Efisiensi atau Ilusi? Mencermati Pemotongan Anggaran APBN 2025

Di tengah tekanan ekonomi dan ketidakpastian global, efisiensi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Tapi jangan bayangkan efisiensi hanya soal pemangkasan biaya.

Itu seperti menerbangkan pesawat dengan cara mengurangi bahan bakar, risikonya terlalu besar.

Yang benar, efisiensi adalah seni menerbangkan pesawat dengan cerdas: memilih rute terbaik, memastikan mesin dalam kondisi prima, dan mengoordinasikan awak agar setiap penerbangan tidak hanya hemat, tapi juga tepat sasaran dan aman sampai tujuan.

Efisiensi yang Menyisakan Kontradiksi

Di tengah sorotan tajam para ekonom, presiden Prabowo Subianto mengeluarkan instruksi untuk memangkas anggaran belanja negara sebesar Rp306,69 triliun pada APBN 2025.

Langkah ini mungkin diharapkan bisa mendanai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan swasembada pangan.

Namun, di balik retorika penghematan, ada paradoks mencolok: sementara anggaran dipotong drastis, struktur kabinet malah diperbesar dari 34 menjadi 52 kementerian. Penambahan birokrasi ini berpotensi menambah beban gaji dan operasional, menelan anggaran lebih dari Rp20 triliun.

Sementara Menkeu Sri Mulyani memastikan digitalisasi sistem keuangan negara sebagai tulang punggung efisiensi, para ASN bergumul dengan pembatasan AC kantor dan pemangkasan insentif.

Di satu sisi, Kementerian PUPR memastikan proyek IKN tetap berjalan meski dengan dana yang dipangkas. Di sisi lain, ribuan tenaga honorer dihadapkan pada ancaman pemutusan kontrak.

Ekonom, seperti Eko Listiyanto pun menyoroti bahwa dana penghematan seharusnya dialirkan ke sektor produktif. Ironisnya, program MBG yang diidamkan sebagai solusi malah dikhawatirkan menjadi “proyek mercusuar” tanpa dampak ekonomi nyata.

Namun, di balik optimisme pemerataan anggaran, muncul pertanyaan kritis: Akankah efisiensi ala presiden Prabowo menjadi katalis pertumbuhan ekonomi, atau justru bumerang yang memperdalam ketergantungan pada daya beli masyarakat? 

Saya tidak akan menambah pendapat para ekonom, tapi mari kita bicara tentang sebuah esensi.

Memahami Esensi Efisiensi, Efektivitas, dan Produktivitas

Sebelum bicara lebih jauh tentang efisiensi, ada baiknya kita memahami dulu tiga konsep yang sering disalahartikan: efisiensi, efektivitas, dan produktivitas.

produktivitas

Tiga hal ini terdengar mirip, tapi masing-masing punya peran yang berbeda.

Bayangkan Anda seorang pilot. Tujuan Anda jelas: menerbangkan pesawat dari satu kota ke kota lain dengan aman, cepat, dan hemat bahan bakar. Tapi bagaimana caranya?

Efisiensi adalah bagaimana Anda mengoptimalkan sumber daya.
Anda menjaga kecepatan optimal, memastikan pesawat tidak membawa beban berlebih, dan menggunakan jalur udara yang paling hemat bahan bakar. Semua dilakukan tanpa mengorbankan keselamatan dan kenyamanan penumpang. Itulah efisiensi: doing things right—mengerjakan sesuatu dengan cara terbaik dan paling hemat.

Tapi efisiensi saja tidak cukup.

Anda juga butuh efektivitas—memastikan pesawat benar-benar menuju tujuan yang tepat. Percuma menghemat bahan bakar jika salah jalur dan harus berputar balik. Inilah doing the right things—fokus pada hal yang benar-benar penting, bukan hanya mengerjakan sesuatu dengan lebih cepat atau murah.

Lalu ada produktivitas. Ini soal hasil yang Anda dapat dari setiap usaha yang dikeluarkan.
Jika dengan jumlah bahan bakar yang sama Anda bisa membawa lebih banyak penumpang dengan waktu tempuh lebih singkat, berarti produktivitas meningkat. Semakin banyak output dengan input yang sama atau lebih sedikit, semakin tinggi produktivitasnya.

