Ada kalimat yang terdengar berlebihan, tapi makin ke sini terasa makin nyata:
“Kita adalah generasi terakhir yang otaknya belum banyak distraksi.”
Distraksi yang saya maksud bukan sekadar bisa membaca. Tapi bisa memahami. Bisa duduk tenang dan menuntaskan satu halaman buku tanpa tergoda notifikasi. Bisa bertahan dalam satu percakapan utuh tanpa harus melirik layar. Bisa berpikir sampai ke ujung, tanpa harus melompat-lompat dari satu video ke video lain, dari satu sensasi ke sensasi berikutnya.
Sekarang, coba perhatikan anak-anak. Bukan cuma yang berusia lima tahun. Bahkan yang SMA. Bahkan yang kuliah.

Mereka tidak bisa lagi belajar dengan metode yang sama seperti kita dulu.
Bukan karena mereka bodoh. Justru sebaliknya. Otak mereka telah bermutasi. Bukan karena genetik, tapi karena gadget.
Gadget adalah Guru, Pengasuh, dan Obat Penunda Sakit
Dulu, HP adalah alat bantu. Sekarang, dia adalah guru, teman main, pelarian, candu. Ia bukan lagi alat, tapi sudah menjadi lingkungan hidup.
Setiap hari, anak-anak tumbuh di bawah siraman dopamine dari TikTok, Mobile Legends, dan YouTube Shorts. Imajinasi mereka dikurung oleh algoritma. Konsentrasi mereka dipotong-potong oleh iklan dan notifikasi.
Mereka tidak malas. Mereka tidak kurang semangat. Mereka sedang diseret masuk ke dunia yang tak memberi ruang untuk berhenti dan merenung.
Mereka bukan tidak bisa membaca. Tapi tidak bisa menyelesaikan bacaan. Karena di kepala mereka, dunia itu harus bergerak cepat, penuh warna, dan selalu seru.
Sekolah? Kurikulum? Kelas? Guru berdiri di depan, murid duduk diam dan mendengar?
Itu semua adalah peninggalan zaman yang kalah cepat.
Sekolah Kalah dari TikTok
Coba bandingkan: di kelas, anak diajak memahami penjumlahan vektor. Di layar HP, mereka bisa jadi tentara elite dalam 10 detik. Bisa viral hanya dengan joget. Bisa kaya hanya dengan bikin konten prank.
Sekolah tidak salah. Tapi dunia berubah terlalu cepat. Dan sistem pendidikan kita menolak berlari.
Yang lebih parah: kita masih menyalahkan anak-anaknya. Kita bilang mereka malas. Tidak punya etika. Tidak tahan banting.
Padahal yang rapuh bukan mereka.
Yang rapuh adalah sistem yang masih menganggap mereka hidup di tahun 1995.
Generasi Scroll yang Pintar tapi Rapuh
Jika dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan satu generasi. Kita kehilangan peradaban berpikir mendalam.
Akan lahir generasi dengan gelar sarjana, tapi tak bisa membedakan opini dan fakta.
Bisa mengetik cepat, tapi tak bisa membangun argumen.
Bisa multitasking, tapi kehilangan empati.
Bisa belajar banyak hal, tapi tak bisa menyambung makna.
Kita akan punya banyak orang yang jago memakai teknologi, tapi sedikit yang benar-benar matang secara emosional.
Banyak yang bisa merekam setiap momen, tapi jarang yang mau berhenti sejenak untuk berpikir dalam.
Banyak yang punya ribuan follower di media sosial, tapi hampir tak ada yang benar-benar layak diikuti sebagai panutan.
Solusinya Bukan Digitalisasi, Tapi Dekolonisasi Digital
Jawabannya bukan “digitalkan semua pelajaran”. Itu seperti memberi bensin ke api.
Solusinya adalah memerdekakan anak dari ketergantungan layar, dan membawa mereka kembali ke dunia nyata.
Ajarkan mereka dengan pengalaman langsung, bukan cuma teori di kepala.
Biarkan mereka belajar dari hal-hal nyata. Dari kotoran tanah, dari salah langkah, dari proyek sungguhan, dari bimbingan orang yang benar-benar hadir, bukan dari karakter digital di layar.
Biarkan mereka membuat kesalahan dan belajar dari rasa malu, bukan dari fitur “undo”.
Ajarkan mereka bahwa tidak semua hal bisa di-skip.
Bahwa butuh waktu, ulang, dan sabar untuk membangun sesuatu yang layak dihargai.
Bahwa satu-satunya hal yang tak bisa digantikan oleh AI, adalah kemampuan untuk menjadi manusia.
Kita Sedang Diambang Kehilangan Besar
Ini bukan soal pendidikan. Ini soal masa depan spesies manusia.
Jika kita gagal menciptakan sistem baru yang relevan dan berakar pada kenyataan, bukan pada tren, maka kita sedang menanam benih kehancuran yang akan dipanen bersama.
Karena yang hilang bukan sekadar generasi. Tapi kita semua.
Kita akan jadi saksi bisu keruntuhan zaman membaca. Zaman berpikir. Zaman bertumbuh.
Dan satu hari nanti, anak cucu kita akan menatap kita dan bertanya,
“Kenapa kalian tahu dunia sedang berubah, tapi kalian tidak mengubah cara mendidik kami?”
Lalu apa jawaban kita?
Kalau kamu masih bisa membaca tulisan ini dari awal sampai akhir tanpa pindah aplikasi, tanpa buka tab lain, tanpa sebentar-sebentar cek HP, mungkin kamu termasuk generasi terakhir yang masih bisa benar-benar fokus.
Maka jangan wariskan kebiasaan scroll tanpa arah. Jangan wariskan gadget.
Wariskan cara berpikir jernih. Wariskan kemampuan untuk benar-benar hadir, mendengar, dan memahami.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.