Kita mulai dengan sebuah adegan: dua orang duduk pada sebuah kafe di San Francisco.
Satu adalah dalang di balik desain iPhone. Satu lagi adalah otak di balik ChatGPT. Mereka tidak sedang ngopi-ngopi santai. Mereka sedang merancang masa depan.
Lalu mereka mengumumkan sesuatu: OpenAI resmi mengakuisisi io, startup perangkat keras AI buatan Jony Ive, senilai US $6,5 miliar.
Bukan tunai. Saham.
Dan bukan akuisisi biasa. Ini, kalau benar terealisasi seperti yang mereka bisikkan. bisa jadi “iPhone moment” untuk era AI.
US $6,5 Miliar untuk Sebuah Visi Tanpa Layar
Di era ketika semua orang sibuk mempercantik aplikasi, OpenAI justru “melangkah mundur”. Mundur ke dunia nyata.
Ke benda-benda yang bisa disentuh. Dibanting. Diisi baterainya.
Mereka bilang, “Cukup sudah AI hanya hidup di cloud”.
Lewat io, AI akan punya bentuk. Wujud. Rasa.
Dan desainnya? Diserahkan ke orang yang membuat iPhone, iPad, MacBook Air terasa seperti benda dari masa depan.
Jony Ive, yang dulu jadi ikon Apple, kini malah jadi senjata rahasia OpenAI untuk menantang Apple itu sendiri.
Dunia memang lucu.
Desain Tanpa Layar. Keberanian atau Kesombongan?
Dalam video pengumuman mereka, Ive dan Sam Altman berbagi mimpi. Bukan presentasi formal. Hanya duduk-duduk di kafe, seperti dua seniman yang baru saja menyelesaikan lukisan paling gila mereka.
Mereka menyebut io sebagai puncak karier.
Bukan karena spesifikasi. Tapi karena filosofi.
Karena perangkat ini… katanya… tidak punya layar.
Serius. Zero. Kosong. Tanpa layar.
Di dunia di mana semua orang berlomba bikin layar lebih besar, lebih bening, lebih retina, mereka justru bilang: cukup.
AI tak perlu layar untuk terasa hidup.
Berani? Iya.
Gila? Mungkin.
Tapi siapa yang bilang revolusi itu harus masuk akal?
Menantang Apple
Ironi terbesar di sini adalah ini: Jony Ive sedang membangun “iPhone berikutnya”, bukan untuk Apple, tapi untuk OpenAI.
Perusahaan yang dulu ia bantu bangkit, kini jadi kompetitor.
Dan Apple?
Masih sibuk ngejar ketertinggalan di bidang AI. Masih belum move on dari masa lalu.
Sementara itu OpenAI ngebut.
Mereka rekrut Caitlin Kalinowski, mantan kepala proyek AR-nya Meta.
Mereka suntik dana ke startup robotika.
Mereka rekrut desainer, teknolog, visioner.
Tiba-tiba, AI bukan lagi sekadar chatbot.
Tapi bisa jadi benda di meja makan.
Atau di saku celana.
Atau mungkin… di kepala?
Antara Janji dan Kenyataan
Tapi tunggu dulu.
Kalau Anda nonton video pengumumannya di youtube itu, Anda mungkin merasa… aneh.
Tak ada produk yang ditunjukkan.
Tak ada demo.
Tak ada teknologi canggih yang ditampilkan.
Hanya dua orang yang terlalu antusias dengan sesuatu yang belum ada.
Netizen pun nyinyir. “Pengumuman untuk pengumuman lain,” kata salah satu komentar.
Dan jujur saja, mereka ada benarnya.
Tapi bukankah begitu semua kisah besar dimulai?
Dengan ketidakyakinan.
Dengan sinisme.
Dengan “ah paling juga gagal.”
iPhone dulu juga diejek.
Tesla juga.
Bahkan ChatGPT, dulu dianggap gimmick.
Jadi mungkin kita sebaiknya diam dulu.
Lihat sampai 2026.
Pertanyaan yang Belum Terjawab
Apa jadinya kalau AI bisa dirasakan, bukan hanya dilihat?
Apa jadinya kalau alat yang kita pakai sehari-hari, bukan cuma canggih, tapi juga… puitis?
Apa jadinya kalau Jony Ive dan Sam Altman tidak sedang bercanda?
Mungkin io akan jadi produk gagal termahal sepanjang sejarah.
Atau mungkin, justru jadi titik balik hubungan manusia dan teknologi.
Satu hal yang pasti: dunia teknologi baru saja berubah arah.
Dan kita semua sedang jadi saksi.
Apakah Kita Sedang Menyaksikan Sejarah Terjadi?
Untuk kamu yang masih bingung
Tidak apa-apa bingung.
Tidak semua hal harus langsung dimengerti.
Kadang yang besar lahir dari ketidakjelasan.
Kadang yang hebat dimulai dari “hanya ngobrol di kafe.”
Dan kadang, satu keputusan bisa menggoyang raksasa yang selama ini kita kira tak tergoyahkan.
Maka duduklah. Nyalakan alarm 2026.
Dan lihat apakah io akan jadi mimpi gila yang berhasil, atau kenyataan yang terlalu dini.
Yang jelas, popcorn sudah siap.
Dan kita semua sedang menonton.