Kebanyakan orang akan mengalami stres selama terjadi krisis, dan menjadi terpuruk karenanya. Tetapi ada sebagian orang yang justru bisa mengambil hikmah dari krisis itu, lalu menjadi pribadi yang tumbuh lebih hebat.
Bagaimana cara Anda bisa mengatasi stres itu, lalu tumbuh menjadi orang yang lebih baik lagi, selama dan setelah krisis berakhir ?
“Crisis is what suppressed pain looks like; it always comes to the surface. It shakes you into reflection and healing” — Bryant McGill
Kita semua mengalami hal yang sama, pandemi Covid-19. Krisis yang tentu saja menjadi kondisi yang tidak mengenakkan bagi hampir semua orang di seluruh dunia.
Tetapi, krisis ini bisa menjadi cermin yang jujur, memperlihatkan pribadi orang sesungguhnya. Menjadi tempat ujian yang benar-benar menampilkan orang apa adanya. Membuka karakter asli seseorang.
Anda yang sebelum krisis punya prestasi bagus di sebuah perusahaan, jangan-jangan selama itu Anda berprestasi karena memang berada dalam sebuah sistem yang mendukung, dan perusahaan sedang ada dalam kondisi yang sehat.
Orang yang sebelum krisis terkesan punya karakter baik, loyal, dan bertanggungjawab, bisa jadi selama itu karena keinginan mereka terpenuhi perusahaan. Begitu kapal sepertinya mau karam, mereka segera cepat-cepat loncat menyelamatkan dirinya sendiri.
6 Tahapan Transformasi Manusia
Pada tahun 1969, Elisabeth Kubler-Ross menerbitkan bukunya yang terkenal On Death and Dying dan memperkenalkan kita pada konsep kurva perubahan. Model ini merupakan pendekatan yang membantu kita untuk memahami tahap-tahap kesedihan (grief), tetapi juga secara luas bisa berlaku untuk sebagian besar kasus dan situasi yang berkaitan dengan perubahan.
Menurut Kubler-Ross, ada 5 tahap yang terjadi dalam siklus perubahan manusia dalam menerima kesedihan.
Dengan memahami tahap-tahap ini, kita bisa melihat apa yang terjadi pada proses transformasi manusia selama masa krisis COVID-19 ini, supaya Anda bisa berubah secara positif di tahap ke 6.
1. Denial
“Virus ini tidak akan mempengaruhi saya…”
“Penolakan membantu kita mengatasi perasaan sedih kita. Ada perasaan lega dalam penyangkalan. Ini adalah cara alam untuk membiarkan masuk hanya sebanyak yang bisa kita tangani.” — Elisabeth Kubler-Ross.
Ini adalah tahap pertama dalam proses perubahan dalam merespon kenyataan buruk, seperti menerima berita kematian, ataupun menerima perintah karantina PSBB.
Ketika dihadapkan dengan kenyataan pahit tentang apa yang terjadi. Secara tidak sadar Anda akan menyangkal atau mengabaikan sebuah peristiwa serta dampaknya terhadap Anda secara pribadi. Ini adalah mekanisme pertahanan diri spontan untuk melindungi Anda dari potensi rasa sakit.
Cobalah Anda ingat beberapa bulan awal ketika virus corona masih menjadi berita yang mengkhawatirkan (yang datang dari China dan Eropa).
Komentar langsung dari para pakar, pejabat, dan tokoh masyarakat waktu itu adalah tentang “flu biasa” yang tak perlu diributkan. Bahkan banyak penelitian dan spekulasi yang membenarkan mengapa kita tidak perlu khawatir terhadap COVID-19.
Meskipun kita bisa melihat apa yang terjadi pada masyarakat di Wuhan China, pejabat dan tokoh masyarakat kita terus bersikap seolah itu tidak akan terjadi di Indonesia, dan tidak ada upaya pencegahan dini, dan kita ngotot tetap tidak mau ada pemberlakuan PSBB.
Tahap ini biasanya tidak berlangsung lama, karena Anda hanya bisa bersembunyi dari kenyataan sebelum akhirnya itu sungguh terjadi.
