Pendidikan Kita Masih Abad 19, Apakah Anak-Anak Kita Siap Hadapi Dunia 2045?


Tulisan ini lahir dari sebuah percakapan yang sederhana. Saya duduk di ruang kerja di rumah saya, sementara sahabat saya, seorang profesor muda dari salah satu universitas ternama di Indonesia, tersambung dari sebuah hotel di Melbourne.

Kami sedang berdiskusi melalui layar, membahas perkembangan platform “AI-Powered Personalized Learning Path” yang sedang tim kami kembangkan. Sebuah inisiatif yang lahir dari keinginan yang sama: agar anak-anak Indonesia bisa belajar sesuai ritme mereka sendiri, sesuai cara pikir dan cara rasa mereka, bukan sekadar ikut arus kurikulum yang kaku.

Di tengah diskusi tentang algoritma, model rekomendasi, dan tantangan integrasi data siswa, tiba-tiba ia berhenti sejenak. Lalu dengan wajah serius tapi penuh semangat, ia berkata, “Kita harus inline dengan ini.” Ia menunjuk layar dan mengunggah dua dokumen yang saat itu belum saya sentuh: Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025–2045 dan Pembelajaran Mendalam.

Esok harinya, saya membuka lembaran visi besar tentang masa depan negeri ini. Tentang bagaimana pendidikan seharusnya tidak hanya membentuk anak pintar, tapi manusia yang utuh. Tentang bagaimana belajar tidak lagi sekadar hafalan dan nilai, tapi pencarian makna dan arah hidup.

Pendidikan bukan sekadar urusan kementerian, bukan juga hanya soal guru dan murid. Pendidikan adalah soal keberanian untuk membayangkan masa depan bersama. Dan kadang, semua itu bisa dimulai dari obrolan sore hari, antara orang-orang yang percaya bahwa perubahan itu mungkin, dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan.

Table of Contents Hide
  1. Mengapa Pendidikan Indonesia Masih Tertinggal?
    1. Skor PISA: Cermin Kegagalan Sistem Pendidikan Kita
    2. Antara Hafalan dan Pemahaman: LOTS vs HOTS
    3. Sekolah: Tempat Menjawab atau Tempat Mencipta?
  2. Tiga Akar Masalah Utama dalam Sistem Pendidikan Kita
    1. Budaya Menghafal yang Membunuh Rasa Ingin Tahu
    2. Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
    3. Guru Terjebak dalam Sistem yang Tidak Membebaskan
  3. Pembelajaran Mendalam: Solusi atau Sekadar Wacana?
    1. Apa Itu Pembelajaran Mendalam? Konsep dan Esensinya
    2. 3 Lapisan Pengetahuan: Dari Fondasi ke Makna Hidup
    3. 3 Pilar Pembelajaran Mendalam: Sadar, Bermakna, Menggembirakan
  4. Inilah 8 Dimensi Manusia Seutuhnya dalam Pendidikan Masa Depan
    1. Dimensi Spiritual dan Kewargaan
    2. Dimensi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif
    3. Dimensi Kemandirian, Kesehatan, dan Komunikasi
  5. Taksonomi SOLO: Tangga Bertahap Menuju Pemahaman Mendalam
    1. 5 Tahapan Pemahaman: Dari Prastruktural ke Abstrak
    2. Mengapa Anak Kita Masih Berada di Tangga Bawah?
  6. Guru Adalah Jantung Sistem, Tapi Mereka Terluka
    1. Aktivator, Kolaborator, dan Culture Builder: Tugas Besar yang Terlupakan
    2. Bagaimana Sistem Membebani, Bukan Membebaskan Guru?
  7. Peta Jalan 2025–2045: Harapan Nyata atau Ilusi Lama?
    1. Transformasi Peran Guru yang Hanya Ada di Dokumen?
    2. Sistem yang Masih Menyukai Administrasi daripada Proses Belajar
  8. Dunia Berubah Cepat, Sekolah Masih Diam di Tempat
    1. Megatren Global: Dari AI sampai Urbanisasi
    2. Pendidikan Masih Mengajar Kolam, Padahal Dunia Sudah Laut Lepas
  9. Ekosistem Pendidikan Kita Retak, Siapa yang Akan Menyatukan?
    1. Peran Orang Tua, Pemerintah, dan Dunia Usaha yang Harus Dirombak
    2. Kolaborasi Nyata, Bukan Sekadar MoU dan Seremonial
  10. Tantangan Implementasi: Saat Ide Bagus Terhambat di Lapangan
    1. Mentalitas Lama: “Dulu Saya Juga Sekolah Begitu…”
    2. Keterbatasan Sumber Daya Bukan Alasan untuk Diam
  11. Mengubah Cara Belajar = Mengubah Cara Menilai
    1. Menghapus Dominasi LOTS dari Ujian Nasional
    2. Asesmen Autentik: Dari Portofolio sampai Self-Reflection
  12. Inspirasi Nyata dari Negara yang Berhasil
    1. Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Singapura, Vietnam, Finlandia, dan Estonia?
  13. Revolusi Dimulai dari Tindakan Kecil
    1. Peran Guru, Orang Tua, Pemerintah, dan Swasta dalam Aksi Nyata
  14. Bagaimana Kita Tahu Pendidikan Kita Sudah Berubah?
    1. Indikator Akademik, Sosial-Emosional, dan Inovasi
    2. Mengukur dengan Cerita, Bukan Sekadar Angka
  15. Teknologi dalam Pendidikan: Solusi atau Disorientasi?
    1. AI, VR, dan Platform Digital: Ketika Guru Tetap Jadi Pilot
      1. Artificial Intelligence (AI)
      2. Virtual Reality
      3. Kolaborasi Online
    2. Literasi Digital Holistik: Empat Dimensi yang Harus Ditanamkan
  16. Masa Depan Ada di Depan Pintu: Apa yang Kita Tinggalkan untuk Mereka?
    1. 2045 Bukan Soal Emas atau Tidak, Tapi Soal Siapa yang Kita Bentuk Hari Ini

Mengapa Pendidikan Indonesia Masih Tertinggal?

Bayangkan Anda sedang memasak nasi. Air mendidih, beras mengembang sempurna. Ya, jadi nasi putih. Tanpa garam, tanpa rasa.

Itulah pendidikan Indonesia hari ini.

Kita boleh mimpi punya unicorn, metaverse, dan AI made-in-Indonesia.
Tapi semua itu akan ambruk kalau dasar sistem pendidikannya cuma berisi hafalan dan ulangan pilihan ganda.

Skor PISA: Cermin Kegagalan Sistem Pendidikan Kita

Faktanya, skor PISA Indonesia masih rendah. Dan angka-angka itu tidak bohong. Mereka apa adanya, brutal, tanpa ampun.

Skor PISA Indonesia 2022
Source: https://goodstats.id/

PISA 2022: Indonesia meraih skor 1.108. Singapura? 1.679. Vietnam yang dulu kita anggap sebelah mata? 1.403. Bahkan Malaysia yang sering kita ejek? 1.213. Kita hanya sedikit di atas Filipina dan Kamboja!

Tapi tunggu dulu. Jangan terburu-buru marah pada angka. Mari kita bedah apa artinya.

PISA bukan sekadar tes. Dia cermin kejujuran tentang kemampuan anak-anak kita menghadapi dunia nyata. Bukan menghafal rumus Pythagoras, tapi menggunakannya untuk merancang jembatan. Bukan menghafal ibu kota negara, tapi menganalisis mengapa Jakarta tenggelam dan bagaimana mencegahnya.

Antara Hafalan dan Pemahaman: LOTS vs HOTS

Sebagian besar anak-anak kita, 70% siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal pada level 1–2. Ini yang disebut LOTS, Lower Order Thinking Skills. Hafalan, mengenali pola, menjawab soal rutinitas.

Sementara negara maju mendidik anak-anaknya pada HOTSHigher Order Thinking Skills: menganalisis, mengevaluasi, mencipta. Itu bukan sekadar bisa menghitung. Tapi bisa menjelaskan kenapa angka itu penting. Bisa membayangkan solusi, bukan cuma menyebut masalah.

Anda boleh bayangkan LOTS itu seperti bisa membaca resep. Tapi HOTS adalah kemampuan memasak dari bahan-bahan yang tersedia berlimpah di dapur.

Sekolah: Tempat Menjawab atau Tempat Mencipta?

Saya ingat masa sekolah saya dulu.
Ruang kelas berisi deretan meja dan bangku kayu yang dingin. Papan tulis yang penuh dengan rumus. Guru masuk, salam dan ngobrol sebentar, lalu beliau menyalin formula dari buku paket. Kami duduk diam menyalin ulang di buku catatan. Jarang ada dialog, dan tidak ada diskusi.

Ulangan datang, kami muntahkan kembali isi catatan itu dengan harapan nilai 80 ke atas. Dapat nilai bagus, orang tua senang, guru tenang.

Tapi apakah kami benar-benar paham? Apakah pengetahuan itu melekat, atau sekadar lewat seperti angin? Tidak ada yang peduli. Karena sistem tidak dirancang untuk bertanya, hanya untuk mencatat dan menjawab.

Pendidikan kita seperti pabrik kue kering. Semua dicetak dengan cetakan yang sama: bentuk sama, rasa sama, tekstur sama. Yang keluar adalah anak-anak yang hafal, bukan anak-anak yang bertanya.

Padahal dunia hari ini bukan lagi dunia pabrik, tapi dunia dapur terbuka. Dunia yang membutuhkan chef, bukan operator mesin. Anak-anak yang bisa meracik resep baru dari bahan yang tak terduga. Yang bisa berpikir, bukan sekadar menjawab.

Tiga Akar Masalah Utama dalam Sistem Pendidikan Kita

Sistem ini bukan tak pernah berubah. Kita sudah berkali-kali ganti kurikulum, ubah nama program, rombak struktur kementerian. Tapi esensinya tetap: belajar untuk ujian, bukan untuk kehidupan.

