Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah tulisan di The Atlantic. Judulnya “Why Do So Many People Think Trump Is Good?”, ditulis oleh David Brooks, seorang kolumnis dan penulis yang sering menggabungkan perspektif akademis dengan gaya naratif yang mudah dipahami.

Pertanyaannya sebenarnya bisa kita lempar ke sini:
Mengapa banyak orang tetap menganggap pemimpin yang jelas-jelas bermasalah sebagai “baik”?

Brooks tidak menjawabnya dengan analisis politik, tapi dari pemikiran Alasdair MacIntyre, seorang pemikir Skotlandia-Amerika yang pernah menulis After Virtue.

Menurut MacIntyre, dunia modern mengalami apa yang ia sebut sebagai privatisasi moralitas.

Moral bukan lagi urusan publik. Tapi dikembalikan ke dapur masing-masing.
Setiap orang bebas menentukan benar-salahnya sendiri.

Masyarakat pun kehilangan yang namanya shared morality, sebuah nilai bersama yang bisa menjadi pijakan berpikir dan berdiskusi.
Yang tersisa hanya selera dan opini. Maka ketika semua orang merasa paling benar, diskusi berubah jadi pertarungan ego.

Dan kalau tak ada yang bisa meyakinkan siapa pun tentang mana yang benar dan salah, maka seperti kata Brooks, “There are only two ways to settle our differences: coercion or manipulation.” (Paksaan atau manipulasi).

Kamu merasa itu familiar? Ya, karena kita sedang hidup di dalamnya.

Ketika Moral Bersama Mati, Figur Kultus Lahir

Dalam kevakuman moral, manusia tetap butuh makna. Butuh arahan. Maka muncullah tokoh-tokoh yang dikultuskan: pemimpin yang memberi jawaban tanpa perlu kamu berpikir.

Kita lihat mereka sebagai seorang yang kuat, tegas, dan “berani beda”. Padahal mungkin mereka cuma berani memanipulasi.

Tapi tetap dipuja. Kenapa? Karena kebanyakan dari kita malas repot berpikir soal etika.

Lalu mereka pun jadi sumber kebenaran tunggal.

Segala ucapannya dianggap “wahyu”.

Segala keputusannya dianggap hikmah.

Dan kita tak sadar sedang menggantungkan moralitas pada satu manusia, bukan lagi pada nilai bersama.

Celakanya, para penguasa sekarang memanfaatkan dengan sangat sadar kondisi rakyat yang minim membaca, mudah percaya, dan rendah secara pendidikan struktural, untuk melanggengkan kekuasaan.

Literasi rakyat yang rendah bukan dianggap masalah. Tapi dimanfaatkan.

Disetir. Dibenturkan. Dibisiki.

Agar rakyat tak sempat berpikir. Hanya sempat memilih, lalu lupa menagih.

Loyalitas Lebih Penting Dari Kompetensi

Dulu kita mengecam orang yang berbaiat pada kelompok radikal.

Kini kita menyaksikan loyalitas membabi buta dalam bentuk yang lebih rapi dan formal. Pejabat-pejabat penting tak lagi dipilih karena kecakapan. Tapi karena loyalitas mereka pada pimpinan.

Menteri, komisaris, staf khusus, semuanya boleh tak perlu punya kapasitas, cukup punya kemampuan berkata “siap, Pak” tanpa banyak tanya.

Kita mencibir, tapi juga membiarkannya.

Karena kita pun hidup dalam budaya yang sama.

Budaya ABS: Asal Bapak Senang.

Pemimpin Adalah Bayangan Kita Sendiri

Kita Marah pada Pemimpin, Tapi Tak Mau Bercermin

Kita sering bertanya, “Kenapa pimpinan kita korup, culas, narsis, dikelilingi orang cari untung?

Tapi coba lihat lebih dekat. Mungkin kita sendiri masih suka bohong sambil tersenyum, nyari jalan tikus agar tak ikut antre, komentar nyinyir tanpa baca utuh, kagum pada kemewahan yang dangkal.

Lalu kita berharap dipimpin oleh manusia jujur dan mulia?
Itu seperti ladang yang ditanami duri berharap panen padi.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah, pernah menulis, “Pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya.”

Pemimpin itu bukan makhluk asing. Ia lahir dari rahim masyarakat.

Kalau rakyatnya pembohong, pemimpinnya akan lebih mahir memanipulasi.
Kalau rakyatnya permisif terhadap suap, pemimpinnya akan lihai bermain proyek.

Beberapa abad kemudian, Thomas Jefferson pun pernah berkata, “We get the government we deserve.”

Kalau kita dapat pemimpin yang hobi pencitraan, mungkin karena kita sendiri lebih suka sensasi daripada substansi.

Kalau kita dapat pemimpin yang hobi membungkam kritik, mungkin karena kita sendiri tak tahan dikritik.

Tapi Aku Tidak Seperti Mereka

Mungkin kamu membela diri, “Saya jujur. Saya tidak seperti itu.”

Oke. Tapi apakah kamu bersuara saat kawanmu salah?

Apakah kamu menegur saat keluargamu menyebar hoaks?

Apakah kamu membaca sebelum menyebarkan opini?

Karena kebaikan yang diam, nilainya sama dengan kejahatan yang disemangati.

Dan suara minoritas yang jujur, tak akan pernah mengubah apa pun, jika ia memilih diam.

Kalau Ingin Pemimpin yang Baik, Ubah Dulu Diri Sendiri

Revolusi Tak Datang dari Pilpres atau Pilkada.

Mau pemimpin seperti Umar bin Khattab?

Belajarlah untuk tegas pada kebenaran.

Mau pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz?

Latihlah keadilan sejak dari rumah.

Revolusi tidak lahir dari kotak suara. Tapi dari kotak kecil di dada: kesadaran.

Kalau kamu masih buang sampah sembarangan, jangan bicara soal revolusi mental.

Kalau kamu masih mentolerir ketidakadilan di grup RT, jangan mimpi ada keadilan nasional.

Penutup

Dosa Kecil yang Diam-diam Dimaklumi, Melahirkan Dosa Besar yang Terang-Terangan

Sebuah bangsa mendapatkan pemimpin seperti yang mereka pantas dapatkan.

Seperti tubuh mendapatkan otak yang ia latih.
Seperti tanah memanen benih yang ia tanam.

Kalau kamu masih merasa oke saja dengan dosa kecil yang kamu lakukan diam-diam, jangan heran kalau kelak kalian dipimpin oleh dosa yang besar dan terang-terangan.

Jangan lagi menyalahkan langit, jika tanah ini kita biarkan membusuk.


Karena pemimpin kita adalah kita, yang diberi mikrofon dan kursi kekuasaan.


Konten iklan ini dipilihkan oleh Google sesuai kebiasaan Anda akses informasi
0 Shares:
You May Also Like
Pemimpin yang tidak memiliki gelar
Read More

Pemimpin Yang Tidak Memiliki Gelar

Pemimpin itu bukan tentang jabatan, bukan tentang posisi, bukan struktur organisasi. Ini adalah sebuah cerita nyata pada tatanan kehidupan modern saat ini, tentang keberhasilan dalam karir, bisnis, maupun kehidupan. Seorang pemimpin hebat tidak harus memiliki gelar
Read More