Saat ini, sebagian besar telah melampaui tahap penyangkalan (denial) terkait pandemi ini. Namun, masih ada beberapa orang yang putus asa dalam berpegang teguh pada keyakinannya bahwa virus corona ini hanya kehebohan saja.
Jika ada teman Anda yang masih terjebak dalam fase ini, janganlah putus asa, karena itu akan berlalu. Ketakutan dan ketidaktahuannya itu memang sangat berperan. Jadi perlakukan mereka dengan sabar dan tegas, anggap saja dia seorang anak kecil yang sedang ngamuk.
Tetapi, jika mereka menempatkan diri mereka sendiri dan orang lain dalam bahaya dengan melanggar aturan perusahaan Anda tentang protokol kesehatan, physical distance, atau mereka bekerja saat sakit, maka ingatkanlah mereka tentang konsekuensinya, dan ikuti prosedur disiplin yang telah ditetapkan.
2. Denial
“Anda memaksa saya untuk tinggal di rumah dan menjauhkan saya dari teman-teman dan kesenangan saya”
Kemarahan terjadi ketika kita menyadari bahwa situasi yang tidak diinginkan ini tidak akan hilang. Kita kesal, dan tidak ikhlas menerimanya. .
Pada tahap ini, wajar bagi kita untuk mencari seseorang untuk disalahkan atas masalah kita, sehingga perasaan tidak nyaman yang kita miliki bisa dialihkan dari kita, dan ditempatkan pada orang lain.
Contoh pada tahap ini, beberapa orang dan pejabat mulai menyalahkan negara China, media, pemerintah, bahkan WHO atas jumlah kematian akibat virus corona yang mengkhawatirkan.
Selama tahap inilah kita mulai mau menerima protokol kesehatan, PSBB, tetapi dengan rasa dongkol, kita mulai kesal dengan kecepatan internet di rumah kita, frustrasi karena kurang patuhnya orang-orang terhadap pembatasan jarak di pasar-pasar, dan marah pada ketidakmampuan pejabat pemerintah untuk memimpin kita melalui krisis.
Ketika berhadapan dengan seseorang dalam fase marah, penting untuk membiarkan mereka marah. Itu wajar dan bisa dimaklumi ketika menghadapi sesuatu sebesar ini.
3. Bargaining
“Jika kita secara sosial menjauhkan diri selama beberapa minggu maka semuanya akan baik-baik saja kan?”
Akhirnya kemarahan menghilang, dan kita menyadari bahwa menyalahkan seseorang atas kekacauan yang kita alami tidak akan memperbaiki situasi.
Kita berusaha menerima kemungkinan terburuk. Kita berusaha menghibur diri dengan dengan kesimpulan yang bisa kita terima walaupun hanya sementara.
Pada tahap ini kita berusaha untuk menunda atau mengurangi rasa sakit yang tak terhindarkan dengan menegosiasikan situasi kita dan mencapai titik kompromi. Kita mengatakan kepada diri sendiri bahwa ini cuma akan berlangsung sebentar kok, tetapi belum sepenuhnya bisa menerima bahwa pandemi ini bisa berlangsung lama tanpa kepastian
Jika Anda bekerja dengan seseorang yang sedang dalam tahap bargaining ini, gunakan kepekaan dan akal sehat untuk menentukan apakah ada kompromi yang bisa dilakukan secara wajar. Ini mungkin berarti menjadi fleksibel dalam pengaturan kerja mereka, atau memberikan dukungan tambahan sehingga mereka bisa terus bekerja dengan aman selama krisis ini.
4. Depresion
“Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir”
Pada tahap inilah kita menyadari bahwa kesimpulan bargaining kita tidak bisa membuat lebih baik. Maka kesedihan, ketakutan, penyesalan, rasa bersalah, perasaan negatif, putus asa, semua akan muncul di pikiran. Kita merasa suram, menemui jalan buntu, merasa bahwa ini titik terendah kita.
Banyak orang kesulitan melewati tahap ini.
Apalagi ketika berhadapan dengan meninggalnya orang yang Anda cintai. Anda mungkin akan meratapi semua kesempatan yang hilang untuk mengucapkan selamat tinggal, atau kesempatan untuk mengatakan kepada mereka akan cinta Anda.
