Saya suka hal-hal yang tenang tapi menentukan. Yang tak banyak bicara, tapi diam-diam mengarahkan hidup.
Kesederhanaan. Optimisme. Disiplin. Efisien. Efektif.
Semua itu seperti fondasi rumah, tidak kelihatan dari luar, tapi menopang segalanya.
Lalu dua hal penting, yang bisa membedakan dengan banyak orang: kesabaran dan kejujuran.
Kesabaran itu seperti rem. Kadang bikin kita lambat, tapi sering kali menyelamatkan dari tabrakan.
Sementara kejujuran, adalah kemudi. Menjaga kita tetap di jalur. Menolak untuk belok hanya demi jalan pintas.
Dan hari ini saya ingin bicara soal kejujuran.
Kita ini aneh.
Berdoa minta rezeki halal, tapi ngeles waktu ditanya siapa yang salah.
Minta keberkahan, tapi hidup penuh kebohongan kecil yang dianggap “wajar”.
Padahal, dosa itu jarang datang dalam bentuk yang besar.
Ia merayap pelan.
Lewat nota yang dimanipulasi.
Lewat laporan yang “dirapikan”.
Lewat kata-kata yang tidak sepenuhnya benar, tapi tetap disampaikan dengan senyum meyakinkan.
Dan anehnya, kita tetap bisa tidur.
Tetap bisa shalat.
Tetap bisa posting ayat-ayat.
Kita kira Allah itu tidak tahu, hanya karena orang lain tidak tahu.
Kita pikir hidup ini tentang terlihat bersih, padahal Tuhan tidak pernah tertipu pencitraan.
Bahkan kalau kamu agnostik atau atheis, kejujuran tetap jadi soal.
Karena setiap kebohongan menciptakan konflik batin, menghancurkan kedamaian dalam pikiran yang katanya bebas. Karena ternyata, sekalipun tak percaya langit, jiwa manusia tetap tahu kapan ia sedang kotor.
Saya menulis ini bukan untuk menuduh siapa-siapa. Saya menulis ini karena saya juga pernah jadi pengecut.
Pernah bohong.
Pernah sembunyi.
Pernah pakai “alasan syar’i” untuk membungkus kesalahan.
Pernah pakai kata “hikmah” untuk menunda kejujuran.
Tapi kamu tahu apa yang paling melelahkan dari hidup seperti itu?
Bukan kerja kerasnya. Tapi karena setiap hari kamu harus berpura-pura di depan orang, dan lebih parah, di depan Allah.
Kamu tidak bisa khusyuk, bukan karena terlalu sibuk. Tapi karena terlalu banyak yang kamu sembunyikan.
Dan kamu tahu apa yang paling menyakitkan?
Saat kamu menyadari, yang paling kamu tipu adalah dirimu sendiri.
Kita sering merasa Allah jauh, padahal kita sendiri yang terus menjauh.
Sederhananya: menolak jujur, meski tahu itu benar.
Kejujuran itu getir.
Kadang bikin kamu kehilangan klien.
Kehilangan posisi.
Bahkan kehilangan teman.
Tapi kamu tahu, siapa yang tidak akan pernah pergi? Allah.
Kejujuran mungkin tidak membawamu cepat sampai, tapi ia menjagamu tetap di jalan yang lurus. Karena tidak ada gunanya sukses, kalau di ujungnya kamu malu menatap langit.
Kita ini terlalu sibuk membangun reputasi, sampai lupa membangun kejujuran.
Terlalu takut pada opini manusia, sampai lupa bahwa kelak, kita akan berdiri sendiri di hadapan-Nya.
Tanpa CV.
Tanpa portofolio.
Tanpa backup dari tim hukum.
Salah satu yang akan jadi penyelamat: kejujuran.
Kejujuran yang dibayar mahal. Yang kadang bikin kamu dianggap bodoh. Tapi disitulah Allah uji, apakah kamu lebih cinta pada dunia, atau pada-Nya.
Karena jujur itu bukan soal gaya hidup. Tapi soal siapa yang kamu anggap sebagai saksi hidupmu.
Kalau kamu merasa tulisan ini seperti menampar…
Mungkin itu bukan dari saya.
Mungkin itu hati kecilmu, yang sejak lama ingin bicara.