Padahal anak-anak kita lahir di dunia yang penuh kompleksitas, penuh ketidakpastian. Mereka butuh lebih dari sekadar jawaban benar; mereka butuh kemampuan bertanya, membantah, dan mencipta. Tapi sistem kita masih terjebak dalam kerangkeng lama: sekolah adalah tempat meniru, bukan tempat mencoba.

Budaya Menghafal yang Membunuh Rasa Ingin Tahu

Ini tantangan pertama kita. Budaya belajar kita lebih mirip latihan militer daripada laboratorium ide.

Guru takut kreatif karena takut dianggap menyimpang dari kurikulum. Siswa takut bertanya karena takut ditertawakan atau dianggap bodoh. Orang tua hanya peduli dua hal: nilai rapor dan ranking kelas. Padahal, seorang anak bisa punya rasa ingin tahu luar biasa tapi terus dipatahkan oleh sistem yang tidak memberinya ruang untuk gagal dan belajar ulang.

Bahkan ketika ada perubahan kurikulum, budaya ini tetap lekat.

HOTS (Higher-Order Thinking Skills) memang tertulis dalam modul, tapi masih diajarkan dengan metode LOTS (Lower-Order Thinking Skills). Seperti menyuruh anak membuat puisi tapi hanya membolehkan mereka memakai kata-kata dari KBBI.

Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan

Tantangan kedua. Kita suka membanggakan semangat gotong royong, tapi faktanya akses pendidikan kita sangat timpang.

Anak-anak di Jakarta Selatan bisa belajar lewat iPad, ikut kursus coding, dan diskusi tentang perubahan iklim. Sementara di pelosok NTT atau Papua, banyak yang masih belajar di kelas tanpa atap, dengan guru yang harus mengajar tiga kelas sekaligus karena kekurangan tenaga pengajar. Buku pelajaran sering hanya satu untuk lima anak. Internet? Mewah.

Bagaimana mereka bisa mengejar ketertinggalan jika titik start-nya saja berbeda? Dunia kerja kelak tidak akan bertanya dari mana kamu berasal, tapi apa yang kamu bisa. Dan saat itulah ketimpangan ini menjadi luka yang dalam.

Guru Terjebak dalam Sistem yang Tidak Membebaskan

Ini tantangan ketiga. Saya percaya banyak guru di Indonesia yang luar biasa: yang rela datang lebih pagi, yang mengajar di tempat terpencil, yang membeli alat praktik dengan uang sendiri.

Tapi mereka juga manusia yang pernah dibentuk oleh sistem yang sama. Sistem yang hanya mengenal satu cara mengajar: ceramah. Sistem yang menilai keberhasilan dari lembar jawaban, bukan dari diskusi di kelas.

Sebagian besar guru tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang bagaimana menumbuhkan pemikiran kritis atau merancang tugas berbasis proyek. Banyak guru tidak tahu bagaimana mengintegrasikan teknologi, bukan karena malas belajar, tapi karena tidak diberi kesempatan. Mereka bukan penghalang perubahan, mereka korban sistem yang butuh dibebaskan.


Dan di tengah semua tantangan itu, anak-anak kita tetap tumbuh.
Mereka bukan kosong, tapi mereka lapar. Lapar akan pembelajaran yang bermakna. Lapar akan guru yang mau mendengar. Lapar akan pendidikan yang memanusiakan.

Tugas kita bukan sekadar mengubah kurikulum, tapi mengubah cara kita memandang manusia yang sedang belajar. Karena jika kita tetap mempertahankan cara lama, kita tidak hanya tertinggal, kita sedang berjalan mundur perlahan-lahan sambil mengira kita maju.

Pembelajaran Mendalam: Solusi atau Sekadar Wacana?

Saya pelajari dokumen presentasi dari profesor sahabat saya dengan rasa campur aduk—penasaran, kagum, dan harapan. Gagasan ini lahir dari dapur Kemdikbud. Semoga bukan cuma wacana seminar, tapi kerangka kerja nyata.

Ini tentang Pembelajaran Mendalam (PM).

Apa Itu Pembelajaran Mendalam? Konsep dan Esensinya

PM bukan sekadar soal belajar lebih dalam, bukan sekadar memasukkan lebih banyak materi atau soal yang lebih sulit. Ia bicara tentang kedalaman yang sesungguhnya—yang menyentuh intelektual, emosi, nilai, dan makna.

PM ingin membentuk manusia utuh: yang bisa berpikir jernih, merasa empati, bekerja sama, menjaga tubuhnya, dan punya arah hidup yang jelas. Bukan anak yang jago menjawab soal TPS UTBK, tapi gagap ketika ditanya “Kamu ingin jadi apa dan mengapa?”

Bayangkan dua anak yang sama-sama mendapat nilai 100 dalam ulangan sejarah.
Anak pertama menghafal nama-nama kerajaan dan tahun berdirinya. Anak kedua bisa menjelaskan mengapa kerajaan itu runtuh, pelajaran apa yang bisa diambil, dan bagaimana itu relevan dengan kondisi Indonesia hari ini.

PM ingin kita mendidik anak kedua.

Dalam pendekatan ini, guru tidak lagi menjadi pusat dari semua pengetahuan.
Guru menjadi pemantik, fasilitator, pengarah arah nyala. Seorang culture builder yang menciptakan ruang aman dan hangat, tempat anak-anak berani mencoba, salah, bertanya, dan tertawa.

Dan ini bukan sekadar idealisme.

3 Lapisan Pengetahuan: Dari Fondasi ke Makna Hidup

PM didukung oleh pemikiran dari Marton & Säljö, yang membedakan antara pembelajaran dangkal dan mendalam. Kolb yang menekankan pentingnya pengalaman belajar langsung. Dan Heick yang membagi pengetahuan ke dalam tiga lapisan:

Lapisan pertama adalah Foundational Knowledge.
Ini adalah pondasi awal yang dibutuhkan semua pelajar, semacam kotak perkakas dasar sebelum mereka mulai merakit pemahaman yang lebih kompleks. Di sini mereka belajar bahwa air mendidih pada 100 derajat, bahwa 2+2 sama dengan 4, bahwa bumi mengelilingi matahari, dan bahwa kata “merdeka” berarti bebas.

Fakta-fakta ini seperti batu bata: penting, kokoh, tapi belum membentuk rumah.

Banyak sistem pendidikan berhenti di sini. Anak-anak diberi tumpukan batu bata, tapi tidak diajari cara membangunnya menjadi makna.

Selanjutnya adalah Meta Knowledge.
Ini wilayah di mana anak mulai merangkai fakta menjadi pola. Mereka tidak hanya tahu bahwa suhu bumi meningkat, tapi bisa mengaitkannya dengan gaya hidup manusia, industri, dan kebijakan energi. Mereka mulai memahami bahwa kemiskinan tidak hanya soal angka, tapi tentang sistem, ketimpangan, dan kesempatan.

Ini seperti kemampuan melihat gambar besar dari potongan-potongan puzzle. Tanpa meta knowledge, anak tahu banyak tapi tidak mengerti hubungan antarpengetahuan. Ia tahu isi pantry, tapi tidak bisa membuat resep.

Yang terakhir dan paling halus adalah Humanistic Knowledge.
Ini bukan soal data atau logika, tapi soal hati. Anak tidak hanya mengerti arti toleransi, tapi merasa terganggu ketika temannya dibully karena perbedaan keyakinan.
Ia tidak hanya tahu bahwa gotong royong itu nilai luhur, tapi mempraktikkannya dengan membantu temannya yang tertinggal pelajaran.

Humanistic knowledge menyentuh wilayah empati, nilai, dan makna hidup. Ia bukan hanya tahu apa yang benar, tapi berani memilih untuk melakukannya.


Ketiga lapisan ini harus berjalan bersama. Seperti anyaman: tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Kita tidak bisa mendidik anak hanya dengan fakta tanpa makna, atau makna tanpa dasar. Pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang membentuk manusia: utuh pikirnya, utuh hatinya, utuh sikapnya.

3 Pilar Pembelajaran Mendalam: Sadar, Bermakna, Menggembirakan

Tapi yang paling menarik adalah tiga prinsip utama PM. Tiga pilar yang jika benar-benar dijalankan, bisa membalikkan arah sistem pendidikan kita.

Berkesadaran.
Anak sadar mengapa dia belajar. Bukan karena disuruh guru, bukan karena takut dimarahi orang tua, tapi karena dia merasa perlu.

Belajar bukan lagi kewajiban yang menekan, tapi proses tumbuh yang dia pilih sendiri.

Seperti anak yang ingin membeli sepeda impiannya. Ia belajar matematika untuk menghitung berapa uang yang harus ditabung per minggu. Tidak ada guru yang menyuruh, tapi ia belajar karena ia ingin.

Bermakna.
Pelajaran terhubung dengan kehidupan nyata.
Anak belajar sains bukan untuk ujian, tapi karena penasaran kenapa balon bisa terbang. Ia belajar bahasa karena ingin menulis cerita hidupnya sendiri. Ia belajar sejarah bukan untuk menghafal tahun dan nama, tapi karena ingin memahami kenapa perang bisa terjadi, dan bagaimana cara menciptakan perdamaian.

Bayangkan anak SMP diajak menganalisis hoaks yang beredar di WhatsApp keluarganya. Ia belajar literasi digital, berpikir kritis, dan membela kebenaran. Itu pelajaran yang akan dia bawa jauh lebih lama daripada rumus segitiga sama kaki.

Menggembirakan.
Ini yang sering kita lupakan. Bahwa belajar yang efektif justru terjadi ketika hati gembira.

Anak yang senang belajar akan belajar seumur hidup. Tapi anak yang dipaksa, ditekan, dan terus dibandingkan hanya akan belajar satu hal: bahwa belajar itu menyakitkan.