Bagi kita yang menghadapi ancaman COVID-19, masa isolasi yang diperpanjang ini, membuat kita terpisah dari kenyamanan dan hubungan manusiawi kita yang biasanya, berarti ancaman memasuki tahap depresi sangat nyata.
Pada tahap ini, kita tergoda untuk tetap di tempat tidur sepanjang hari, dan menarik diri dari dunia. Karyawan cuti sangat berisiko di sini, karena rutinitas biasa mereka tidak lagi berlaku.
Penting bagi kita untuk mempertahankan sebanyak mungkin titik-titik kontak dengan teman dan kolega. Gunakan teknologi seperti Zoom atau Google Meet untuk meniru jenis interaksi sosial kantor. Rapat tim, webinar, dan obrolan-obrolan umum, semuanya membantu mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian dalam keterasingan.
5. Acceptance
“Saya perlu mencari cara untuk membuat ini berhasil”
Bertentangan dengan apa yang akan diasumsikan, penerimaan (acceptance) tidak berarti bahwa semua dimaafkan, dan bahwa kita senang dengan situasinya. Melainkan penerimaan akan kenyataan bahwa kita tidak dapat merubah situasi dan bahwa kita harus belajar menyesuaikan diri dengan normal baru ini.
Kita tidak bisa menghilangkan ketidaknyamanan yang terjadi, maka kita harus ikhlas untuk menerima situasi baru, bertanggungjawab untuk menyesuaikan diri, dan mulai membangun hidup yang baru. Kita belum tentu bahagia, tapi harus ikhlas dengan segala keterbatasan, lalu mencari cara baru untuk mencapai tujuan hidup kita.
Tujuannya adalah untuk mendukung rekan-rekan kita dalam mencapai fase penerimaan (acceptance) secepat mungkin, karena pada tahap inilah kita bisa mulai tampil, dan menjadi produktif lagi.
Di sinilah kita menemukan cara untuk mengendalikan situasi, seperti dengan mencuci tangan secara teratur, memakai masker, dan menjaga jarak fisik dengan cermat.
6. Meaning
“Apa yang terjadi selanjutnya ? “
Ada tahap keenam dalam siklus yang layak disebutkan, yaitu meaning (hikmah / mengambil makna).
Untuk bergerak lebih dari sekadar selamat dari pandemi ini, kita perlu menemukan hikmah / makna dan tujuan dari semua penderitaan dan kehilangan. Kita justru harus mendapatkan pembelajaran yang unik yang tidak bisa didapatkan jika tidak ada pandemi COVID-19 ini.
Kita perlu melihat perubahan ini dengan sudut pandang yang berbeda. Kita harus mendapatkan percepatan pembelajaran dan pengembangan diri, yang akan menjadikan kita tumbuh menjadi individu yang lebih baik lagi dibanding sebelum masa pandemi.
Bagi sebagian orang, proses ini telah dimulai karena mereka menghargai kegembiraan menjalani hidup dengan lebih sederhana, tidak terlalu materialistis, dan dengan kecepatan yang lebih lambat.
Pasti ada pelajaran yang bisa dipetik dari karantina.
Misalnya, banyak perusahaan yang sebelumnya ragu-ragu untuk menerapkan organisasi dan cara kerja yang agile, sekarang menyadari bahwa staf mereka lebih dari mampu untuk itu.
Saya ingin melihat bagaimana bisnis dengan cara-cara lama bisa menjadi lebih progresif menyesuaikan diri sebagai akibat dari pandemi ini.
Harapan saya, ketika semua ini berakhir, kita tidak berlomba untuk kembali ke “business as usual”. Kita pantas mendapatkan yang lebih baik dari itu.
Orang-orang hebat yang kita kenal adalah mereka yang telah mengenal kekalahan, mengetahui penderitaan, melalui perjuangan, menerima kehilangan, dan telah menemukan jalan keluar dari masalah itu.
“The most beautiful people we have known are those who have known defeat, known suffering, known struggle, known loss, and have found their way out of those depths.” — Elisabeth Kübler-Ross
Krisis adalah ujian untuk naik ke tingkat selanjutnya, membuat Anda tumbuh semakin hebat.
Semoga bermanfaat !