Kepercayaan itu mahal. Sekali runtuh, membangunnya kembali bukan perkara mudah.
Saya melihat ini bukan sekadar masalah teknis, tapi krisis fundamental dalam bisnis, khususnya digital.
Apa yang terjadi di Bank Syariah Indonesia (BSI) harus menjadi pelajaran bagi semua pelaku industri.
Ini bukan sekadar soal server yang mati atau aplikasi yang tidak bisa diakses. Ini soal nasabah yang kehilangan rasa aman terhadap uang mereka sendiri.
Layanan Lumpuh, Nasabah Panik
Bayangkan, bangun tidur dan mendapati uang Anda seperti terkunci di lemari besi yang tak bisa dibuka.
Itulah yang dialami nasabah BSI (termasuk saya) pada 9 Februari 2025. Aplikasi BYOND tidak bisa digunakan (mungkin juga ATM, dan channel lain). Awalnya, BSI menyebutnya “pemeliharaan sistem.” Kesan yang diberikan: ini hanya gangguan kecil. Tidak perlu panik.

Tapi apa yang terjadi setelahnya? Hingga sekarang, 11 Februari, jam 15.39 (saya sedang di Penang, GMT+8) masih banyak yang tidak bisa mengakses dana mereka.

Bagi sebagian besar orang di kota-kota besar, mungkin masih ada alternatif. Bisa pakai bank lain.
Tapi bagaimana dengan Aceh? Meski ada alternatif bank daerah, tapi terbanyak seluruh transaksi perbankannya mengandalkan BSI. Mereka tidak bisa sekadar pindah ke bank lain. Mereka harus mencari pinjaman mendadak, meminjam dari teman, atau bahkan terpaksa menunda kebutuhan penting.
Bagi bank, ini mungkin hanya isu teknis.
Bagi nasabah, ini bencana. Bisnis terhambat, transaksi tertunda, tagihan jatuh tempo.
Kepercayaan mulai terkikis.
Luka Lama yang Belum Sembuh
Ini bukan pertama kali. Mei 2023, BSI diserang ransomware yang melumpuhkan sistemnya.
Saat itu, pemulihan dilakukan, tapi tidak benar-benar tuntas.
Krisis yang sama kembali terjadi, dengan pola yang serupa. Sistem tumbang, komunikasi buruk, kepercayaan goyah.
Yang membuat situasi lebih buruk bukan hanya soal layanan yang tidak bisa diakses. Cara bank menangani krisis ini pun jauh dari ideal.
Bank mengumumkan layanan sudah kembali normal, tapi di lapangan? Realitasnya berbeda.
Nasabah masih kesulitan, sementara tanggapan resmi terasa seperti template: dingin, minim empati, dan tanpa solusi konkret. Seharusnya ada pengumuman yang jelas, transparan, dan meyakinkan. Bukan sekadar janji kosong bahwa sistem sedang diperbaiki.
Di era digital, keterbukaan adalah segalanya.
Kalau ada gangguan, jelaskan apa yang terjadi. Kalau butuh waktu, beri kepastian berapa lama. Jangan membuat nasabah menduga-duga. Itu hanya akan memperburuk keadaan.
Yang dibutuhkan saat krisis bukan hanya perbaikan sistem, tapi juga kepercayaan bahwa perbaikan itu benar-benar terjadi.
Kesalahan yang Terulang di Dunia Bisnis
Sejarah mencatat, kepercayaan yang rusak bisa menghancurkan bisnis.
Yahoo pernah mengalami kebocoran data besar-besaran, tetapi mereka memilih menutupi informasi itu. Ketika akhirnya terbongkar, harga saham anjlok, pengguna kabur.
Baca juga: Komunikasi Buruk Yahoo
Pada tahun 2013 dan 2014, Yahoo mengalami dua kebocoran data besar yang mengakibatkan lebih dari 3 miliar akun pengguna terdampak. Namun, mereka baru mengungkapkannya bertahun-tahun kemudian, saat akuisisi oleh Verizon sedang berlangsung. Ketika publik mengetahui bahwa Yahoo menunda pengungkapan ini, kepercayaan langsung hancur. Akibatnya, valuasi perusahaan anjlok, dan Yahoo harus menerima potongan harga akuisisi sebesar US$350 juta. Bukan hanya kehilangan nilai perusahaan, tapi reputasi yang sudah dibangun selama puluhan tahun ikut runtuh.
Volkswagen mengalami hal serupa dalam skandal Dieselgate, ketika ketahuan memanipulasi hasil uji emisi. Skandal ini bermula pada 2015, ketika diketahui bahwa Volkswagen memasang perangkat lunak khusus di mobil diesel mereka untuk menipu uji emisi. Dalam kondisi pengujian, mobil-mobil ini tampak ramah lingkungan, tetapi dalam penggunaan sehari-hari, mereka mengeluarkan emisi berlipat-lipat lebih tinggi dari batas yang diizinkan.
Alih-alih langsung mengakui kesalahan, Volkswagen memilih bungkam dan berusaha mengelak. Ketika akhirnya skandal ini terungkap, saham Volkswagen anjlok lebih dari 40%, denda yang harus dibayar mencapai US$30 miliar, dan CEO mereka harus mundur. Yang lebih parah, konsumen mulai kehilangan kepercayaan terhadap merek Volkswagen. Citra mobil Jerman yang dikenal andal dan berkualitas tinggi tercoreng karena ketidakjujuran.