Sekolah harus menjadi taman, bukan penjara. Tempat anak-anak menemukan dirinya, bukan kehilangan jati dirinya. Tempat di mana rasa ingin tahu dirawat, bukan dimatikan.


Pembelajaran Mendalam adalah ajakan untuk kembali ke niat awal pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar mencetak lulusan.

Ini bukan revolusi yang terjadi dalam semalam, tapi bisa dimulai hari ini—di kelas mana pun, oleh guru mana pun, bahkan oleh orang tua di rumah—asal ada satu syarat: mau berubah.

Inilah 8 Dimensi Manusia Seutuhnya dalam Pendidikan Masa Depan

Dalam dokumen Pembelajaran Mendalam yang disusun oleh para ahli pendidikan negeri ini, ada satu bagian yang membuat saya berhenti membaca dan memejamkan mata sejenak. Bukan karena sulit dipahami, tapi karena terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja: delapan dimensi manusia seutuhnya.

Ini bukan sekadar daftar kompetensi. Ini adalah gambaran tentang manusia yang kita harapkan lahir dari ruang-ruang kelas kita di tahun-tahun mendatang. Bukan sekadar lulusan yang bisa menjawab soal TPS atau menggenggam ijazah bersegel, tapi manusia yang utuh—yang bisa berdiri di tengah dunia yang gaduh, dan tetap tahu ke mana dia melangkah.

Dimensi Spiritual dan Kewargaan

Yang pertama adalah keimanan dan ketakwaan.
Ini bukan soal hafal ayat atau rajin shalat saja, tapi tentang punya jangkar spiritual di tengah badai perubahan. Anak-anak kita akan tumbuh dalam dunia yang lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan: AI, krisis iklim, algoritma, dunia maya yang bisa memutarbalikkan identitas.

Tanpa pegangan yang kokoh—apapun bentuk kepercayaannya—mereka bisa hanyut, atau bahkan kehilangan arah.

Keimanan di sini bukan simbol, tapi sistem navigasi batin. Nilai yang membuat mereka berhenti sebelum menyakiti, berpikir sebelum memutuskan.

Lalu kedua, ada kewargaan.
Ini lebih dari sekadar hafal Pancasila atau bisa menyanyikan lagu kebangsaan. Ini tentang mencintai tanah air tanpa membenci yang lain. Tentang berani mengkritik pemerintah tanpa jadi pembenci negara. Tentang merasa bertanggung jawab atas sampah di sungai dan suara dalam pemilu.

Anak-anak kita harus tumbuh bukan hanya sebagai warga negara, tapi penjaga harapan. Karena negara ini tidak dibangun oleh orang paling pintar, tapi oleh orang yang paling peduli.

Dimensi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif

Penalaran kritis adalah kemampuan yang hari ini terasa makin langka. Ini yang ketiga.
Di era di mana video berdurasi 15 detik bisa membuat jutaan orang percaya hoaks, kemampuan membedah informasi, menganalisis sumber, dan menyaring kebenaran adalah senjata utama.

Kita tidak butuh generasi yang percaya semua yang ia baca, tapi generasi yang bisa bertanya, “Siapa yang menulis ini? Apa motifnya? Apa buktinya?”
Ini bukan soal IQ, tapi soal keberanian untuk berpikir pelan di tengah dunia yang serba cepat.

Keempat, kreativitas tidak bisa lagi dipandang sebagai bonus.
Ia adalah kebutuhan dasar abad ini. Masalah lama seperti kemiskinan, pengangguran, dan krisis pangan membutuhkan solusi baru. Anak-anak kita harus bisa menciptakan, bukan hanya mengulang.

Kreativitas bukan berarti bisa menggambar atau bermain musik saja. Ia bisa muncul dalam cara baru mengatur keuangan keluarga, dalam ide aplikasi yang membantu difabel, dalam skenario baru membangun desa.

Dunia berubah, dan hanya yang kreatif yang bisa bertahan.

Di tengah semua itu, yang kelimakolaborasi menjadi dimensi yang tak terelakkan.
Anak-anak harus belajar bekerja dengan orang yang tidak sepemikiran, tidak sefavorit, bahkan tidak sepemahaman.

Mereka harus bisa menyatukan ide, mendengarkan dengan hormat, dan berbagi kemenangan. Ini lebih dari kerja kelompok di kelas. Ini adalah keterampilan hidup. Karena di dunia nyata, tim kerja tidak selalu seideal kelas eksperimen.

Kolaborasi mengajarkan kita rendah hati: bahwa ide terbaik bukan selalu datang dari kita.

Dimensi Kemandirian, Kesehatan, dan Komunikasi

Yang keenam, kemandirian juga tidak bisa ditawar.
Di tengah dunia serba instan, anak-anak harus belajar bertahan, mengambil keputusan, gagal, lalu bangkit lagi.

Kemandirian bukan berarti egois atau antisosial. Tapi tahu kapan harus bertanya, kapan harus mencoba sendiri. Seorang anak yang mandiri tidak takut sendirian, tapi juga tahu pentingnya meminta bantuan. Ia tidak menunggu disuapi, tapi juga tidak malu mengakui kelemahan.

Tujuh, kesehatan, baik fisik maupun mental, adalah fondasi semua hal lainnya.
Tanpa tubuh yang sehat, otak tidak bisa berpikir jernih. Tanpa mental yang stabil, kreativitas dan kolaborasi hanya jadi wacana.

Kita hidup di tengah generasi yang lebih banyak cemas dibanding generasi sebelumnya. Maka pendidikan tidak bisa lagi hanya tentang isi kepala. Harus ada ruang untuk menenangkan, mengatur napas, mengenali emosi, dan mencintai diri sendiri. Karena bahagia itu tidak diajarkan lewat angka rapor, tapi lewat ruang kelas yang manusiawi.

Dan akhirnya, yang kedelapan, komunikasi.
Kemampuan menyampaikan ide dengan jernih, berani, dan meyakinkan.

Anak-anak kita perlu belajar bukan hanya berbicara, tapi mendengarkan. Bukan hanya menyampaikan, tapi memahami konteks.

Komunikasi yang baik bisa mencegah konflik, membangun kepercayaan, dan membuka pintu kolaborasi. Di dunia kerja, dalam hubungan sosial, bahkan dalam keluarga, kemampuan ini bisa menjadi penentu: apakah seseorang bisa memimpin atau hanya menjadi pengikut.


Bayangkan lulusan seperti ini. Mereka tidak hanya pintar, tapi bijak. Tidak hanya sukses, tapi bahagia. Tidak hanya kompetitif, tapi kolaboratif. Mereka bukan sekadar hasil dari sistem yang mencetak, tapi buah dari ekosistem yang membentuk.

Ini bukan mimpi. Ini peta jalan.
Dan kita sedang berada di persimpangannya.

Taksonomi SOLO: Tangga Bertahap Menuju Pemahaman Mendalam

Dalam dokumen Pembelajaran Mendalam, ada satu istilah yang mungkin terdengar asing di telinga awam: Taksonomi SOLO. Lengkapnya, Structure of Observed Learning Outcomes.

Namanya memang terdengar seperti istilah penelitian pascasarjana. Tapi esensinya sederhana dan sangat manusiawi. Ini adalah cara memahami bagaimana manusia belajar dan berkembang dalam memahami sesuatu.

5 Tahapan Pemahaman: Dari Prastruktural ke Abstrak

Bayangkan anak sedang memanjat tangga. Tangga itu punya lima anak langkah. Setiap langkah menggambarkan kedalaman pemahaman. Bukan soal seberapa banyak yang dia tahu, tapi seberapa dalam ia mengerti, mengolah, dan menggunakan pengetahuan itu dalam hidup.

Anak tangga pertama disebut Prastruktural.
Di sini, siswa belum tahu apa-apa. Ia melihat soal dan tidak tahu harus mulai dari mana. Ia mungkin belum mengenali istilah, belum punya kosakata dasar.
Ibarat orang yang datang ke dapur tapi tidak tahu nama alat-alat masak, apalagi cara menggunakannya. Ini bukan kesalahan mereka, hanya tanda bahwa proses baru akan dimulai.

Langkah berikutnya, Unistruktural.
Di sini siswa mulai tahu satu hal. Ia bisa menjawab satu pertanyaan dengan benar. Misalnya, saat ditanya, “apa ibukota Indonesia?”, ia bisa menjawab “Jakarta”.
Tapi ketika ditanya mengapa Jakarta menjadi ibukota atau bagaimana dampaknya terhadap distribusi ekonomi nasional, ia diam. Ibarat punya satu potong puzzle dan tahu itu gambar sudut, tapi belum tahu bagaimana potongan lain terhubung.

Lalu naik ke Multistruktural.
Di sini siswa tahu beberapa hal sekaligus. Ia bisa menyebutkan provinsi di Indonesia, jenis-jenis tumbuhan, hukum Newton pertama hingga ketiga. Tapi semua itu berdiri sendiri, tidak saling menyambung. Seperti lemari yang dipenuhi banyak buku, tapi tidak pernah dibaca bersilangan. Anak tahu banyak, tapi semua pengetahuan itu masih tercerai berai. Ibarat punya 1000 keping puzzle, tapi belum tahu gambar utuhnya.
Punya bahan lengkap, tapi belum tahu resepnya.

Lompatan besar terjadi saat ia sampai pada tingkat Relasional.
Di sinilah siswa mulai mengaitkan potongan-potongan itu menjadi pemahaman. Ia tidak hanya tahu hukum Newton dan kecepatan benda, tapi bisa menjelaskan mengapa sabuk pengaman bisa menyelamatkan nyawa. Ia bisa menjelaskan hubungan antara perubahan iklim dengan konsumsi listrik di rumah.
Ia mulai melihat keterkaitan, pola, dan logika di balik fakta-fakta. Belajar bukan lagi soal hafal, tapi soal menghubungkan.

