“Jika Anda merasa sedang menunggangi kuda mati, langkah terbaik adalah segera turun”

Itu bukan kata-kata motivator. Itu pepatah kuno dari suku Indian. Tapi, relevansinya lebih tajam dari presentasi PowerPoint konsultan top dunia.

Terdengar logis.

Tapi dalam praktiknya, logika sesederhana ini sering kalah oleh ego, nostalgia, dan… SOP.

Alih-alih turun dari kuda mati, banyak orang, banyak perusahaan, dan organisasi pemerintah, justru mengganti penunggangnya, membeli cambuk baru, membuat pelatihan khusus agar si kuda mati bisa ‘hidup’ kembali. Bahkan ada yang mendirikan komite untuk mempelajari mengapa kuda itu mati.

Sudah mati pun masih diteliti. Seolah-olah kalau penyebabnya diketahui, kuda itu bisa bangkit kembali. Sentimentil.

Kita hidup di zaman di mana perubahan datang lebih cepat daripada notifikasi WA grup keluarga. Tapi anehnya, banyak orang, bahkan organisasi besar, masih nekat menunggangi “kuda mati”.

Mereka begitu takut melepaskan. Takut perubahan. Takut kehilangan kontrol
Orang sibuk mempertahankan proyek gagal, hubungan toksik, atau sistem kerja kuno, hanya karena sudah “terlanjur sayang”.

Padahal yang dia pertahankan adalah bangkai.

Raksasa yang Enggan Berpindah Pelana

Ini contoh klasik.

Kodak Backruptcy
Image source: Forbes.com

Kodak itu seperti pria paruh baya yang menolak pindah ke smartphone karena merasa kamera analog lebih “mewah”.

Dulu, Kodak adalah raja. Sekali menjepret, semua tersenyum. Tapi saat dunia mulai pindah ke digital, Kodak justru makin keras mencengkeram film gulungnya.

Ironisnya, teknologi kamera digital pertama justru ditemukan oleh insinyur Kodak sendiri. Tapi ide itu dikubur. Katanya, “nanti mengganggu bisnis utama kita.”

Hasilnya? Tahun 2012, mereka bangkrut.

Sejarah mencatat, bukan karena tidak mampu berinovasi. Tapi karena terlalu cinta pada masa lalu. Mungkin karena merasa berjasa, mereka pikir masa depan harus loyal. Ternyata, masa depan tidak punya hutang budi.

Museum Hidup dari Masa Lalu

Blockbuster itu Netflix versi tua.
Pernah ada di mana-mana. Tapi ketika dunia mulai streaming, mereka tertawa, menganggap itu tren sementara. Padahal tren itu adalah tsunami. Dan Blockbuster adalah orang yang tidur di pantai.

Nokia? Dulu penguasa ponsel sejagat.
Tapi terlalu percaya diri dengan sistem operasi Symbian. Padahal, Android dan iOS datang seperti badai di pesta kebun.

Nokia sempat bilang, “Kami tidak kalah. Kami hanya gagal beradaptasi.”
Itu sama saja bilang, “Saya tidak gemuk. Saya hanya menyimpan energi.”

Image source: Wikipedie

Sears? Ritel legendaris yang menolak e-commerce.
Sekarang? Digantikan oleh Amazon. Sebuah toko online yang tak punya etalase fisik, tapi bisa mengirim barang sampai depan pintu dalam sehari.

Kuda Mati Yang Dirawat Sepenuh Hati

Bank Jompo

Pernah ke bank hanya untuk cetak buku tabungan? Rasanya seperti naik delman di jalan tol.

Atau, coba buka rekening di bank tradisional. Siapkan eKTP, NPWP, fotokopi, isi formulir, tandatangan tujuh kali, antre satu jam, dan tunggu seminggu untuk aktivasi.

Banyak bank masih mempertahankan cabang fisik megah, kertas bertumpuk, dan prosedur yang bikin kepala pening. Sementara di luar sana, generasi sekarang bisa buka rekening lewat aplikasi dalam 5 menit, sambil makan ramen instan.

Mereka tak peduli kantor pusat bank itu punya lantai marmer atau tidak. Yang nanya cuma para jompo kaya, yang sekarang bisnisnya sudah estafet ke cucunya.

Bank digital seperti Revolut, SeaBank, atau Jago, meroket karena tahu satu hal: manusia modern lebih sayang kuota daripada waktu.

Bank yang masih getol membangun kantor cabang kini seperti toko kaset yang berharap orang datang beli CD, di era Spotify.


Bank tradisional seperti sedang mengajak generasi TikTok naik delman. Sementara dunia sudah pakai Hyperloop.

Masalahnya, mereka masih bangga dengan gedung mentereng dan jargon “kami terpercaya sejak 1970”.

Padahal pelanggan hari ini bukan bertanya “Sudah berapa lama berdiri?”, tapi “Secepat apa kamu melayani saya sekarang?”

Birokrasi Saklek

Kalau ada tempat di mana “kuda mati” masih dirawat dengan sepenuh hati, itu birokrasi.

Kita masih bisa temui instansi pemerintah yang meminta fotokopi KTP, walau sudah dikirim lewat email. Yang butuh tanda tangan basah, walau dunia sudah kenal e-signature. Yang pakai stempel merah biru, seolah tiap cap bisa mempercepat waktu.


Lihat Estonia.

Negara kecil di Eropa sana sudah pakai e-government sejak awal 2000-an. Urus pajak, nikah, bahkan ikut pemilu? Tinggal klik.

Kita? Masih sibuk mencari map biru dan materai sepuluh ribu.


Urus izin usaha kadang lebih ribet daripada urus perceraian.. Satu berkas, tiga tumpukan. Antrean panjang, tanda tangan silang, dan stempel yang jumlahnya melebihi jumlah anggota keluarga.