Ketiga elemen ini harus berjalan beriringan.

Jangan terjebak dalam jebakan efisiensi yang membutakan—mengurangi biaya tanpa melihat dampaknya. Jangan pula hanya fokus pada produktivitas tanpa memastikan efektivitasnya.

Efisiensi yang benar adalah yang tetap menjaga efektivitas dan meningkatkan produktivitas.

Karena dalam organisasi/perusahaan, bukan sekadar soal seberapa cepat Anda bergerak, tapi apakah Anda bergerak ke arah yang benar dengan cara yang paling optimal.

Baca juga: Definisi Efisien – Efektif – Produktivitas

Efisiensi Yang Tidak Berakhir Bunuh Diri

Banyak organisasi tergoda untuk memangkas biaya tanpa perhitungan matang. Demi alasan efisiensi, anggaran dipotong habis-habisan, tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Ini seperti pilot yang mengurangi bahan bakar agar pesawat lebih ringan, tapi lupa kalau penerbangan masih panjang. Alih-alih selamat sampai tujuan, pesawat justru kehabisan tenaga di tengah jalan dan jatuh.

Memangkas Biaya Tanpa Strategi Bisa Jadi Bumerang

Perusahaan yang menghemat anggaran pelatihan, misalnya, mungkin akan melihat pengeluaran turun dalam laporan keuangan jangka pendek. Tapi dalam jangka panjang? Tim menjadi usang. Kompetensi stagnan. Kesalahan meningkat. Produktivitas anjlok. Akhirnya, biaya justru membengkak karena harus merekrut orang baru atau memperbaiki kesalahan akibat kurangnya keterampilan.

Atau lihatlah bisnis yang mencoba menekan harga dengan mengganti bahan baku berkualitas dengan yang lebih murah. Awalnya terlihat menguntungkan. Margin naik, biaya turun. Tapi kemudian, pelanggan mulai komplain. Produk tidak lagi sebaik dulu. Loyalitas pelanggan luntur. Mereka berpindah ke kompetitor yang masih menjaga kualitas. Perusahaan yang tadinya ingin berhemat justru kehilangan pasar.

Optimasi: Fokus Pada Hal yang Krusial

Efisiensi yang benar bukan tentang memangkas tanpa arah, tapi tentang mengalokasikan sumber daya dengan lebih cerdas.

Kita tidak perlu membuang bahan bakar, tapi mencari cara agar penggunaannya lebih optimal. Tidak perlu memotong sayap pesawat, tapi memastikan setiap komponennya bekerja maksimal.

Misalnya, alih-alih memangkas pelatihan karyawan, perusahaan bisa berinvestasi dalam teknologi yang mengotomatiskan pekerjaan administratif. Dengan begitu, tim bisa lebih fokus pada analisis strategis, inovasi, dan keputusan yang berdampak besar.

Atau, daripada membuang waktu dalam rapat panjang yang bertele-tele, perusahaan bisa menerapkan pertemuan singkat dengan agenda yang jelas. Hasilnya? Waktu lebih efisien, keputusan lebih cepat, tim lebih produktif.

Hematlah di tempat yang tidak krusial.
Tapi, investasikan sumber daya pada hal-hal yang benar-benar menentukan keberhasilan. Sebab dalam dunia bisnis, yang bertahan bukanlah yang sekadar hemat, tapi yang tahu cara mengalokasikan energi dengan benar.

Menyusun Strategi Efisiensi

1. Jangan Terbang Tanpa Cek Pesawat

Pilot takkan berani membawa pesawat ke udara tanpa memastikan semua sistem dalam kondisi prima.
Mesin harus berfungsi normal. Bahan bakar cukup untuk perjalanan. Cuaca mendukung. Navigasi jelas.

Jika ada satu hal saja yang luput dari pengecekan, risikonya terlalu besar.

Begitu juga dengan organisasi yang ingin melakukan efisiensi.
Sebelum memotong biaya atau merampingkan proses, ada satu hal yang harus dilakukan lebih dulu: asesmen.