BSI tampaknya mengikuti pola yang sama. Tidak proaktif, tidak transparan, tidak cepat tanggap.
Sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, dampaknya tidak hanya ke BSI, tapi ke seluruh industri keuangan syariah. Nasabah mulai melirik bank lain. Investor cemas. Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya BSI yang kehilangan kepercayaan, tapi seluruh ekosistem perbankan syariah bisa terdampak.
Mencegah Krisis dengan Strategi yang Tepat
Gangguan sistem bisa terjadi, tapi seharusnya bisa dikelola dengan lebih baik.
Setiap pemeliharaan sistem (atau bahkan migrasi), harus dirancang dengan matang. Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan agar risiko minimal dan kepercayaan tetap terjaga.
Pertama, perencanaan matang. Setiap perubahan sistem harus diawali dengan identifikasi risiko, skenario mitigasi, dan uji coba yang komprehensif. Jangan ada kejutan di hari peluncuran.
Kedua, migrasi bertahap. Jangan lakukan perubahan besar sekaligus. Lakukan secara bertahap, mulai dari sistem kecil sebelum ke seluruh layanan. Ini memberi ruang untuk mendeteksi dan memperbaiki kesalahan lebih awal.
Ketiga, komunikasi yang jelas. Jika ada pemeliharaan atau migrasi, nasabah harus tahu sejak awal. Beri update berkala. Jangan biarkan mereka mencari tahu sendiri di media sosial.
Keempat, pemantauan ketat. Setelah sistem diperbarui, harus ada tim yang terus memantau dan siap bertindak cepat jika terjadi gangguan.
Langkah-langkah ini bukan sekadar teori.
Ini standar yang sudah diterapkan di banyak industri yang bergantung pada sistem digital. Kalau bank sebesar BSI masih mengalami krisis akibat kelalaian ini, kemungkinan ada yang salah dalam manajemen teknologinya.
Membangun Kembali Kepercayaan
Setiap krisis adalah ujian.
Yang gagal menghadapinya akan tenggelam, yang berhasil akan keluar lebih kuat.
Jika BSI ingin bangkit, mereka harus segera bertindak.
Komunikasi harus diperbaiki. Tidak ada lagi pernyataan yang setengah matang. Tidak ada lagi informasi yang abu-abu. Nasabah butuh kepastian, bukan sekadar janji. Jika ada gangguan, segera umumkan penyebabnya, sebutkan solusinya, dan pastikan ada pembaruan berkala.
Kepercayaan nasabah tidak bisa dibeli dengan janji manis. Harus ada langkah konkret. Seharusnya ada kompensasi bagi mereka yang terdampak. Bukan sekadar permintaan maaf di media sosial, tapi bentuk tanggung jawab yang nyata.
Audit independen harus dilakukan dan hasilnya dipublikasikan agar publik yakin bahwa perbaikan benar-benar terjadi. Lebih dari itu, BSI harus membangun ulang citranya. Menegaskan komitmen pada keamanan dan transparansi.
Takeaway
Kepercayaan Lebih Mahal dari Teknologi.
Di era digital, teknologi yang rusak masih bisa diperbaiki. Server bisa diganti, sistem bisa diperbarui, jaringan bisa diperkuat. Tapi kepercayaan yang hilang? Itu jauh lebih sulit dikembalikan. Sekali nasabah merasa tidak aman, mereka tidak akan kembali. Mereka akan mencari alternatif lain yang lebih bisa diandalkan.
Kasus BSI ini bukan hanya alarm bagi perbankan syariah, tapi bagi seluruh industri keuangan.
Ini mengingatkan kita bahwa layanan keuangan bukan sekadar soal uang, tapi soal rasa aman. Nasabah tidak peduli seberapa canggih sistem perbankan yang digunakan, jika pada akhirnya mereka tidak bisa mengakses uang mereka ketika dibutuhkan.
Dalam situasi krisis, yang paling dibutuhkan adalah kecepatan, transparansi, dan komunikasi yang proaktif. Bank tidak boleh hanya menunggu situasi mereda dengan harapan publik akan lupa. Itu bukan strategi, itu sikap pasif yang berbahaya.
Lihat apa yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berhasil melewati krisis.
Mereka mengambil inisiatif. Mereka tidak menunggu pelanggan bertanya, mereka justru lebih dulu memberi tahu apa yang terjadi. Mereka memberikan update berkala, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil bisa dipahami oleh pengguna. Ini yang seharusnya dilakukan oleh BSI.
Nasabah butuh lebih dari sekadar layanan yang berjalan.
Mereka butuh kepastian bahwa uang mereka tidak akan menghilang di waktu-waktu kritis. Mereka ingin tahu bahwa bank yang mereka percayai tidak hanya sibuk membangun infrastruktur digital, tapi juga memastikan bahwa infrastruktur tersebut benar-benar bisa diandalkan dalam kondisi terburuk sekalipun.
BSI punya dua pilihan: belajar dan bangkit, atau terus kehilangan kepercayaan.
Jika mereka memilih yang pertama, maka harus ada perubahan nyata. Tidak cukup dengan sekadar permintaan maaf. Harus ada sistem mitigasi yang jelas, rencana komunikasi yang lebih baik, dan yang terpenting, tindakan nyata untuk membangun kembali kepercayaan.
Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.