Pernah lihat orang ribut di kolom komentar?
Satu bilang A, satunya balas B, lalu muncul C yang merasa paling benar, D yang ikut nimbrung, dan tiba-tiba E menulis, “Bego semua.”
Akhirnya?
Tidak ada yang selesai. Semua ingin menang. Tidak ada yang mau belajar.
Lucunya, yang paling lelah bukan yang salah. Tapi yang masih waras.
Saya jadi ingat satu kutipan lama yang dulu saya anggap lucu.
“Never argue with an idiot. They will bring you down to their level and beat you with experience.”
(Jangan pernah berdebat dengan orang bodoh. Ia akan menarikmu ke levelnya, lalu mengalahkanmu dengan “pengalamannya”.)
Sarkas, tapi benar seperti itu.
Orang bodoh memang ahli di satu bidang: membuat yang pintar terlihat bodoh. Mereka berdebat bukan untuk mencari kebenaran, tapi pembenaran.
Dan ironisnya, semakin bodoh seseorang, semakin keras suaranya.
Tontonan di Panggung Debat
Sekarang, panggung debat malah jadi tontonan. Banyak penontonnya. Bahkan disiarkan di televisi. Ada moderator, ada penonton, ada tepuk tangan. Tapi tetap saja, tidak ada yang menang. Yang ada hanya dua pihak yang sama keras kepala, saling menuduh, saling merasa benar.
Dan anehnya, orang-orang terhibur melihat dua manusia saling menjatuhkan sambil pura-pura “berbagi argumen”. Padahal yang terjadi bukan pertukaran pikiran, tapi adu gengsi yang dibungkus kata “diskusi”, yang mereka bahkan tidak tahu bedanya diskusi dan debat.
Ya, diskusi adalah pertukaran pikiran. Debat adalah pertarungan ego.
Dan di medan ego, kebenaran selalu mati muda.
Petuah Abadi Imam Syafi’i Tentang Diam
Imam Syafi’i, ulama besar yang fatwanya masih diikuti umat Islam lebih dari seribu tahun kemudian, pernah berkata, “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan.”
Beliau yang hafal ribuan hadis, peletak dasar Usul Fiqh, justru mengajarkan: Jika orang bodoh mengajakmu berdebat, diamlah.
“Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam.”
Diam.
Sederhana. Tapi sulit sekali dilakukan di era komentar instan. Kita semua ingin “menjelaskan”, padahal penjelasan adalah bensin bagi orang bodoh.
Bagi Imam Syafi’i, diam bukan tanda kalah. Tapi tanda tahu tempat.
“Apakah kamu tidak melihat bahwa seekor singa itu ditakuti karena ia pendiam? Sedangkan anjing menjadi permainan karena ia suka menggonggong?”
Ciri-Ciri Orang Bodoh yang Harus Kamu Tahu
Meladeni orang bodoh bukan hanya membuang waktu, tapi juga mengeraskan hati. Karena semakin lama kita berbicara dengannya, semakin hilang kemampuan kita membedakan antara logika dan ego.
Dan ego itu menular. Bergaul dengan orang bodoh lama-lama membuat kita lupa bahwa diam pun bisa jadi bentuk kecerdasan.
Orang bodoh itu punya ciri khas: merasa paling benar, sering menyela, tak mau belajar dari kesalahan, bicara banyak tapi isinya sedikit, dan yang paling berbahaya, percaya pada siapa saja asalkan sejalan dengan pendapatnya, menyalahkan semua orang kecuali dirinya sendiri.
Pendek kata, mereka hidup dari reaksi, bukan refleksi.
Ia seperti kapal bocor yang menolak diperbaiki, tapi marah ketika tenggelam.
Itulah mengapa Imam Syafi’i memilih diam. Karena meladeni mereka hanya akan membuat hati keras, pikiran keruh, dan waktu terbuang.
“Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek. Maka aku tidak ingin menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.”
Pelajaran Hidup
Kebijaksanaan bukan diukur dari banyaknya kita berbicara, tapi dari kemampuan menahan diri untuk tidak berbicara pada orang yang tidak ingin memahami.
Kadang, cara terbaik menghadapi kebodohan bukan dengan argumen, tapi dengan tenang, berjalan, dan membiarkannya berbicara sendiri sampai lelah.
Dan biarlah sejarah yang menentukan siapa yang sebenarnya bodoh.
Di dunia yang sibuk berteriak, diam bisa jadi bentuk tertinggi dari perlawanan.
Dan kalau suatu hari kamu ditantang berdebat oleh orang bodoh, ingatlah pesan Imam Syafi’i:
Tidak semua gonggongan pantas dibalas. Kadang, cara terbaik untuk menang, adalah tidak ikut bertarung.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.