Terlalu banyak organisasi atau perusahaan yang gegabah dalam melakukan efisiensi.
Mereka langsung memangkas anggaran, mengurangi jumlah tenaga kerja, atau menghapus lini produk tanpa memeriksa apakah langkah itu benar-benar akan membuat bisnis lebih sehat. Akhirnya, bukan efisiensi yang didapat, tapi kekacauan.

Seperti pilot yang nekat lepas landas dengan mesin yang belum dicek, lalu panik di udara saat ada alarm menyala.

Organisasi harus mulai dengan bertanya: apa sebenarnya tujuan utama yang ingin dicapai?
Jangan buru-buru menghemat, kalau belum jelas apa yang benar-benar penting.

Bisnis ritel, misalnya, mungkin harus fokus pada pengalaman pelanggan. Startup teknologi mungkin lebih butuh inovasi. Perusahaan logistik harus mengutamakan efisiensi operasional.

Setiap organisasi punya prioritasnya sendiri.

Setelah tahu tujuan utama, pertanyaan berikutnya: sumber daya apa yang paling krusial untuk mencapai tujuan itu? Apakah SDM? Teknologi? Infrastruktur? Jangan sampai yang justru dipangkas adalah komponen inti yang membuat bisnis berjalan.

Seperti maskapai yang berpikir menghemat bahan bakar dengan mengurangi jumlah awak kabin, tanpa sadar bahwa pelayanan buruk bisa membuat pelanggan kabur.

Lalu, tinjau kembali aktivitas sehari-hari. Mana yang benar-benar menambah nilai? Mana yang sebenarnya bisa dipangkas atau disederhanakan?

Banyak organisasi terjebak dalam rutinitas tanpa menyadari bahwa sebagian besar prosesnya tidak lagi relevan. Meeting panjang yang tidak menghasilkan keputusan. Proses administratif yang bisa diotomatisasi. Laporan yang dibuat hanya karena sudah tradisi, padahal tak pernah dibaca.

Ada beberapa alat yang bisa membantu dalam asesmen ini.

Value Stream Mapping, misalnya, bisa digunakan untuk mengidentifikasi proses mana yang paling banyak menyita waktu dan biaya. Dari sana, bisa dilihat bagian mana yang bisa dioptimalkan.

SWOT Analysis juga berguna untuk memahami kekuatan dan kelemahan internal, sekaligus melihat peluang dan ancaman dari luar. Dengan begitu, alokasi sumber daya bisa lebih tepat.

Efisiensi bukan soal memangkas anggaran atau mengurangi jumlah karyawan. Ia adalah tentang mengalokasikan energi ke tempat yang paling menghasilkan dampak. Dan itu hanya bisa dilakukan jika kita tahu pasti apa yang benar-benar dibutuhkan.

Seperti pesawat yang harus siap sebelum terbang, organisasi juga harus siap sebelum melakukan efisiensi. Jangan sampai baru sadar ada yang salah setelah sudah di udara.

2. Transparansi dan Kolaborasi Tim

Efisiensi Itu Bukan Perintah, Tapi Kesepakatan

Tidak ada efisiensi yang sukses jika hanya diputuskan oleh segelintir orang di ruangan rapat.

Organisasi bukan mesin yang bisa diotak-atik seenaknya dari pusat kendali. Ia lebih seperti ekosistem, di mana setiap bagian saling terhubung. Sekali ada yang berubah di satu titik, dampaknya bisa merembet ke seluruh sistem. Itulah sebabnya, program efisiensi tak boleh bersifat otokratis. Ia harus dirancang, dijalankan, dan dievaluasi bersama oleh seluruh elemen organisasi.

Banyak organisasi/perusahaan yang keliru dalam menerapkan efisiensi.
Mereka membuat kebijakan penghematan di atas kertas, lalu langsung melemparkannya ke tim operasional tanpa diskusi. Akibatnya? Kebijakan itu lebih sering menjadi beban daripada solusi.

Karyawan hanya menerima instruksi tanpa memahami alasan di baliknya. Ujung-ujungnya, mereka menjalankan perubahan dengan setengah hati, atau bahkan diam-diam mencari cara untuk kembali ke pola lama.

Efisiensi yang nyata hanya terjadi jika semua pihak merasa terlibat.