Dan akhirnya, Abstrak Mendalam—tingkat tertinggi.
Di sini siswa tidak hanya paham, tapi bisa menciptakan. Ia bisa menggunakan pengetahuan untuk menyusun hal baru, membuat solusi untuk masalah yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.
Seorang siswa di level ini tidak hanya mengerti rumus luas bangun datar, tapi bisa merancang tenda hemat bahan untuk korban bencana. Ia tidak hanya tahu teori pasar bebas, tapi bisa menganalisis dampaknya terhadap petani lokal dan menyusun strategi pemberdayaan desa. Ini bukan soal menjadi pintar dalam ujian, tapi menjadi relevan dalam kehidupan.

Mengapa Anak Kita Masih Berada di Tangga Bawah?

Sayangnya, sebagian besar anak Indonesia masih berkutat di tangga kedua dan ketiga. Mereka tahu fakta, tapi tidak tahu maknanya. Mereka bisa menjawab, tapi tidak bisa menjelaskan. Mereka hafal, tapi tidak bisa menjabarkan.

Pendidikan kita masih terlalu sibuk mengisi kepala, belum membiasakan mengolah isinya.

Sementara itu, anak-anak di negara seperti Singapura atau Finlandia, banyak yang sudah mencapai tangga keempat bahkan kelima. Karena dari awal mereka diajak bertanya “mengapa?”, bukan hanya “apa”. Mereka diajak menganalisis, bukan sekadar mengulang. Mereka diajak bermain dengan konsep, bukan terjebak dalam definisi.

Perbedaan ini bukan karena kita bodoh, tapi karena sistem kita terlalu lama mengukur tinggi anak dari seberapa cepat dia menghafal, bukan seberapa dalam dia mengerti. Dan Taksonomi SOLO adalah cermin yang jujur—yang menunjukkan kepada kita: di mana posisi anak-anak kita, dan sejauh apa mereka masih harus naik.

Tugas kita adalah memastikan setiap anak bisa menaiki tangga itu, langkah demi langkah. Dengan sabar, dengan sistem yang mendukung, dan dengan kepercayaan bahwa setiap anak mampu mencapai puncaknya—asal kita tidak memotong tangganya hanya karena ingin cepat.

Guru Adalah Jantung Sistem, Tapi Mereka Terluka

Di atas kertas, guru disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Garda terdepan revolusi pengetahuan. Di spanduk Hari Guru, mereka disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi di balik itu, banyak dari mereka adalah pahlawan yang terluka dalam diam.

Realitas di lapangan jauh dari romantisme selebaran seminar. Banyak guru masih menerima gaji yang bahkan tidak cukup untuk menyekolahkan anak mereka di tempat mereka sendiri mengajar. Beban administrasi yang menumpuk membuat mereka lebih sering menulis laporan daripada menyusun skenario pembelajaran. Ketika malam tiba, sebagian dari mereka menyingsingkan lengan bukan untuk membaca materi esok hari, tapi untuk menjadi pengemudi ojek online, kurir, atau penjaga toko demi menambah penghasilan.

Ironis memang. Kita berharap guru membentuk manusia yang tangguh, sementara mereka sendiri tidak diberi kekuatan yang cukup untuk bertahan. Kita ingin guru menciptakan ruang kelas yang menggembirakan, tapi sistem yang menaungi mereka justru penuh tekanan dan ketidakpastian.

Aktivator, Kolaborator, dan Culture Builder: Tugas Besar yang Terlupakan

Dalam dokumen Pembelajaran Mendalam, guru disebut bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai activator, collaborator, dan culture builder. Istilahnya elegan. Tugasnya besar. Tapi ketika guru masih sibuk memikirkan cicilan motor, bagaimana mungkin mereka sempat membangun budaya inovatif?

Mari kita telaah satu per satu.

Sebagai activator, guru bukan lagi pusat jawaban, tapi pemantik pertanyaan. Dulu, guru dianggap hebat ketika bisa menjelaskan panjang lebar satu topik hingga murid hanya bisa mencatat dengan kagum. Tapi sekarang, yang dibutuhkan adalah guru yang tahu cara menyalakan rasa ingin tahu.

Seorang guru hebat bukan yang membuat murid mengangguk diam, tapi yang membuat mereka bertanya dan bertanya lagi.

“Mengapa Jakarta selalu banjir setiap musim hujan?” jauh lebih menggelitik daripada “Hapalkanlah penyebab banjir: satu, dua, tiga.” Anak yang mendapat jawaban mungkin akan lupa dalam seminggu. Tapi anak yang menemukan jawabannya sendiri akan mengingatnya seumur hidup.

Sebagai collaborator, guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Di zaman Google dan ChatGPT, siswa seringkali tahu hal-hal yang belum sempat dibaca guru. Maka guru yang baik bukan yang berpura-pura tahu segalanya, tapi yang bisa berkata jujur, “Bapak juga penasaran. Yuk kita cari tahu sama-sama.” Guru yang mau belajar bersama bukan menunjukkan kelemahan, tapi justru memberi teladan paling kuat: bahwa belajar adalah proses seumur hidup.

Saya pernah menyaksikan seorang guru olahraga yang belajar membuat podcast bersama siswanya. Ia bahkan minta diajari editing audio oleh murid kelas 10. Alih-alih merasa malu, ia mengatakan, “Bapak belum bisa, tapi bapak ingin bisa.” Kalimat sederhana itu mencairkan jarak, membangun kepercayaan, dan menyuburkan rasa saling belajar.

Sebagai culture builder, guru membentuk atmosfer kelas yang menentukan apakah belajar itu menyenangkan atau menakutkan.

Bayangkan dua ruang kelas. Yang pertama sunyi, tegang, penuh aturan. Anak duduk diam, tak berani salah. Yang kedua ramai dengan diskusi, tawa, dan eksperimen. Anak bebas mengungkap pendapat, dan ketika salah, mereka dibantu untuk memahami—bukan dipermalukan. Di kelas yang kedua, pembelajaran terjadi. Karena rasa aman adalah pupuk bagi keberanian berpikir.

Bagaimana Sistem Membebani, Bukan Membebaskan Guru?

Tapi bagaimana guru bisa membangun budaya belajar yang positif kalau budaya kerja mereka sendiri penuh luka? Bagaimana mereka bisa menyalakan semangat kalau setiap bulan cemas menunggu tunjangan yang tak kunjung cair? Bagaimana bisa mereka mengajak siswa berani salah, kalau mereka sendiri dihukum karena berbeda metode?

Kita tak bisa berharap keajaiban di ruang kelas jika guru terus diperlakukan sebagai roda pelengkap, bukan sebagai jantung perubahan. Pendidikan tidak akan maju lebih cepat dari cara kita memperlakukan guru. Mereka bukan alat negara. Mereka adalah penjaga mimpi anak-anak. Dan jika kita membiarkan mereka terus terluka, maka jangan heran kalau generasi selanjutnya tumbuh tanpa arah.

Guru bukan pahlawan karena mereka sanggup bekerja tanpa pamrih. Mereka pahlawan karena tetap memilih mencintai, meski terus diabaikan.

Tapi cinta yang tak pernah ditumbuhkan akan layu juga. Dan ketika itu terjadi, kehilangan terbesar bukan pada guru—tapi pada anak-anak kita, yang kehilangan satu-satunya kompas yang bisa mereka percaya.

Peta Jalan 2025–2045: Harapan Nyata atau Ilusi Lama?

Pemerintah menyusun sebuah dokumen yang terlihat begitu rapi: Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025–2045.

Ia memuat tahapan yang sistematis, strategi yang terdengar masuk akal, dan visi yang nyaris utopis. Kalimat-kalimat di dalamnya dirancang untuk membuat kita percaya bahwa perubahan besar sedang disiapkan. Bahwa pendidikan akan menjadi tangga utama menuju Indonesia Emas 2045.

Transformasi Peran Guru yang Hanya Ada di Dokumen?

Saya tidak menyangkal niat baik di balik dokumen ini. Tapi saya juga sudah pernah membaca peta jalan pendidikan sebelum-sebelumnya. Setiap kurikulum datang dengan jargon baru dan presentasi PowerPoint yang meyakinkan.

Tapi ketika saya kembali ke sekolah — sebagai murid dulu, sebagai praktisi sekarang—saya menemukan kenyataan yang tak jauh berbeda. Ruang kelas masih dibentuk untuk menampung keheningan, bukan dialog. Guru masih menjadi pusat informasi, bukan fasilitator proses berpikir.

Salah satu janji paling mengilap dalam peta jalan ini adalah transformasi peran guru. Guru tidak lagi sekadar penyampai materi, tapi fasilitator pembelajaran. Bukan diktator yang menentukan semua, tapi mentor yang menemani pencarian makna. Indah di atas kertas. Tapi apakah gurunya sudah siap?

Sistem yang Masih Menyukai Administrasi daripada Proses Belajar

Kemarin, saya sempat ngobrol dengan seorang teman yang kini menjabat sebagai direktur sebuah sekolah. Ia meringis ketika saya tanya soal kesiapan guru menghadapi pembelajaran berbasis HOTS. “Pak,” katanya pelan, “guru-guru kami masih bingung bedain LOTS sama HOTS. Gimana mau jadi fasilitator?” Lalu ia diam sebentar, sebelum menambahkan dengan jujur, “Dan itu bukan karena mereka tidak mau belajar. Tapi karena tidak pernah ada sistem yang membekali mereka dengan pemahaman yang utuh.”

Ini bukan soal kemalasan guru. Ini soal sistem yang sejak awal lebih suka menuntut ketuntasan administrasi daripada pertumbuhan pedagogis. Guru dinilai dari seberapa cepat dia upload RPP, bukan seberapa besar dia membangkitkan rasa ingin tahu muridnya. Jadi kalau hari ini kita minta guru berubah peran secara total, tapi tidak diberi bekal, pelatihan, dan ruang untuk gagal, itu namanya bukan transformasi—itu jebakan.

