“Mengapa perusahaan kita tidak menyediakan makan siang gratis seperti di Google ? Mengapa kita nggak menerapkan 4 hari kerja kayak Alami ?”
“Banyak perusahaan lain meniru hal-hal seperti itu buat memikat karyawannya lho, jadi mengapa kita tidak melakukannya juga ?”
Anda akan tahu jawabannya setelah selesai membaca tulisan ini.
Apa Itu Budaya Perusahaan?
Budaya perusahaan (organisasi) mendefinisikan cara berperilaku setiap individu dalam organisasi tersebut.
Budaya itu terdiri dari keyakinan dan nilai-nilai bersama, yang ditetapkan oleh para leader, dan kemudian dikomunikasikan, serta diperkuat melalui berbagai metode, yang pada akhirnya membentuk persepsi, perilaku, dan pemahaman bagi setiap individu dalam organisasi.
Budaya yang dibentuk itulah yang diharapkan akan menentukan cara individu berinteraksi satu sama lain di dalam organsisasi, dan berperilaku dengan orang-orang di luar organisasi.
Setiap orang dalam organisasi harus menjunjung budaya organisasi, agar mereka bisa memberikan performa terbaiknya, dan menikmati pekerjaan mereka.
Sebaliknya, masalah muncul ketika mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya organisasi, yang mengakibatkan mereka kehilangan motivasi, lalu enggan untuk memberikan performa terbaiknya.
Lalu bagaimana jika perusahaan tidak memiliki budaya yang kuat ?
Sampai dengan penjelasan ini, Anda tentu bisa membayangkan kekacauannya.
Meniru Budaya Perusahaan Lain
“Budaya perusahaan yang kokoh mampu membuat persaingan dengan kompetitor menjadi tidak relevan. Perusahaan Anda bahkan tidak perlu mengkhawatirkan persaingan”.
Budaya perusahaan (paling tidak) terbentuk dari model leadership para pemimpinnya, bergantung pada kualitas sumber daya manusia di perusahaan itu, serta pemenuhan terhadap kompensasi mereka.
Seorang pemimpin yang hebat sekalipun, akan kesulitan membawa lari perusahaan dengan nilai-nilai yang dia kehendaki, jika timnya tidak punya kualitas yang memadai, dan tidak ditunjang dengan kompensasi terhadap pemenuhan kebutuhan hidup yang layak untuk mereka.
Merujuk pada Harvard Business School,
Anda bisa dengan mudah meniru pricing model perusahaan lain dalam waktu kurang dari 1 bulan. Anda juga bisa meniru branding perusahaan lain dalam waktu paling lama 12 bulan. Bahkan Anda bisa meniru operational excelence pesaing Anda dalam waktu 15 bulan.
Tapi, untuk meniru budaya perusahaan lain, Anda butuh waktu paling tidak 7 tahun !
3 Tingkatan Budaya Perusahaan
Pada 1980-an, Edgar Schein dari Sloan School of Management mengembangkan model untuk memahami dan menganalisis budaya organisasi.
Menurutnya, sebuah organisasi tidak mengadopsi budaya dalam satu dua hari, melainkan melalui proses panjang, yang itu terbentuk melalui berbagai perubahan, beradaptasi dengan lingkungan eksternal, dan pemecahan-pemecahan masalah.
Schein membagi budaya organisasi menjadi tiga tingkatan yang berbeda: artefak-artefak (artifacts), nilai-nilai (values), dan asumsi-asumsi (assumptions).
Tingkat 1: Artefak-Artefak (Artifacts)
Tingkat pertama adalah karakteristik organisasi yang bisa dengan mudah dilihat, didengar, dan dirasakan oleh individu secara kolektif, yang dikenal sebagai artefak.
Aturan berpakaian karyawan, lay-out kantor yang open space, fasilitas makan gratis, meja pingpong, mural di tembok, bahkan misi dan visi organisasi, semuanya berada di tingkat artefak.
Contoh :
Organisasi X
Tidak seorang pun di organisasi X diizinkan berpakaian dengan santai. Karyawan menghormati atasan mereka, dan menghindari perselisihan yang tidak perlu. Individu sangat ketat terkait tenggat waktu, dan memastikan tugas diselesaikan dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.
Organisasi Z
Karyawan boleh memakai apa pun yang mereka suka. Individu dalam organisasi Z paling tidak peduli dengan pekerjaan, dan menghabiskan waktu maksimal mereka untuk berkeliaran dan bergosip. Karyawan seenaknya berkomentar menghina di tempat kerja, dan menarik satu sama lain ke dalam kontroversi.
Dalam kasus di atas, karyawan di organisasi X memakai pakaian yang memancarkan profesionalisme, dan secara ketat mengikuti kebijakan organisasi. Di sisi lain, karyawan di organisasi Z memiliki sikap santai dan tidak serius dalam bekerja.
Organisasi X mengikuti budaya profesional yang ketat, sedangkan Organisasi Z mengikuti budaya yang lemah di mana karyawan tidak menerima hal-hal dengan sukarela.
Tingkat 2: Nilai-Nilai (Values)
Tingkatan selanjutnya menurut Schein, yang merupakan budaya organisasi adalah nilai-nilai.
Nilai-nilai individu yang bekerja dalam organisasi memainkan peran penting dalam menentukan budaya organisasi. Proses berpikir dan sikap karyawan punya dampak yang mendalam pada budaya organisasi tertentu.
Apa yang menurut Anda sangat penting bagi organisasi ?
Pola pikir (mindset) individu yang terkait dengan organisasi tertentu, memengaruhi budaya tempat kerja.
Nilai-nilai ini bisa ditentukan, dan dibiasakan untuk dilakukan.
Ada yang bisa terlihat (visible) seperti disiplin, tidak merokok, shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki. Dan ada yang tidak terlihat (invisible), tapi bisa dirasakan seperti sikap kolaborasi, sikap ceria, tim yang solid, terampil, inovasi.
Tingkat 3: Asumsi-Asumsi (Assumptions)
Tingkat ketiga adalah nilai-nilai yang diasumsikan oleh semua anggota organisasi , yang itu tidak bisa diukur, tetapi itu membuat perbedaan pada budaya organisasi.
Dengan kata lain, ada hal-hal tertentu yang menjadi keyakinan “tersembunyi”, tetapi mempengaruhi budaya organisasi.
Ini adalah aspek batin dari sifat manusia. Organisasi mengikuti praktik tertentu yang tidak sering dibahas (tidak dikatakan) tetapi dipahami sendiri.
Misalnya, karyawan pada sebuah perusahaan yang berprinsip syariah akan memahami bahwa perilaku mereka harus mencerminkan perilaku Islami. Atau, karyawan pada sebuah perusahaan pemasaran rokok, maka di dalam benak mereka akan punya asumsi pemahaman bahwa mereka harus merokok.
Kesimpulan
Diperlukan proses panjang, terpola, dan disiplin untuk membentuk perilaku manusia yang pada akhirnya akan membentuk budaya suatu organisasi.
Untuk menciptakan budaya perusahaan yang mampu membangkitkan keterikatan jiwa pada karyawan , Anda tidak bisa begitu saja menyalin kebijakan dan best practice dari perusahaan lain (meskipun mengetahuinya akan sangat membantu).
Budaya perusahaan harus secara sadar dirancang untuk nilai dan tujuan perusahaan Anda sendiri.
Terimakasih sudah membaca dan semoga bermanfaat.
Oiya, ada referensi menarik dari HBR bagi Anda para leader :
The Leader’s Guide to Corporate Culture