Artificial Intelligence

OpenAI meluncurkan ChatGPT Agent, AI yang tak cuma bisa ngobrol, tapi juga bekerja sendiri: klik, login, riset, buat slide, hingga kirim undangan meeting. Ini bukan sekadar fitur baru, tapi revolusi format permainan dalam dunia kerja dan bisnis. Dalam persaingan LLM yang kian panas, inilah awal dari era pekerja digital. Pertanyaannya bukan lagi apakah AI bisa menggantikan manusia, tapi manusia seperti apa yang tetap akan relevan?

MCP bukan sekadar teknologi baru, tapi cara pandang baru dalam berinteraksi dengan AI. Ia memungkinkan mesin memahami konteks, bukan sekadar menjalankan perintah. Dari dapur rumah hingga ruang rapat global, MCP menghubungkan sistem, data, dan manusia dalam satu bahasa universal. Tapi seperti perubahan besar lainnya, MCP datang dengan harga: kompleksitas, kurva belajar, dan pertarungan geopolitik. Di tengah pusaran ini, kita bukan lagi sekadar user, tapi saksi sejarah, dan mungkin penulisnya.

AI bisa jadi berkah atau bencana, tergantung siapa yang mengendalikannya. Artikel ini menyoroti bagaimana sistem pendidikan Indonesia tertinggal dalam menyiapkan anak-anak menghadapi era kecerdasan buatan. Di saat AI makin canggih, sekolah masih sibuk dengan hafalan. Literasi AI seharusnya jadi kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Mulai dari cerita anak Papua yang belajar coding lewat Scratch hingga strategi kurikulum AI bertahap di SD, SMP, dan SMA. Kita harus mulai sekarang—atau tersingkir esok.

OpenAI dan Jony Ive mengguncang dunia teknologi dengan akuisisi startup io senilai US$6,5 miliar. Ini bukan sekadar investasi—ini visi masa depan. Bukan layar, bukan tombol, tapi perangkat AI tanpa layar yang katanya bisa jadi "iPhone moment" untuk era baru. Saat Apple masih tertinggal, OpenAI ngebut ke arah perangkat fisik yang terasa hidup. Apakah ini revolusi baru, atau mimpi gila yang terlalu dini? Semua dimulai dari obrolan santai dua jenius di kafe. Dan kita semua sedang menontonnya.

Dulu, AI membuat kita terpukau. Kini? Ia hanya jadi alat seperti listrik atau Wi-Fi. Semua orang bisa pakai, semua bisa terlihat pintar. Tapi di tengah dunia yang makin seragam, muncul pertanyaan yang mengusik: kalau semuanya bisa dibuat AI, apa yang membuatmu akan unik dan istimewa? Artikel ini mengajakmu menggali ulang keunggulan manusia, dari empati, intuisi, hingga keberanian mencipta yang tak bisa digantikan AI. Mungkin, justru di tengah otomatisasi massal, manusia kembali jadi langka.

OpenAI berencana meluncurkan GPT-5 sebagai model terpadu yang hampir gratis. Kedengarannya menarik, tapi apakah ini solusi atau justru trik shrinkflation? Seperti restoran cepat saji yang mengecilkan porsi burger tapi mengklaim rasanya lebih kaya, AI terpadu menjanjikan kemudahan dengan fitur menyatu dalam satu sistem. Tapi, apakah ini berarti kualitasnya ikut terpangkas? Apakah pengguna akan kehilangan fleksibilitas memilih model terbaik? Simak bagaimana OpenAI dan raksasa AI lain sedang mengubah cara kita berinteraksi dengan teknologi!