Dunia Berubah Cepat, Sekolah Masih Diam di Tempat

Dan di saat yang sama, dunia luar sedang berubah lebih cepat dari yang bisa kita tulis dalam kurikulum.

Megatren Global: Dari AI sampai Urbanisasi

Bayangkan dunia sebagai laut yang makin hari makin bergelombang. Perubahan iklim membuat pertanian bergeser, bencana jadi lebih sering. Urbanisasi menciptakan kota-kota padat yang menuntut solusi cerdas. Kecerdasan buatan menggantikan pekerjaan manusia satu per satu, terutama pekerjaan yang bersifat rutin dan bisa diotomatisasi.

Anak-anak kita harus siap menghadapi gelombang ini. Tapi sekolah-sekolah kita masih mengajar mereka berenang di kolam renang dangkal. Airnya tenang, tapi tidak pernah cukup untuk menguji kemampuan bertahan mereka di laut lepas.

Mereka diajarkan menghitung kembalian dari pembelian di warung, padahal 10 tahun lagi, sistem self-checkout akan menggantikan kasir dan semua transaksi berlangsung digital. Sekolah masih sibuk mengejar format soal ujian nasional, padahal dunia sudah menuntut format jawaban yang tak punya satu kunci.

Saya tidak sedang menolak pentingnya belajar menghitung manual. Itu tetap penting sebagai fondasi. Tapi apa gunanya tahu rumus jika anak tidak diajari berpikir logis, mengambil keputusan, dan beradaptasi dalam situasi yang tidak pernah mereka temui sebelumnya?

Pendidikan Masih Mengajar Kolam, Padahal Dunia Sudah Laut Lepas

Pendidikan seharusnya tidak menciptakan mesin hitung, tapi manusia yang bisa menavigasi kompleksitas.

Dan di sinilah ironi muncul.

Kita tahu dunia berubah. Kita tahu profesi lama banyak yang akan punah. Tapi sistem kita tetap sibuk membenahi meja, bukan mempersiapkan kapal. Dan yang lebih menyedihkan: anak-anak kita tahu itu. Mereka merasakannya. Mereka tahu apa yang mereka pelajari hari ini, besok bisa usang. Tapi mereka tetap duduk diam, menjawab soal, lalu pulang dengan hati yang pelan-pelan mengering.

Ekosistem Pendidikan Kita Retak, Siapa yang Akan Menyatukan?

Pendidikan tidak hidup dalam ruang vakum. Ia adalah tanaman yang hanya bisa tumbuh dalam tanah yang subur. Dan tanah itu adalah ekosistem. Keluarga, masyarakat, pemerintah, dunia usaha—semuanya adalah bagian dari ekosistem yang menentukan apakah bibit belajar yang ditanam akan tumbuh, layu, atau dibabat sebelum sempat mekar.

Sayangnya, ekosistem kita retak di mana-mana.

Peran Orang Tua, Pemerintah, dan Dunia Usaha yang Harus Dirombak

Keluarga masih melihat keberhasilan anak dari ranking di rapor, bukan dari karakter atau kemampuan memecahkan masalah. Padahal anak yang jujur, tahan banting, dan bisa bekerja sama sering kali justru dianggap “biasa-biasa saja” hanya karena nilainya tidak sempurna.

Masyarakat kita masih menaruh harga diri pada gelar dan profesi akademik. Seorang anak yang ingin jadi chef atau penata panggung masih dianggap ‘kurang pintar’ dibanding yang kuliah teknik sipil atau kedokteran.

Pemerintah masih terjebak dalam birokrasi yang lambat bergerak. Dana pendidikan digelontorkan, tapi tak selalu sampai ke guru yang paling membutuhkan. Kebijakan berubah setiap ganti pejabat, seolah anak-anak kita bisa disesuaikan dengan musim politik. Dan swasta? Mereka bicara soal kontribusi, tapi sering kali hanya berhenti di CSR berbentuk pelatihan sekali pakai. Padahal dunia usaha punya potensi luar biasa untuk ikut membentuk pendidikan—jika mereka benar-benar melihat ini sebagai investasi, bukan hanya donasi.

Kita semua bicara tentang perubahan. Tapi siapa yang mau berubah duluan?
Siapa yang berani memulai bukan dari tumpukan rencana, tapi dari langkah konkret yang kecil?

Pendidikan bukan soal menyalahkan siapa. Ia adalah soal menyadari bahwa perubahan butuh kolaborasi, dan kolaborasi tidak akan lahir tanpa keberanian untuk melepaskan ego masing-masing.

Jika kita terus berjalan di ekosistem yang sama tapi berharap hasil berbeda, itu bukan strategi. Itu ilusi. Dan generasi muda kita layak mendapat lebih dari sekadar ilusi.

Kolaborasi Nyata, Bukan Sekadar MoU dan Seremonial

Tak ada bangsa yang berhasil membangun sistem pendidikan unggul dengan berdiri sendiri. Bahkan negara-negara yang hari ini sering kita kagumi, seperti Singapura, Korea Selatan, atau Estonia, tak pernah berjalan sendirian. Mereka justru berhasil karena tahu satu hal yang mendasar: bahwa pendidikan bukan urusan satu kementerian, satu sekolah, atau satu generasi.

Pendidikan adalah urusan semua orang. Dan hanya jika semua tangan saling menjabat, perubahan bisa digerakkan.

Singapura, misalnya, dengan segala keterbatasan lahannya, membangun jembatan akademik dengan universitas terbaik dunia seperti MIT dan Cambridge. Mereka tak malu belajar, bahkan dari negara yang lebih kecil sekalipun, asalkan itu membantu anak-anak mereka berpikir global.

Korea Selatan, yang bangkit dari reruntuhan perang, menjalin kemitraan erat dengan industri teknologi sejak awal. Mereka tidak menunggu pendidikan siap dulu baru berinovasi—mereka mengembangkan pendidikan bersama inovasi.

Estonia, negara kecil di Eropa Timur, memilih membuka pintu bagi para pakar internasional untuk menyempurnakan sistem mereka. Mereka sadar, pendidikan adalah produk lintas batas, dan ilmu tidak punya paspor.

Sementara itu, Indonesia masih sibuk mencari siapa yang salah saat hasil tak sesuai harapan. Kita saling tunjuk, saling menyalahkan: guru tak siap, orang tua kurang peduli, pemerintah lamban, siswa malas.

Padahal, tak satu pun dari mereka bisa disebut akar masalah, karena semua adalah bagian dari satu jaringan. Jika satu simpul lemah, seluruh jaringan akan rapuh. Transformasi pendidikan tidak bisa diserahkan hanya pada guru. Itu seperti menyuruh satu pemain menjaga seluruh lapangan. Sistem akan kelelahan, dan hasilnya stagnan.

Pendidikan yang dalam dan bermakna hanya bisa tumbuh jika seluruh ekosistem bekerja bersama.

Kementerian Pendidikan bukan sekadar pembuat kurikulum, tapi arsitek besar yang menciptakan ruang kebijakan yang mendukung, bukan yang membebani.
Bayangkan seorang guru yang ingin mencoba metode baru—misalnya, membiarkan murid belajar sejarah melalui pembuatan film pendek. Apakah sistem memberi ruang? Atau justru memberatkan dengan laporan, asesmen, dan format yang harus diseragamkan?

Dinas Pendidikan di daerah bukan sekadar perpanjangan tangan pusat, tapi harus menjadi jembatan yang mampu menerjemahkan kebijakan nasional ke dalam konteks lokal. Jangan samakan metode pembelajaran di kota besar dengan desa pegunungan. Di satu tempat mungkin internet cepat adalah standar. Di tempat lain, sinyal WhatsApp saja masih harus dicari di balik pohon mangga. Maka dinas harus fleksibel, bukan kaku; mendukung, bukan membebani.

Satuan pendidikan atau sekolah adalah titik ujung di mana semua rencana besar diuji dalam kenyataan. Di sinilah Pembelajaran Mendalam seharusnya hidup—bukan sebagai jargon, tapi sebagai napas sehari-hari. Tapi ia tidak bisa hidup sendiri. Tanpa dukungan kebijakan, pelatihan guru, dan pemahaman orang tua, Pembelajaran Mendalam hanya akan menjadi spanduk di depan gerbang sekolah.

Masyarakat dan orang tua punya peran yang sering tak terlihat tapi sangat menentukan. Anak-anak membawa beban ekspektasi bukan dari sekolah, tapi dari rumah. Mereka didorong mengejar nilai rapor, bukan nilai hidup. Saat orang tua mulai bertanya “Apa yang kamu pelajari hari ini?” bukan “Berapa nilaimu?”, saat itulah ekosistem mulai berubah. Saat masyarakat mulai menghargai kejujuran lebih dari kelulusan cepat, saat itulah sekolah tidak lagi berdiri sendiri.

Dan dunia usaha—entitas yang selama ini berdiri agak jauh dari sekolah—sebenarnya punya kekuatan besar untuk mempercepat revolusi pendidikan. Bayangkan siswa SMA belajar matematika bukan hanya dari buku, tapi dari praktik nyata membantu UMKM di lingkungannya membuat laporan keuangan. Mereka tidak hanya tahu rumus laba rugi, tapi mengerti mengapa cash flow adalah urat nadi bisnis. Bayangkan pelajaran bahasa disampaikan lewat proyek menulis iklan untuk produk lokal. Atau pelajaran sains yang digabungkan dengan kegiatan mendesain kemasan ramah lingkungan.

Itulah pendidikan yang hidup—yang tidak terjebak di papan tulis, tapi menempel di kehidupan.

