Bagaimana Algoritma Rahasia Bernama EMSR Diam-Diam Mengatur Harga — dan Kenapa Kamu Tetap Membelinya
Saya sering bolak-balik Surabaya–Penang. Kadang lewat KL dulu, atau Singapore, kadang direct. Dan saya selalu punya ritual yang sama setiap kali pesan tiket: cek harga, bandingkan, tunggu bentar, baru bayar.
Tapi suatu hari, karena ada tamu datang, saya skip bayar. Lalu mengulang lagi proses order, di hari yang sama, cuma terpaut 2–3 jam. Dan… boom, harga tiket naik. Padahal rute dan jamnya sama persis.
Waktu itu saya kesal. Tapi juga penasaran.
Lalu googling, dan ketemulah jawabannya.
Bukan dari blog traveling. Tapi dari jurnal. Dari MIT.
Dan makin saya gali, makin saya ternganga.
Ternyata harga tiket itu bukan hasil tawar-menawar pasar, tapi hasil perhitungan algoritma yang sangat dingin dan presisi.
Mungkin beberapa dari Anda sudah tahu ini.
Kalau belum, saya ingin share ini ke Anda. Agar Anda gak cuma marah ketika lihat harga tiket berubah, tapi juga paham:
Kenapa bisa begitu. Dan siapa otaknya.
Sejarah EMSR: Algoritma Harga Tiket Pesawat Pertama
Bagaimana Kursi Kosong Memunculkan Rumus
Tahun 1987. Di MIT. Seorang profesor matematika bernama Peter Belobaba duduk di ruang kelas, menyusun model ekonomi — bukan untuk Wall Street, tapi untuk kursi pesawat.

Masalah yang dia coba pecahkan sederhana: Kenapa banyak kursi pesawat kosong, padahal orang selalu ingin terbang?
Tapi dari pertanyaan sederhana itu lahirlah sesuatu yang mengubah cara industri penerbangan bekerja:
EMSR — Expected Marginal Seat Revenue.

Dulu, Harga Tiket Itu Flat — Sekarang Sangat Fleksibel
Harga tiket pesawat dulunya kayak harga nasi pecel. Sama saja, pagi-siang-malam.
Tapi pesawat bukan warung. Kalau kursi kosong, gak bisa dijual besok.
Begitu take-off, semua potensi pendapatan dari kursi kosong itu… hilang.
Maka, muncullah satu pertanyaan emas, “Haruskah saya jual kursi ini sekarang dengan harga rendah, atau tunggu seseorang yang mau bayar lebih mahal nanti?”
Belobaba menjawab pertanyaan ini dengan rumus. Dengan probabilitas.
Lahirlah EMSR.
Bayangkan kamu jual 100 tiket konser.
Sekarang ada 60 orang yang mau beli Rp200 ribu.
Tapi kemungkinan nanti ada 30 orang yang mau beli Rp500 ribu.
Haruskah kamu jual sekarang?
Atau tahan sebagian untuk pembeli premium?
Itulah yang dihitung EMSR.

Bukan soal “berapa harga yang adil”, tapi berapa “nilai yang diharapkan” dari setiap kursi di masa depan.
Dampak EMSR: Miliaran Dolar dari Harga Dinamis
Ketika EMSR dipakai American Airlines, industri berubah total. Pendapatan mereka naik 3–7% per tahun. Dalam 10 tahun pertama, miliaran dolar mengalir dari “kursi yang dijual lebih smart.”

Dan jangan bayangkan ini kerja manual. Mereka langsung pakai sistem.
Algoritma ini disematkan ke aplikasi booking, yang menyesuaikan harga real-time berdasarkan permintaan, sisa kursi, waktu keberangkatan, hingga perilaku calon penumpang seperti kita.
Harga Tiket Bisa Berubah karena Perilaku Kamu
Sistem tahu saat kamu membuka browser, atau aplikasi. Ia tahu kamu bandingkan harga pakai laptop atau HP. Ia tahu jam berapa biasanya kamu beli. Dan jika kamu pergi — lalu balik lagi 2 jam kemudian, sistem anggap, “Orang ini makin butuh tiket. Saatnya naikkan harga sedikit.”
Terdengar jahat? Tidak. Ini cuma sistem yang mencoba memaksimalkan pendapatan dari tiap kursi.
Era Pandemi dan Evolusi Algoritma Harga
Lalu datang COVID-19. Pandemi menghancurkan semua pola lama.
Semua data historis jadi tidak relevan.