Karyawan di garis depan, misalnya, sering kali punya wawasan lebih tajam tentang inefisiensi di lapangan dibandingkan manajemen. Mereka tahu bagian mana yang menyita waktu, proses mana yang terlalu panjang, dan alat mana yang sebenarnya tidak diperlukan. Jika mereka dilibatkan sejak awal, solusi yang ditemukan bukan hanya lebih realistis, tapi juga lebih mudah diterapkan.

Itulah mengapa transparansi itu penting.

Setiap perubahan harus dikomunikasikan dengan jelas: mengapa langkah ini diambil, apa manfaatnya bagi organisasi, dan bagaimana cara menjalankannya. Laporan rutin juga perlu disusun agar semua orang tahu progresnya. Kalau ada tantangan atau hambatan, mereka bisa ikut berpikir mencari solusi, bukan sekadar menunggu arahan dari atas.

Namun, efisiensi bukan cuma soal prosedur dan kebijakan. Ia juga tentang mindset.

Agar berhasil, organisasi harus membangun pola pikir analitis dan kreatif dalam timnya.
Ajarkan cara berpikir first principle thinking—memecah masalah hingga ke akar, lalu menemukan solusi yang benar-benar baru, bukan sekadar tambal sulam.

Efisiensi yang sesungguhnya bukan tentang sekadar menghemat, tapi tentang menciptakan cara yang lebih cerdas untuk bekerja.

Tapi ada satu bahaya yang harus diwaspadai: kepentingan pribadi.

Program efisiensi bisa kehilangan arah jika mulai disetir oleh agenda tersembunyi. Jangan sampai ada keputusan yang dibuat hanya karena menguntungkan segelintir pihak, sementara kepentingan organisasi secara keseluruhan justru dikorbankan.

Setiap kebijakan harus diuji dengan satu pertanyaan sederhana: Apakah ini benar-benar baik untuk organisasi, atau hanya menguntungkan segelintir orang?

Efisiensi bukan instruksi dari atasan. Ia adalah kesepakatan bersama.

Jika semua elemen organisasi terlibat, memahami alasan di balik setiap langkah, dan bekerja dengan visi yang sama, efisiensi tak hanya jadi strategi, tapi juga budaya.

3. Jangan Sampai Hemat, Tapi Tersesat

Ini tentang Efektivitas.

Efisiensi itu penting. Tapi tanpa efektivitas, ia hanya seperti pesawat yang irit bahan bakar tapi salah arah. Terbangnya memang mulus, konsumsi BBM-nya rendah, tapi ujung-ujungnya malah mendarat di tempat yang salah. Apa gunanya?

Banyak organisasi terjebak dalam jebakan ini. Mereka begitu fokus mengurangi biaya, mempercepat proses, atau meningkatkan produktivitas, tapi lupa bertanya: Apakah ini benar-benar membawa kita lebih dekat ke tujuan?

Contoh kasusnya banyak.
Sebuah tim sales, misalnya, bisa saja bekerja lebih efisien dengan menelpon 100 prospek per hari. Tapi jika mereka menargetkan segmen yang salah, hasilnya tetap nol besar.

Begitu juga dengan pabrik yang mampu memproduksi barang dalam jumlah besar dengan waktu lebih singkat. Tapi kalau desain produknya tidak sesuai dengan selera pasar, stok hanya akan menumpuk di gudang, bukan laku di pasaran.

Di sinilah efektivitas berperan. Efisiensi saja tidak cukup.

Setiap penghematan, setiap pemangkasan biaya, setiap percepatan produksi harus tetap berada dalam koridor tujuan utama organisasi. Jangan sampai sekadar sibuk, tapi tidak menghasilkan dampak nyata.

Maka, sebelum memutuskan langkah efisiensi, tanyakan dua hal: Apakah ini membuat kita lebih cepat? Dan yang lebih penting: Apakah ini membawa kita ke arah yang benar?

Solusinya?
Pastikan setiap inisiatif efisiensi selalu dikaitkan dengan core objective organisasi. Jangan hanya mengukur output—seberapa banyak yang diproduksi, seberapa cepat pekerjaan selesai. Yang lebih penting adalah dampak akhirnya: apakah angka penjualan meningkat? Apakah pelanggan lebih puas? Apakah brand semakin kuat?