Namun, semua ini hanya akan jadi skenario indah jika kemitraan hanya berhenti di MoU. Kita terlalu sering melihat acara seremoni kerja sama: foto bersama, press release, pidato inspiratif—lalu setelah itu, hilang arah.

Kolaborasi bukan sekadar tanda tangan, tapi kerja bareng. Duduk di meja yang sama, mendengarkan yang biasanya tak bersuara, dan berani mengambil keputusan yang tidak populer demi perubahan yang perlu.

Kemitraan sejati adalah ketika seorang kepala sekolah, perwakilan dinas, orang tua, dan pelaku usaha bisa duduk satu meja dan membicarakan satu hal: masa depan anak-anak. Bukan demi proyek, bukan demi anggaran, tapi demi hidup yang lebih layak untuk generasi mendatang.

Jika kita tidak belajar bekerja sama sekarang, maka kita akan belajar bersama menanggung akibatnya nanti. Dan saat itu tiba, mungkin sudah terlalu terlambat untuk menyesal.

Tantangan Implementasi: Saat Ide Bagus Terhambat di Lapangan

Tidak ada ide yang terlalu besar untuk Indonesia, tapi terlalu sering kita terlalu cepat percaya bahwa perubahan akan berjalan sendiri. Padahal, ide bagus di atas kertas belum tentu mulus di lapangan.

Jarak antara dokumen strategi dan praktik sehari-hari di kelas itu seperti jarak antara pusat kota dan desa terpencil: bisa dicapai, tapi penuh lubang, tanjakan, dan kadang jembatan yang belum dibangun. Karena itu, sebelum bicara sukses, kita harus belajar jujur.

Jujur pada tantangan, jujur pada kenyataan.

Mentalitas Lama: “Dulu Saya Juga Sekolah Begitu…”

Salah satu hambatan paling sulit bukan teknologi, bukan dana, tapi cara berpikir.

Resistensi terhadap perubahan sering kali muncul dalam bentuk kalimat yang terdengar sederhana, tapi berdampak panjang, “Dulu saya sekolah pakai sistem lama, berhasil juga kok.”

Kalimat ini terdengar seperti nostalgia, padahal sering jadi batu sandungan.

Ia membuat kita bertahan pada kenyamanan lama, menolak bertanya: berhasil dalam hal apa? Apakah keberhasilan yang kita maksud hanya sebatas lulus dan bekerja? Atau menjadi manusia yang berpikir mandiri, bijak, dan mampu hidup dalam dunia yang tak menentu?

Mindset ini mengakar karena kita jarang diajak mengevaluasi masa lalu secara kritis.

Maka perubahan butuh lebih dari program pelatihan—ia butuh kampanye budaya. Ajakan besar-besaran untuk melihat bahwa dunia telah berubah, dan pendidikan tidak bisa terus berjalan dengan kacamata tahun 1980.

Keterbatasan Sumber Daya Bukan Alasan untuk Diam

Masalah lainnya adalah keterbatasan sumber daya. Bukan semua sekolah bisa punya laboratorium canggih, koneksi internet stabil, atau guru-guru berijazah luar negeri. Tapi justru di sinilah kita harus belajar membedakan antara sarana dan semangat.

Pembelajaran mendalam tidak selalu butuh teknologi canggih. Ia butuh guru yang punya kemauan untuk berubah, kepala sekolah yang memberi ruang untuk mencoba, dan sistem yang memberi izin untuk gagal.

Di banyak daerah, saya melihat guru-guru luar biasa yang mengajar dengan papan tulis kusam, tapi berhasil membuat anak-anaknya berpikir, bertanya, dan tertawa. Mereka memulai dari apa yang ada. Dan justru karena keterbatasan itu, mereka jadi kreatif.

Mengubah Cara Belajar = Mengubah Cara Menilai

Tantangan lain datang dari tekanan ujian dan sistem seleksi masuk perguruan tinggi.

Menghapus Dominasi LOTS dari Ujian Nasional

Selama asesmen nasional, SNBP, dan UTBK masih menilai kemampuan berpikir rendah (LOTS), maka sekolah pun akan terus melatih anak-anak menjawab soal yang bisa ditebak. Padahal dunia di luar sekolah tidak bisa ditebak. Akibatnya, guru terjebak: ingin mengajar berpikir kritis, tapi harus mengejar skor. Ingin membuat proyek lintas pelajaran, tapi waktu habis untuk drill soal. Ini bukan salah guru—ini sistem yang belum berani menyesuaikan.

Maka reformasi asesmen nasional menjadi hal paling mendesak: mengukur pemahaman, bukan hafalan; menguji proses, bukan hanya hasil akhir.

Dan jika kita serius ingin mengubah cara belajar, maka kita juga harus mengubah cara mengukur. Saatnya kita tinggalkan model asesmen tunggal yang hanya memberi angka. Dunia sudah bergerak ke asesmen autentik—cara menilai yang lebih mendekati kehidupan nyata.

Asesmen Autentik: Dari Portofolio sampai Self-Reflection

Bayangkan seorang siswa yang selama satu semester membuat portofolio digital: kumpulan esai, hasil proyek, video presentasi, dan jurnal refleksi. Inilah cara menilai pembelajaran sebagai proses, bukan peristiwa sesaat. Portofolio ini bukan hanya dokumen, tapi cermin dari perkembangan berpikir dan bertindak.

Atau bayangkan siswa yang diminta mempresentasikan solusi masalah lingkungan di daerahnya, di depan kepala desa. Ia tidak hanya belajar menulis laporan, tapi juga merumuskan argumen, mempresentasikan ide, dan menerima pertanyaan sulit. Inilah yang disebut performance assessment. Penilaian yang terjadi dalam dunia nyata, bukan ruang ujian yang steril.

Di sisi lain, kita juga bisa melibatkan siswa dalam peer assessment—saling memberi umpan balik terhadap karya teman. Di sini mereka belajar bukan hanya menilai, tapi mendengarkan, berempati, dan memberi kritik yang membangun. Sebuah soft skill yang bahkan banyak orang dewasa belum kuasai.

Yang terpenting, kita latih mereka untuk menilai diri sendiri: self-reflection. Bukan sekadar, “Nilai saya berapa?”, tapi, “Apa yang sudah saya pahami? Apa yang masih membingungkan? Apa langkah saya berikutnya?”

Refleksi ini adalah inti dari pembelajaran mendalam: sadar, jujur, dan bertumbuh.

Inspirasi Nyata dari Negara yang Berhasil

Kalau kita bingung harus mulai dari mana, mari kita lihat inspirasi dari negara lain.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Singapura, Vietnam, Finlandia, dan Estonia?

Negara kecil seperti Singapura menunjukkan bahwa ukuran wilayah tidak membatasi ukuran ambisi. Mereka berinvestasi besar dalam pelatihan guru, merancang kurikulum yang fleksibel, dan membangun budaya meritokrasi yang sehat. Bukan karena mereka lebih pintar, tapi karena mereka lebih konsisten.

Vietnam memberi pelajaran penting: bahwa sejarah kelam bukan hambatan untuk masa depan cerah. Mereka menjalankan reformasi pendidikan dengan konsisten selama lebih dari dua dekade. Fokusnya bukan gedung megah, tapi martabat guru. Guru dihormati bukan hanya dalam pidato, tapi dalam kebijakan.

Estonia bahkan membuktikan bahwa digitalisasi bisa dimulai sejak dini tanpa kehilangan makna pembelajaran. Mereka memberi otonomi besar pada guru dan sekolah, karena mereka percaya bahwa yang tahu kebutuhan anak bukan birokrat di ibu kota, tapi guru di kelas.

Dan Finlandia? Mereka mengajarkan kita satu hal: bahwa “less is more”. Mereka memotong jumlah jam pelajaran, menghapus ujian nasional sampai anak usia 16 tahun, dan memprioritaskan kesejahteraan siswa serta guru. Hasilnya? Pendidikan mereka menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Kita tentu tidak bisa meniru semua itu secara mentah. Tapi kita bisa belajar menyesuaikan. Kita bisa mengadopsi nilai-nilainya, lalu merancang sistem yang sesuai dengan karakter dan tantangan Indonesia.

Revolusi Dimulai dari Tindakan Kecil

Tapi semua inspirasi itu akan percuma jika tidak diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dan revolusi pendidikan tidak harus dimulai dari gedung kementerian. Ia bisa dimulai dari ruang kelas, dari meja makan di rumah, dari keputusan kecil yang berani dilakukan hari ini.

Peran Guru, Orang Tua, Pemerintah, dan Swasta dalam Aksi Nyata

Seorang guru bisa mulai dengan satu perubahan sederhana: buka pelajaran dengan pertanyaan, bukan pernyataan. Ganti kalimat “Hari ini kita akan belajar tentang…” menjadi “Kenapa ya sekarang makin banyak orang stres di usia muda?” Pertanyaan seperti itu membuka pintu diskusi, rasa ingin tahu, dan keterlibatan.

Orang tua bisa berhenti bertanya “Berapa nilaimu?” dan mulai bertanya, “Apa yang kamu pelajari hari ini?” Sebuah perubahan kecil yang bisa menggeser fokus dari angka ke makna. Dan ketika anak bercerita dengan semangat, kita tahu: proses sedang terjadi.

Pemerintah bisa mulai dengan memangkas materi kurikulum yang tidak esensial. Tidak semua harus diajarkan, tapi yang diajarkan harus dipahami. Lalu alokasikan anggaran pelatihan bukan hanya untuk sosialisasi, tapi untuk pendampingan nyata. Bukan satu kali pelatihan, tapi ekosistem belajar untuk guru.

Swasta bisa berhenti melihat pendidikan sebagai tanggung jawab sosial saja. Mereka bisa menciptakan program magang bermakna, berinvestasi dalam riset pendidikan, dan mengembangkan teknologi yang terjangkau. Karena anak-anak hari ini adalah tenaga kerja esok. Dan pendidikan yang baik bukan hanya membentuk murid yang pintar, tapi pasar kerja yang sehat.