Dan pertanyaannya kembali mengemuka, “Apakah algoritma ini masih berguna saat dunia berubah total?”
Jawabannya: bisa, asal disuntik AI.
Maskapai yang beradaptasi dengan machine learning dan big data tetap bisa bertahan. Mereka bahkan mendapatkan tambahan pendapatan 1–2% dibanding model lama.
Harga tiket yang kamu lihat sekarang bukan hasil negosiasi. Itu hasil dari 500.000 kali penyesuaian harga per hari, dan analisis dari jutaan data: histori booking, cuaca, kompetitor, bahkan emosi publik di media sosial.
Ini bukan cuma jualan kursi. Ini adalah pertempuran antara logika manusia dan mesin prediktif. Dan seperti biasa, mesin menang.
Pricing Optimization di Hotel, Bioskop, dan E-Commerce
Kursi pesawat hanyalah permulaan.
Setelah sukses di langit, algoritma ini turun ke bumi.
Hotel, bioskop, e-commerce, ride-hailing, bahkan diskon flash sale barang kebutuhan harian — semua ikut-ikutan.
Mereka semua pakai pendekatan yang sama:
Revenue Optimization + Real-Time Demand Modeling.
Alias: “Siapa mau bayar lebih, kita jual lebih mahal. Kalau tidak, kita mainkan rasa takut dan urgensinya.”
Algoritma Penentu Harga Hotel Saat Weekend
Kamu buka Traveloka. Cari hotel untuk Sabtu depan.
Lihat harga Rp750 ribu. Kamu diskusi dulu dengan pasanganmu.
Balik lagi 20 menit kemudian… jadi Rp820 ribu.
Kok bisa?
Karena sistem sudah mencatat: kamu cari di hari Sabtu (peak season), sudah klik salah satu kamar, tidak jadi booking.
Sistem menyimpulkan, “Ini pelanggan potensial. Tapi belum yakin. Kita naikin dikit. Kalau dia butuh, dia pasti beli juga.”
Apalagi kalau kamu browsing-nya pakai iPhone. Selamat, kamu sering dianggap lebih “mampu”.
Harganya bisa beda, meski tipis.
Algoritma Penentuan Harga Tiket Bioskop Berdasarkan Jam dan Cuaca
Tiket nonton Mission Impossible jam 19.00 akan lebih mahal dari jam 13.00.
Tiket hari Sabtu malam beda dari Senin siang.
Tapi ini bukan karena mereka iseng.
Cineplex dan jaringan bioskop besar sudah memakai real-time pricing berdasarkan: historis jumlah penonton per slot waktu, film yang sedang naik daun, lokasi bioskop, bahkan suhu cuaca (kalau hujan, orang lebih suka nonton).
Kalau sistem mendeteksi tren lonjakan, harga akan naik otomatis.
Diskon E-Commerce Itu Dikendalikan oleh AI
Pernah lihat ini?
“Diskon 70% — hanya 2 jam!”
“Tersisa 5 barang lagi!”
“100 orang sedang melihat produk ini!”
Itu bukan notif biasa. Itu persuasion engineering.
Di baliknya ada algoritma yang melihat berapa kali produk ini dilihat, berapa lama kamu scroll, apakah kamu add to cart tapi belum bayar. lokasi kamu (hari gajian, event kota, dll).
Mereka bisa naik-turunkan harga secara personal ke tiap user.
Kalau kamu sering beli dan loyal? Dikasih diskon palsu.
Kalau kamu pelanggan baru? Dikasih harga beneran murah biar ketagihan.
Sistem Harga Dinamis di Aplikasi Ride-Hailing
Pagi hari. Hujan. Terlambat ke kantor.
Buka Gojek atau Grab — harga mendadak naik dua kali lipat.
Lalu muncul tulisan kecil: “Permintaan tinggi di area Anda.”
Itu bukan alasan klise.
Sistem mereka memang membaca kondisi jumlah driver aktif vs permintaan, lokasi padat, jam sibuk, bahkan… baterai HP kamu (kalau lemah, kamu lebih cenderung menerima harga mahal daripada repot cari opsi lain).
Tips dan Kesimpulan: Cara Menghadapi Algoritma Harga
Satu, kita hidup di era algoritma harga. Bukan lagi pasar tawar-menawar konvensional.
Dua, yang kamu bayar seringkali bukan harga produk, tapi nilai yang kamu bersedia bayar — dan itu diprediksi sistem.
Tiga, “keadilan harga” sudah menjadi konsep usang. Yang ada sekarang adalah “efisiensi profit.”
Strategi Melawan Harga Dinamis
- Jangan impulsif. Tunggu, bandingkan. Tapi hati-hati, terlalu lama bisa kena “price creep”.
- Pakai tools harga. Gunakan plugin seperti Honey, CamelCamelCamel, Skyscanner alert, dll.
- Gunakan browser incognito, dan jangan login saat browsing awal.
- Bandingkan di device berbeda. Kadang HP dan laptop bisa kasih harga beda.
⠀
Kita bukan lagi sekadar konsumen.
Kita adalah titik data yang dipantau, dipelajari, dan ditarget.
Semua sistem itu bekerja bukan untuk memberikan harga terbaik buatmu — tapi pendapatan maksimal untuk mereka.
Dan lucunya, kita tetap beli.
Sama seperti saya yang tetap beli tiket ke Penang, meski harganya naik 200 ribu cuma karena saya skip 2 jam.
Lain kali kamu checkout barang atau pesan hotel, ingat:
Kamu bukan cuma lawan penjual. Kamu lawan machine learning model yang lebih tahu kamu dari kamu sendiri.
Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.