KPI pun harus disesuaikan.

Jangan hanya mengukur jumlah panggilan telepon sales, tapi lihat berapa yang benar-benar berujung pada transaksi.
Jangan hanya menilai jumlah produk yang dihasilkan, tapi ukur juga apakah produk itu memang diminati pasar.

Efektivitas adalah tentang memastikan bahwa setiap langkah membawa organisasi lebih dekat ke tujuan, bukan sekadar membuatnya bergerak lebih cepat tanpa arah.

Jadi, sebelum melakukan efisiensi besar-besaran, ingat satu hal: jangan hanya berpikir lebih murah atau lebih cepat, tapi pastikan juga lebih tepat.

4. Jangan Sampai Pesawat Kehabisan Bahan Bakar di Udara

Ini tentang Produktivitas.

Sebuah pesawat tidak akan pernah bisa terbang jauh jika bahan bakarnya minim, mesinnya usang, atau awaknya tidak siap menghadapi turbulensi.

Organisasi pun begitu. Produktivitas tidak sekadar soal bekerja lebih cepat atau lebih keras, tapi memastikan semua komponen utama dalam kondisi prima.

Setidaknya ada tiga hal yang harus selalu dijaga.

Pertama, bahan bakar yang cukup. Ini bukan sekadar soal uang, tapi juga energi tim dan alokasi waktu.

Terlalu sering, perusahaan mengharapkan output maksimal dari tim yang kelelahan, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menguras bahan bakar secara brutal. Karyawan yang terus dipaksa bekerja tanpa keseimbangan akan kehilangan fokus, kreativitas, bahkan motivasi. Hasilnya? Produktivitas justru anjlok.

Kedua, peralatan yang mumpuni. Teknologi bukan sekadar alat bantu, tapi akselerator.

Bayangkan seorang pilot yang masih mengandalkan peta kertas di era GPS. Begitu pula dengan bisnis.
Sistem yang lambat, perangkat lunak yang usang, atau proses manual yang bisa diotomatisasi akan menjadi beban yang menghambat kecepatan. Perusahaan yang benar-benar ingin produktif harus berani berinvestasi dalam tools yang mempercepat pekerjaan, bukan sekadar mengandalkan tenaga manusia untuk menutupi kekurangan sistem.

Ketiga, awak yang kompeten. Pesawat terbaik pun tidak ada gunanya tanpa pilot yang terlatih.

Sama halnya dengan bisnis. Tim yang kuat bukan sekadar kumpulan orang berbakat, tapi mereka yang terus berkembang. Pelatihan bukan biaya, melainkan investasi jangka panjang.
Perusahaan logistik yang berhasil meningkatkan produktivitas hingga 40% bukan hanya karena alat canggih, tapi juga karena mereka melatih timnya untuk mengelola waktu dengan lebih efisien dan memanfaatkan GPS untuk optimasi rute.

Produktivitas bukan tentang memeras tenaga lebih banyak dari sumber daya yang ada, tapi bagaimana memastikan bahan bakar selalu cukup, mesin selalu prima, dan awak selalu siap. Dengan begitu, pesawat bisa terbang lebih jauh, lebih cepat, dan yang terpenting—sampai tujuan dengan selamat.

Langkah Praktis Menuju Efisiensi Optimal

Sebuah pesawat tidak bisa langsung terbang tinggi tanpa persiapan matang.
Begitu juga dengan efisiensi dalam organisasi. Tidak cukup hanya dengan semangat penghematan atau sekadar memangkas biaya di sana-sini.

Efisiensi yang optimal harus dirancang, diuji, dan diterapkan dengan strategi yang tepat.

Langkah Pertama: Audit proses secara menyeluruh.

Jangan asal menebak atau mengandalkan intuisi. Lihat dengan saksama, di mana hambatan terjadi? Aktivitas mana yang memakan waktu tetapi tidak menghasilkan nilai tambah?
Sering kali, perusahaan sibuk dengan rutinitas yang dianggap “harus dilakukan” tanpa mempertanyakan apakah itu masih relevan. Proses yang sudah berjalan bertahun-tahun belum tentu masih efektif hari ini.

Langkah Kedua: Fokus pada dampak terbesar.