Akhirnya, semua kembali ke kesediaan untuk mulai. Bukan dengan rencana besar yang tertunda, tapi langkah kecil yang dilakukan hari ini juga. Karena perubahan tidak datang dari langit. Ia datang dari manusia yang percaya bahwa masa depan bisa dibentuk—dan mau kotor tangan untuk membentuknya.

Bagaimana Kita Tahu Pendidikan Kita Sudah Berubah?

Pendidikan sering jadi medan janji. Setiap tahun ajaran baru, setiap pidato resmi, selalu terdengar tekad yang sama, “Kita harus memperbaiki mutu pendidikan.”

Tapi tekad tidak cukup.

Seperti dalam hidup, kita butuh cermin untuk tahu apakah kita sudah bergerak maju, atau hanya berputar-putar di tempat yang sama dengan wajah baru.

Pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa transformasi ini berhasil? Apa tanda bahwa Pembelajaran Mendalam bukan sekadar jargon, tapi sudah meresap ke dinding kelas dan cara berpikir anak-anak kita?

Jawabannya tidak bisa kita simpulkan dari satu angka tunggal.

Indikator Akademik, Sosial-Emosional, dan Inovasi

Skor PISA memang penting, tapi bukan satu-satunya indikator. Kita perlu cermin yang lebih jujur dan lebih holistik. Karena pendidikan bukan hanya soal angka—tapi soal manusia yang tumbuh.

Mari kita mulai dari yang paling kelihatan: aspek akademik.

Skor PISA tetap relevan sebagai tolok ukur global. Negara-negara dengan skor PISA tinggi biasanya menunjukkan sistem pendidikan yang berhasil mendorong siswa berpikir kritis, memecahkan masalah, dan memahami informasi secara mendalam.

Tapi kita tidak boleh puas hanya dengan naik beberapa angka. Kita harus melihat ke dalam: apakah lebih banyak siswa kita yang bisa menyentuh soal-soal level HOTS? Apakah mereka hanya hafal rumus, atau bisa menjelaskan mengapa rumus itu penting dalam kehidupan nyata?

Bayangkan seorang anak yang bukan hanya bisa menyebut hukum Newton, tapi bisa menjelaskan mengapa sabuk pengaman menyelamatkan nyawa. Itu baru indikator keberhasilan sesungguhnya: ketika pengetahuan bertemu makna, bukan hanya skor tinggi di lembar jawaban.

Selain akademik, pendidikan juga harus mampu menumbuhkan kecerdasan sosial-emosional.

Di sinilah wajah asli sekolah terlihat. Apakah ruang kelas kita masih penuh tekanan, kompetisi berlebihan, dan ketakutan akan nilai jelek? Atau sudah menjadi tempat di mana siswa merasa aman, didengar, dan didukung?

Indikator sosial-emosional bisa dilihat dari penurunan kasus bullying. Dari makin banyaknya siswa yang berani bicara tentang perasaannya. Dari meningkatnya program kesehatan mental di sekolah. Tapi lebih dari itu, dari makin banyaknya anak yang mampu menunjukkan empati dan kolaborasi—yang tidak hanya ingin menang sendiri, tapi belajar tumbuh bersama.

Saya pernah mendengar program di sebuah SMP di Yogyakarta, di mana setiap pekan siswa diminta menulis “surat empati” untuk temannya yang sedang menghadapi kesulitan. Tidak ada nilai rapor untuk ini. Tapi suasana kelas berubah: dari tempat saling saing, menjadi tempat saling sayang. Itulah pembelajaran mendalam yang tak bisa diukur dengan ujian, tapi terasa dalam suasana.

Mengukur dengan Cerita, Bukan Sekadar Angka

Lalu bagaimana dengan kreativitas dan inovasi?
Ini adalah dimensi yang sering diabaikan karena tidak mudah diukur. Tapi justru di sinilah masa depan ditentukan. Anak-anak kita harus diajak tidak hanya menjawab soal, tapi menciptakan pertanyaan baru. Mereka harus dilatih bukan hanya untuk mengisi formulir, tapi membayangkan dunia yang lebih baik dan membuat prototipenya.

Jumlah paten yang dihasilkan siswa dan guru bisa menjadi indikator.

Tapi jangan hanya berhenti pada teknologi tinggi. Karya seni, film pendek, puisi, desain pakaian, hingga game edukatif yang diciptakan oleh anak-anak juga menunjukkan kemajuan.
Begitu juga dengan startup kecil yang dirintis alumni SMK untuk membantu nelayan menjual hasil tangkapan secara daring.

Inovasi tidak harus canggih, tapi harus berdampak.

Indikator lain yang tidak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat. Pendidikan yang tumbuh dalam isolasi akan kering dan rapuh. Tapi jika ia tumbuh dalam tanah yang subur oleh dukungan komunitas, ia akan kuat dan relevan.

Lihatlah sekolah-sekolah yang membuka diri untuk kolaborasi. Yang mengundang orang tua bukan hanya saat bagi rapor, tapi juga saat ada proyek lingkungan, diskusi parenting, atau pelatihan digital.

Sekolah yang bekerja sama dengan industri lokal untuk menyediakan magang, bukan hanya untuk anak SMK, tapi juga siswa SMP yang ingin tahu cara kerja dunia nyata. Sekolah yang ikut menyumbangkan solusi bagi masalah komunitas: dari pengelolaan sampah, hingga pencegahan stunting.

Ketika sekolah dan masyarakat saling menumbuhkan, anak-anak akan merasa bahwa belajar bukan hanya untuk ujian, tapi untuk hidup. Dan saat itu terjadi, kita tidak butuh lagi indikator formal—karena perubahan sudah terasa dalam sikap, dalam cara bicara, dalam cara anak-anak kita menatap masa depan.

Mengukur keberhasilan pendidikan adalah mengukur denyut kehidupan sebuah bangsa. Dan satu-satunya cara kita bisa jujur pada hasil adalah jika kita juga jujur pada proses.

Maka mari kita mulai dari yang sederhana: bukan hanya melihat angka, tapi juga mendengar cerita. Karena cerita anak-anak di ruang kelas, guru-guru di ruang guru, dan orang tua di meja makan—adalah indikator paling jujur dari kemajuan yang sebenarnya.

Teknologi dalam Pendidikan: Solusi atau Disorientasi?

Teknologi dalam pendidikan adalah seperti pisau dapur: bisa digunakan untuk mengiris sayur, bisa juga melukai jika tak hati-hati. Pisau itu bukan masalahnya—cara memegang dan menggunakannyalah yang menentukan.

Maka ketika dokumen Peta Jalan Pendidikan 2025–2045 menyebut teknologi digital sebagai bagian penting dari transformasi pendidikan, saya mengangguk. Tapi saya juga menahan napas.

AI, VR, dan Platform Digital: Ketika Guru Tetap Jadi Pilot

Kita terlalu sering menyamakan “pakai teknologi” dengan “maju.” Padahal teknologi, kalau tidak didampingi kebijaksanaan, bisa jadi bencana.

Proyektor di ruang kelas tak serta-merta membuat pelajaran jadi interaktif. Laptop di tangan anak tak otomatis membuat mereka berpikir kritis. Bahkan internet cepat pun bisa jadi pintu masuk distraksi, bukan inspirasi—kalau tidak ada arah yang jelas.

Satu hal yang perlu dipahami sejak awal: teknologi adalah katalisator, bukan aktor utama. Ia mempercepat, memperluas, memperdalam. Tapi ia tidak bisa menggantikan kehangatan tatapan guru, tidak bisa meniru sabar dan empati manusia di depan kelas.

Guru tetaplah jantung pembelajaran, dan teknologi hanyalah alat bantu untuk membuat detaknya lebih kuat.

Mari bayangkan bagaimana teknologi, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi sekutu dalam revolusi pendidikan.

Artificial Intelligence (AI)

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bisa menjadi asisten pintar, bukan pengganti guru. Ia bisa membantu menyusun soal-soal berbasis HOTS yang bervariasi dan kontekstual.

Guru tidak perlu mengulang-ulang membuat format soal; cukup arahkan sistem, dan AI bisa menyesuaikan berdasarkan tingkat kemampuan siswa.
AI juga bisa memberikan feedback real-time terhadap jawaban siswa—bukan hanya salah atau benar, tapi menjelaskan letak kekeliruan, memberikan petunjuk, bahkan merekomendasikan materi penguatan.

Lebih jauh, AI bisa memetakan pola belajar siswa secara personal. Seorang anak yang lemah di konsep pecahan, tapi unggul di pemecahan masalah, akan diberikan pendekatan belajar yang sesuai.

Ini bukan khayalan. Ini sudah bisa dilakukan sekarang—asal datanya tersedia dan sistemnya mendukung. Tapi teknologi ini hanya berguna kalau guru tetap menjadi pilot. AI tidak bisa menggantikan intuisi guru ketika melihat ada murid yang tampak diam tapi sebenarnya sedang bergulat dengan tekanan di rumah.

Virtual Reality

Teknologi juga bisa membuka pengalaman belajar yang sebelumnya mustahil.
Dengan realitas virtual, siswa bisa “masuk” ke dalam sel manusia dan melihat bagaimana mitokondria bekerja.
Mereka bisa “berjalan” di Colosseum, menyentuh reruntuhan Romawi tanpa harus membeli tiket ke Italia.
Mereka bisa “terbang” ke luar angkasa, belajar tentang planet dan gravitasi bukan dari gambar, tapi dari pengalaman imersif yang membekas di ingatan.

Ini bukan lagi soal belajar dengan kepala, tapi dengan seluruh indera.

Kolaborasi Online

Teknologi memungkinkan kolaborasi yang melintasi batas geografis. Seorang anak di Jakarta bisa mengerjakan proyek lingkungan bersama temannya di Papua, berbagi perspektif, mengatasi tantangan lokal dengan solusi global.

