lalu. Itu adalah cetakan yang membentuk masa depan mereka.
Label Apa yang Sedang Kamu Tempelkan?
Kita semua, setiap hari, memegang kuas tak terlihat. Dengan kuas itu, kita melukis label di dahi orang lain. “Pintar.” “Bodoh.” “Bisa diandalkan.” “Gagal.”
Pertanyaannya bukan lagi apakah eksperimen itu nyata?
Pertanyaannya adalah: label apa yang sedang kamu tempelkan di dahi anakmu, timmu, atau pasanganmu hari ini?
Dan yang lebih penting, label apa yang kamu biarkan orang lain tempelkan di dahimu sendiri?