Tidak semua masalah perlu diselesaikan sekaligus. Perbaiki satu titik kritis yang bisa menciptakan efek domino positif.
Misalnya, mengurangi waktu tunggu dalam satu tahap produksi bisa mempercepat seluruh rantai pasok. Atau menyederhanakan proses approval di bagian administrasi bisa mempercepat keputusan strategis.
Efisiensi bukan soal memangkas sebanyak mungkin, tapi memastikan setiap perubahan memberi dampak nyata.

Langkah Ketiga: Manfaatkan teknologi dengan cerdas.

Otomatisasi bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Tugas-tugas repetitif yang bisa dilakukan sistem sebaiknya tidak lagi membebani manusia. Data harus dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan, bukan sekadar laporan di atas kertas.
Organisasi yang masih bergantung pada proses manual untuk hal-hal yang bisa diotomatisasi sebenarnya sedang membuang sumber daya yang berharga.

Langkah Keempat: Bangun kultur efisiensi yang berkelanjutan.

Efisiensi bukan proyek jangka pendek, tapi pola pikir.
Setiap orang dalam organisasi harus terbiasa bertanya, “Bagaimana kita bisa lebih baik dengan sumber daya yang ada?”
Budaya kerja yang selalu mencari cara lebih cerdas, lebih cepat, dan lebih efektif akan menghasilkan organisasi yang terus berkembang, bukan hanya sekadar bertahan.


Pesawat yang siap terbang tinggi bukan hanya yang paling ringan, tapi yang paling aerodinamis.

Begitu juga dengan organisasi/perusahaan.

Efisiensi yang benar bukan soal memangkas sebanyak mungkin, tapi memastikan setiap elemen bekerja dengan optimal. Dengan langkah yang tepat, organisasi tidak hanya hemat, tapi juga lebih gesit, lebih inovatif, dan lebih siap menghadapi masa depan.

Takeaway

Terbanglah Cerdas, Bukan Sekadar Cepat

Efisiensi bukan sekadar perkara memangkas biaya atau mempercepat proses.
Jika hanya itu yang dilakukan, organisasi ibarat pesawat yang mencoba terbang lebih jauh dengan mengurangi bahan bakar.

Hasilnya?
Mungkin lebih ringan, tapi juga berisiko kehabisan tenaga sebelum mencapai tujuan.

Yang dibutuhkan adalah keseimbangan.

Efisiensi harus berpadu dengan efektivitas dan produktivitas. Setiap penghematan harus memberi dampak nyata. Setiap percepatan harus tetap menjaga arah yang benar. Dan setiap inovasi harus membuat organisasi lebih gesit, bukan sekadar lebih sibuk.

Sebuah pesawat tidak hanya bergantung pada pilot, tapi juga navigator yang memastikan jalur tetap efisien dan mekanik yang memastikan mesin bekerja optimal.

Begitu pula organisasi.

Keberhasilan bukan hanya soal memangkas biaya, tapi bagaimana setiap elemen—manusia, teknologi, dan strategi—bekerja dalam harmoni.

Sebelum memotong anggaran atau mengubah sistem, tanyakan:
Apakah langkah ini benar-benar mendekatkan kita ke tujuan?
Apakah tim sudah siap dengan perubahan ini?
Apa konsekuensinya jika efisiensi diterapkan tanpa perhitungan matang?

Karena efisiensi yang salah arah bisa lebih berbahaya daripada ketidakefisienan itu sendiri.

Terbangkan organisasi Anda dengan cerdas. Menyeimbangkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas.

Bukan hanya bergerak lebih cepat, tapi juga lebih tepat.

Dengan begitu, organisasi tidak sekadar bertahan, tapi tumbuh dan beradaptasi menghadapi masa depan.

Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat.


Personal OKR Blueprint


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Pemimpin yang tidak memiliki gelar
Read More

Pemimpin Yang Tidak Memiliki Gelar

Pemimpin itu bukan tentang jabatan, bukan tentang posisi, bukan struktur organisasi. Ini adalah sebuah cerita nyata pada tatanan kehidupan modern saat ini, tentang keberhasilan dalam karir, bisnis, maupun kehidupan. Seorang pemimpin hebat tidak harus memiliki gelar
Read More