Guru-guru dari berbagai daerah bisa saling berbagi praktik baik, saling belajar, saling menguatkan. Bahkan orang tua bisa ikut menyimak proses belajar anak lewat platform daring. Ruang belajar tak lagi dibatasi empat dinding kelas—ia bisa berlangsung di kamar, di sawah, atau di warung kopi.

Tapi semua ini hanya mungkin jika pedagoginya kuat. Tanpa landasan pedagogik, teknologi hanyalah Ferrari tanpa bensin. Keren dilihat, tapi tak ke mana-mana.

Saya sering melihat anak-anak yang cekatan menggunakan smartphone. Jari mereka lincah mengetik, menggulir layar, memilih filter. Tapi ketika ditanya bagaimana menggunakan internet untuk mencari bahan esai, atau bagaimana membedakan fakta dan hoaks, mereka bingung.

Ini karena mereka diajari cara mengoperasikan, tapi tidak diajari cara memahami.

Mereka jadi konsumen teknologi, bukan kreatornya. Dan dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma, menjadi konsumen pasif adalah risiko besar.

Inilah mengapa AI literacy harus diajarkan sejak dini. Bukan agar semua anak jadi programmer, tapi agar mereka tidak jadi korban algoritma.

Bayangkan seorang anak yang memahami cara kerja rekomendasi YouTube. Ia tahu bahwa apa yang muncul di berandanya bukan kebenaran mutlak, tapi hasil kalkulasi yang didesain untuk membuatnya betah menonton.

Anak itu akan bertanya: “Kenapa video ini muncul? Apa yang tidak muncul? Apakah saya sedang dipengaruhi?” Dan pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membuat mereka lebih kritis, lebih sadar, lebih merdeka.

Literasi Digital Holistik: Empat Dimensi yang Harus Ditanamkan

Literasi digital bukan soal bisa buka laptop. Bukan soal jago TikTok atau cepat balas chat. Ia jauh lebih dalam. Ia adalah kemampuan hidup dengan sadar di dunia yang terus berubah.

Literasi digital holistik mencakup empat dimensi penting yang harus diajarkan dalam kurikulum, dan lebih penting lagi: dicontohkan dalam keseharian.

Yang pertama adalah kemampuan mengevaluasi informasi secara kritis. Anak harus belajar bahwa tidak semua yang dibaca adalah benar, dan tidak semua yang viral adalah valid. Kita bisa ajarkan mereka untuk memeriksa tanggal publikasi, mengecek nama penulis, dan membandingkan berita dari beberapa sumber sebelum membagikannya. Ini keterampilan bertahan hidup di era informasi yang sering lebih cepat dari kebenaran itu sendiri.

Yang kedua adalah pemahaman dasar tentang bagaimana algoritma bekerja. Anak tidak perlu tahu kode Python, tapi perlu tahu bahwa Google, Instagram, dan TikTok tidak netral. Mereka menunjukkan konten berdasarkan pola klik, durasi tonton, dan preferensi tersembunyi. Anak yang paham hal ini akan tahu kapan dia sedang memilih, dan kapan dia sedang dipilihkan.

Dimensi ketiga adalah kesadaran etis dalam dunia digital. Anak-anak harus paham bahwa dunia maya juga dunia nyata. Bahwa menertawakan orang di kolom komentar bisa melukai lebih dalam dari kata-kata di kelas. Bahwa mencuri karya orang lain—entah itu video, lagu, atau tulisan—adalah pelanggaran hak cipta. Bahwa tidak semua yang bisa diketik, boleh disebar.

Dan yang terakhir, yang sering terlupakan, adalah kemampuan menggunakan teknologi secara kreatif. Anak bukan hanya diajak membuat konten, tapi konten yang berdampak. Bukan hanya menyalin, tapi menciptakan. Mereka bisa diminta membuat video edukasi sederhana, desain kampanye lingkungan, atau bahkan game tentang sejarah lokal. Di sinilah teknologi menjadi alat untuk ekspresi dan aksi—bukan sekadar hiburan.

Pada akhirnya, teknologi bukanlah tujuan pendidikan. Ia adalah jembatan. Dan jembatan yang baik adalah yang mengantarkan manusia pada pemahaman yang lebih luas, relasi yang lebih hangat, dan tindakan yang lebih bermakna.

Tugas kita bukan memilih antara digital atau tidak. Tugas kita adalah memastikan bahwa ketika anak-anak menyeberangi jembatan digital itu, mereka tidak tersesat. Tapi tiba di seberang dengan lebih banyak akal, lebih banyak rasa, dan lebih banyak harapan.

Masa Depan Ada di Depan Pintu: Apa yang Kita Tinggalkan untuk Mereka?

Tahun 2045 terdengar seperti angka yang masih jauh. Tapi sesungguhnya, ia sudah berdiri di depan pintu.

Anak yang lahir hari ini akan berusia 21 tahun ketika Indonesia memasuki satu abad kemerdekaannya. Saat kita merayakan usia bangsa, mereka akan mulai menulis babak baru: menjadi pemimpin desa dan direktur startup, ilmuwan dan seniman, pengusaha dan pembuat kebijakan. Mereka akan duduk di kursi yang hari ini kita isi.

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: seperti apa bekal yang kita tinggalkan untuk mereka?

Apakah mereka akan mewarisi sistem pendidikan yang kaku, membosankan, dan hanya mengejar nilai? Atau mereka akan tumbuh dari ruang-ruang belajar yang memanusiakan, yang melatih mereka berpikir dalam, merasa jernih, dan bertindak bijak?

Semua yang kita bahas di sini—dari skor PISA yang masih rendah, dominasi LOTS, peran guru yang terluka, sampai potensi teknologi digital dan pentingnya kolaborasi lintas sektor—bermuara pada satu titik: masa depan tidak akan menunggu kita siap.

Ia akan datang apa pun yang terjadi.

Dan satu-satunya cara untuk menyambutnya adalah dengan memilih. Memilih apakah kita terus berjalan dengan kaki lama, atau mulai berlari dengan arah baru.

Kita sudah tahu apa yang salah.
Kita tahu sistem terlalu banyak menilai, tapi terlalu sedikit memahami.
Kita tahu guru disanjung di pidato, tapi dilupakan dalam anggaran.
Kita tahu teknologi sudah canggih, tapi pemanfaatannya masih setengah hati.
Kita tahu anak-anak penuh potensi, tapi ruang tumbuhnya sempit dan sering dipenuhi ketakutan.

Kita juga sudah tahu apa yang perlu dilakukan: membangun ekosistem pembelajaran yang dalam dan bermakna, mendukung guru sebagai activator dan builder, melibatkan masyarakat dan dunia usaha, memperbaiki sistem asesmen yang memanusiakan, serta menanamkan literasi digital dan AI sejak dini.

Kita punya peta jalan.
Kita punya contoh dari negara lain.
Kita punya cerita dari guru-guru hebat di pelosok negeri.

Tapi semua itu tidak akan berarti jika tidak kita gerakkan hari ini.

Pendidikan bukan proyek lima tahun. Ia bukan program yang selesai saat anggaran habis. Pendidikan adalah perjuangan seumur hidup untuk membentuk generasi yang lebih baik dari kita—lebih jujur, lebih cerdas, lebih adil.

Dan itu tidak bisa ditunda.

2045 Bukan Soal Emas atau Tidak, Tapi Soal Siapa yang Kita Bentuk Hari Ini

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia,” kata Nelson Mandela.

Tapi hari ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah senjata itu sudah cukup tajam untuk perang melawan ketidaktahuan, ketimpangan, dan ketidakpedulian?
Atau masih kita simpan di rak, berdebu, di bawah tumpukan administrasi dan retorika?

Anak-anak kita tidak butuh dunia yang sempurna. Mereka hanya butuh dunia yang peduli. Dunia yang memberi mereka ruang untuk tumbuh, gagal, bangkit, dan bermimpi. Dan itu semua dimulai dari pendidikan yang membebaskan. Yang tidak hanya mengajar mereka cara menjawab soal, tapi juga cara menjawab hidup.

2045 bukan soal Indonesia emas atau tidak emas.
2045 adalah soal: siapa yang kita bantu untuk menjadi manusia seutuhnya hari ini?

Jawaban itu, sepenuhnya, ada di tangan kita.

Sekarang.

Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat.


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking
Read More

Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking

Cara berpikir para jenius di dunia memiliki satu kesamaan, yaitu mereka banyak berpikir tentang cara mereka berpikir. Elon Musk dan juga beberapa entrepreneur hebat lainnya menggunakan kerangka kerja yang disebut dengan First Principle untuk menyusun pemikiran mereka. Sebuah kerangka cara berpikir (penalaran), dengan cara menggali suatu hal sampai ke esensi dasarnya, sehingga hal itu tidak lagi diselimuti oleh asumsi-asumsi lain, dan tidak bisa diurai lebih dalam lagi. Kemudian dari esensi dasar itu, dibangun sebuah pemikiran sendiri. Bagaimana Anda juga bisa melakukannya ?
Read More
Read More

Bencana di BSI: Apa Yang Sebenarnya Terjadi?

BSI, Bank Syariah terbesar di Indonesia ini mengalami gangguan yang sangat lama. Pelanggan tidak bisa melakukan transaksi hampir di semua channel. Ketika sebuah bank tidak dapat beroperasi secara normal selama lebih dari 4 jam, maka hal itu dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, kerusakan reputasi, dan ketidakpuasan nasabah. Ini adalah bencana. Saya akan menjelaskan kemungkinan penyebab gangguan tersebut, dampaknya, langkah demi langkah untuk menanganinya, dan memberikan saran tentang bagaimana bank dapat mempersiapkan hal seperti ini dengan lebih baik di kemudian hari.
Read More