Birokrasi kita seperti kuda tua yang terus diberi vitamin, tapi tak pernah diajak lari.

Kita tidak kekurangan teknologi. Tapi masih banyak yang lebih percaya pada cap basah daripada sistem yang cepat dan transparan.

Kadang, bukan sistemnya yang rusak. Tapi orang-orangnya terlalu nyaman di atas kuda mati. Takut kehilangan kekuasaan, atau… gaji tambahan dari lembar-lembar tak resmi.

Kuda Mati di Kehidupan Pribadi

Kuda mati itu tak selalu soal bisnis. Dalam hidup pribadi, kita juga sering nekat menungganginya.

Pekerjaan membosankan, tapi tetap dipertahankan karena “yang penting aman”.
Berapa banyak dari kita yang bertahan di pekerjaan yang sudah tak lagi memberi makna?

Menjalani hubungan yang lebih banyak menguras energi daripada memberi?
Hubungan yang tak sehat, tapi tetap dijalani karena “sudah lama bareng”.

Memegang ideologi, kebiasaan, atau prinsip hidup yang sudah tidak relevan dengan zaman, hanya karena “dulu saya selalu begini”?


Kadang, kita bukan tidak tahu kudanya mati. Kita hanya pura-pura tak melihat.
Kadang, kita lebih takut dengan ketidakpastian, daripada realitas pahit.

Kita lebih nyaman menderita dalam rutinitas, daripada melangkah dalam kebebasan.

Padahal, keberanian bukan soal bertahan. Tapi soal tahu kapan harus melepaskan.

Turun Itu Bukan Kalah

Turun dari kuda mati bukan berarti gagal. Tapi tanda bahwa Anda cukup cerdas untuk menyadari, “Saya tidak akan sampai ke tujuan dengan ini.”

Netflix berani berubah. Dari pengiriman DVD ke streaming. Kemudian dari streaming ke produksi konten sendiri. Sekarang? Mereka produsen film terbesar di dunia.

Apple? Dulu hanya komputer. Sekarang jadi pusat gaya hidup.

Yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling lentur.
Seperti bambu: ditiup angin, dia menunduk. Tapi tak pernah patah.

Kenali Ciri Kuda Mati

1. Apakah ada tren besar yang bergerak ke arah sebaliknya?

Jika iya, Anda bisa melawan mati-matian atau menyesuaikan diri.
AI misalnya, sedang menggantikan banyak pekerjaan rutin. Jika bisnis Anda hanya mengandalkan tenaga manusia tanpa inovasi, bersiaplah.

2. Sudah berapa lama Anda mencoba ‘menghidupkan’ sesuatu yang tak lagi bernyawa?

Jika sebuah strategi terus gagal meski sudah dimodifikasi berkali-kali, mungkin masalahnya bukan eksekusi, tapi fondasinya.

3. Apakah ada contoh lain yang sudah “turun dari kuda” dan sukses?

Jika ada orang lain yang berhasil dengan pendekatan berbeda, mungkin sudah saatnya belajar dari mereka.

Apa Kuda Mati Anda?

Setiap orang pasti punya “kuda mati” masing-masing.

Kadang berupa mimpi yang sudah lewat masa kedaluwarsa. Kadang berupa pekerjaan, hubungan, atau kebiasaan yang dulunya penting, sekarang hanya beban.

Tapi kita terus bertahan. Karena malu. Karena gengsi. Karena takut memulai lagi dari nol. Padahal, nol adalah angka paling netral. Titik awal dari kemungkinan tak terbatas.

Maka jika hari ini Anda sedang menatap kuda mati: proyek yang mandek, tim yang toksik, atau sistem kerja yang tak efisien, jangan buru-buru ganti pelana. Jangan repot-repot panggil motivator.

Kalau sudah tahu jawabannya, jangan ragu untuk turun.
Tarik napas. Lihat sekitar.
Barangkali sudah saatnya Anda naik sepeda listrik. Atau… terbang.

Sebab kadang, kemenangan dimulai bukan saat kita maju, tetapi saat kita berhenti berputar-putar di tempat yang sama.

Karena dunia tidak menunggu orang yang bertahan. Tapi memberi tempat untuk mereka yang berani berubah.

Turunlah. Melangkahlah. Dunia baru sedang menunggu.

Kalau Anda setuju tulisan ini, renungkan dan bagikan.
Siapa tahu, ada teman yang masih menunggangi kuda mati, dan belum sadar bahwa sebenarnya dia sedang ditarik peti.


Personal OKR Blueprint


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking
Read More

Berpikir Ala Jenius Dengan First Principle Thinking

Cara berpikir para jenius di dunia memiliki satu kesamaan, yaitu mereka banyak berpikir tentang cara mereka berpikir. Elon Musk dan juga beberapa entrepreneur hebat lainnya menggunakan kerangka kerja yang disebut dengan First Principle untuk menyusun pemikiran mereka. Sebuah kerangka cara berpikir (penalaran), dengan cara menggali suatu hal sampai ke esensi dasarnya, sehingga hal itu tidak lagi diselimuti oleh asumsi-asumsi lain, dan tidak bisa diurai lebih dalam lagi. Kemudian dari esensi dasar itu, dibangun sebuah pemikiran sendiri. Bagaimana Anda juga bisa melakukannya ?
Read More
Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu
Read More

Rahasia Sukses Dengan Investasi Waktu

Kalau Anda belum punya uang untuk diinvestasikan, maka investasikanlah waktu Anda. Kebanyakan orang tidak menjadi lebih baik dari lima tahun lalu karena mereka hampir tidak menginvestasikan waktu untuk meningkatkan diri dalam ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan networking mereka.
Read More